Dekolonisasi Nalar Historiografi

1 month ago 15

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Neokolonialisme internal direproduksi melalui oligarki ekonomi-politik: 0,2% populasi menguasai 76% aset nasional, marginalisasi 718 bahasa daerah via kebijakan pendidikan sentralistik dan perampasan tanah adat (kasus Rempang 2.700 hektare)…

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Dekolonisasi nalar historiografi Indonesia, yang melampaui sekadar eventisme, menuju sejarah berbasis keadilan, adalah sebuah keniscayaan penting. Dominasi eventisme, dengan fokusnya pada peristiwa diskret dan tokoh heroik, telah gagal membongkar struktur kekuasaan kolonial beserta kontinuitasnya dalam tatanan pascakemerdekaan.

Transisi menuju analisis struktural bertujuan untuk, pertama, mengungkap relasi kuasa tersembunyi dan ideologi pelanggeng kolonialitas. Kedua, merekonfigurasi reparasi historis sebagai keadilan multidimensi. Ketiga, mengidentifikasi manifestasi neokolonialisme dalam sistem global maupun domestik.

Tantangan inti terletak pada dekolonisasi nalar: proses radikal membongkar logika, epistemologi, dan struktur pengetahuan yang terkonstitusi melalui pengalaman kolonial. Kerangka coloniality of power (Quijano, 2007) dan dekolonisasi epistemologis (Mignolo, 2011) menjadi landasan analisis tiga dimensi kritis: reduksionisme eventisme, signifikansi reparasi historis, dan manifestasi neokolonialisme pascakemerdekaan.

Teori Dekolonial & Kritik Historiografi

Historiografi konvensional Indonesia mengadopsi pendekatan eventisme berbasis tradisi Rankean, menekankan kronologi peristiwa besar dan tokoh elite (Kartodirdjo, 1975). Pendekatan ini mengabaikan analisis struktur kuasa kolonial berkelanjutan (Chakrabarty, 2000).

Studi poskolonial mengungkap relasi pengetahuan-kuasa dalam konstruksi narasi sejarah. Konsep Orientalisme (Said, 1978) mendekonstruksi distorsi representasi masyarakat terjajah, sedangkan Fanon (1961) menegaskan reparasi sebagai pemulihan martabat kolektif. Spivak (1988) memperingatkan risiko subordinasi suara subaltern dalam wacana dominan.

Perspektif dekolonial Amerika Latin melangkah lebih jauh melalui konsep coloniality of power Quijano (2007), yang mengidentifikasi matriks dominasi pascakemerdekaan dalam ekonomi, politik, dan epistemologi. Mignolo (2011) memperluasnya menjadi proyek dekolonisasi nalar untuk membongkar hegemoni pengetahuan Barat. Dalam konteks Indonesia, upaya “sejarah Indonesia sentris” tetap terjebak dalam nasionalisme metodologis tanpa dekonstruksi fundamental terhadap kolonialitas.

Analisis Wacana Kritis

Pendekatan analisis wacana kritis (Fairclough, 1995) diterapkan untuk mengungkap relasi triadik teks, praktik wacana, dan konteks sosiopolitik narasi sejarah. Sumber primer kemungkinan besar dapat meliputi dokumen kurikulum resmi, buku teks Sejarah, dan arsip pidato kenegaraan tentang peristiwa kunci (Revolusi 1945). Sedangkan sumber sekunder mencakup karya pemikir dekolonial (Quijano, Mignolo) dan studi komparatif mekanisme reparasi (kasus Mau Mau di Kenya; Branch, 2015).

Proses analisis meliputi tiga tahap. Pertama, dekonstruksi representasi eventistik melalui penelusuran pola linguistik (metafora heroik, leksikon militeristik). Kedua, identifikasi mekanisme pembungkaman subaltern via analisis absence dan marginalization kelompok petani, masyarakat adat, dan perempuan. Ketiga, eksplorasi manifestasi kolonialitas kontemporer menggunakan konsep “matriks kekuasaan” (Quijano, 2007). Validitas temuan ditingkatkan melalui triangulasi data teks primer, wawancara dengan sejarawan alternatif, dan kajian arsip gerakan sosial.

Kritik Eventisme & Analisis Struktural

Dominasi pendekatan eventistik termanifestasi dalam fetisisasi peristiwa spektakuler seperti Proklamasi 1945 dan Pertempuran Surabaya. Representasi ini memusatkan narasi pada agensi elite politik-militer sambil mereduksi peran petani Karawang (penyuplai logistik), perempuan lasykar (jaringan komunikasi), dan komunitas adat Dayak (perlawanan ekologis). Perlawanan sistemik seperti Pemberontakan Petani Banten 1888 dibingkai sebagai “kerusuhan lokal”, sedangkan gerakan mesianis Sulawesi dianggap “irasional” dalam perspektif positivis.

Reduksionisme eventisme mengaburkan kontinuitas eksploitasi kolonial. Cultuurstelsel (1830-1870) tidak hanya memicu kelaparan massal di Grobogan dan Demak, tetapi melahirkan warisan permanen. Ini setidaknya mencakup sistem birokrasi ekstraktif tulang punggung negara modern (Scott, 1998), polarisasi kepemilikan tanah pemicu konflik agraria kontemporer (Lucas & Warren, 2013), dan epistemologi pengetahuan yang mendegradasi praktik agraris tradisional.

Dekolonisasi nalar mensyaratkan tiga strategi analitis struktural. Pertama, desentralisasi narasi dari peristiwa ke proses (genealogi sistem pajak kolonial). Kedua, rekontekstualisasi kekerasan (pembantaian Westerling 1946-1947 sebagai continuum doktrin “pasifikasi” kolonial). Ketiga, rehabilitasi epistemologi lokal (babad dan sureq sebagai kerangka alternatif konsep waktu-ruang).

Reparasi Historis (Keadilan Multidimensi)

Reparasi didefinisikan dalam instrumen hukum internasional sebagai bentuk kompensasi materiil dan simbolik atas pelanggaran HAM sistematis, dengan tujuan memulihkan martabat korban serta mencegah terulangnya pelanggaran.

Landasan utama konsep ini merujuk pada UN Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation (Resolusi PBB A/RES/60/147 tahun 2005), yang menetapkan lima bentuk reparasi: restitusi (pengembalian aset atau properti), kompensasi (ganti rugi ekonomi), rehabilitasi (dukungan medis dan hukum), satisfaction (pengakuan fakta sejarah dan permintaan maaf resmi), serta jaminan non-pengulangan melalui reformasi struktural.

Preseden historis memperkuat kerangka normatif ini. Pemerintah Belanda pada tahun 2011 membayar kompensasi sebesar €20 juta kepada korban kekerasan masa revolusi 1945–1949 di Indonesia, menyusul kemenangan hukum korban pembantaian Rawagede di pengadilan Den Haag.

Jerman pada 2021 mengakui tanggung jawab atas genosida Herero dan Nama di Namibia masa kolonial dengan komitmen pendanaan €1,1 miliar untuk proyek infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan sebagai bentuk reparasi.

Secara filosofis, reparasi tidak sekadar bersifat transaksional. Menurut Pablo De Greiff (2006), konsep keadilan transformatif menempatkan reparasi sebagai instrumen perubahan sosial untuk mengatasi ketidakadilan struktural turunan. Frantz Fanon (1961) menekankan dimensi psikologis reparasi sebagai bagian dari dekolonisasi mental yang mengembalikan subjektivitas korban.

Implementasi reparasi menghadapi tantangan kompleks, termasuk penolakan negara pelaku dengan dalih temporal jurisdiction (kekebalan yurisdiksi atas kejadian masa lalu), kesulitan kuantifikasi kerugian historis (seperti nilai ekonomi kerja paksa era kolonial), serta risiko distribusi yang tidak tepat sasaran.

Kendati demikian, reposisi reparasi sebagai kewajiban hukum dan moral terus menguat dalam praktik internasional, menekankan pendekatan holistik yang memadai remediasi materiil dengan pemulihan martabat manusia.

Neokolonialisme Pascakemerdekaan

Neokolonialisme eksternal teridentifikasi dalam pola perdagangan bahan mentah: 92% produk olahan nikel dan sawit dikuasai korporasi multinasional (UNCTAD, 2023). Ketergantungan finansial: Utang luar negeri USD 407 miliar yang mensyaratkan deregulasi sektor strategis (Bank Indonesia, 2023). Intervensi IMF 1997-1998: Paket bailout USD 43 miliar yang memaksa penghapusan subsidi pangan dan privatisasi 75 BUMN (Winters, 2012).

Neokolonialisme internal direproduksi melalui oligarki ekonomi-politik: 0,2% populasi menguasai 76% aset nasional (Credit Suisse, 2023). Marginalisasi 718 bahasa daerah via kebijakan pendidikan sentralistik (Kemendikbud, 2023). Perampasan tanah adat (kasus Rempang 2.700 hektar) berbasis doktrin domeinverklaring kolonial yang diadopsi UU Cipta Kerja (Hall, 2013).

Penutup

Transisi menuju sejarah berbasis keadilan mensyaratkan dekolonisasi nalar sebagai proyek epistemologis radikal. Pertama, kontinuitas coloniality of power dalam formasi sosial Indonesia kontemporer melalui sistem ekonomi ekstraktif dan hierarki pengetahuan. Kedua, reparasi historis sebagai proses multidimensi yang mengintegrasikan restitusi ekologis, rehabilitasi budaya, dan transformasi kurikuler. Ketiga, keterjalinan neokolonialisme eksternal (hegemoni pasar global) dan internal (oligarki domestik).

Implikasi praktis mencakup reformasi UU Sistem Pendidikan Nasional untuk inkorporasi epistemologi lokal, diplomasi reparasi melalui ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights, dan penguatan arsip sejarah subaltern. Kegagalan mendekolonisasi historiografi akan melanggengkan epistemicide—pemusnahan pengetahuan lokal—yang menghambat terwujudnya keadilan kognitif sebagai fondasi nationhood inklusif.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |