Oleh Prof. Dr. Nurhayati, M.Ag, Rektor UIN Sumatera Utara Medan
Setiap tanggal 22 Oktober Indonesia memperingati hari santri Nasional yang bukan hanya sekedar upacara tahunan atau seremoni nasional semata, melainkan sebagai sebuah momentum spiritual yang menggetarkan jiwa bangsa yang mengingatkan kita pada akar-akar spiritual peradaban.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Akar yang tumbuh dari tanah kesederhanaan, disirami air ilmu, dan berbuah cinta Ilahi. Santri bukan hanya insan pembelajar atau mereka yang tekun mengaji di bilik pesantren, tetapi juga para penjaga nurani dan peradaban yang menggabungkan kedalaman spiritual dengan ketajaman intelektual, menganyam nilai-nilai ilahiah menjadi daya gerak kemajuan umat dan bangsa.
Modernitas telah menempatkan manusia pada satu keadaan paradoksal: di satu sisi kemajuan ilmu dan teknologi membawa efesiensi dan kemudahan, namun di sisi lain, juga memunculkan kekosongan makna dan krisis spiritual. Dalam hal ini pesantren hadir sebagai entitas pendidikan tradisional yang memiliki relevansi baru.
Dimana pesantren tidak hanya sekedar tempat transmisi ilmu keagamaan, tetapi juga pusat pembentukan karakter, moralitas, dan kesadaran spiritual yang mampu menyeimbangkan antara akal, adab, dan cinta Ilahi.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia telah menjadi denyut nadi di kehidupan spiritual, intelektual, dan sosial masyarakat Nusantara.
Dalam lintasan sejarah pesantren adalah laboratorium nilai dan moral yang melahirkan manusia berkarakter. Dari pesantren lahirlah ulama, pemikir, dan pejuang-pejuang yang mengintegrasikan antara ilmu dan amal, dzikir dan fikir, iman dan akal.
Sistem halaqah, sorongan dan badongan menjadi metode khas yang menekankan pada kedalaman ilmu, keikhlasan guru, dan ketekunan santri.
Dalam pesantren agama tidak hanya diajarkan sekedar dogma kering atau hanya hafalan teks suci, tetapi sebagai nafas kehidupan yang menumbuhkan kesadaran akan martabat manusia dan tanggung jawabnya di hadapan Tuhan. Tauhid sebagai pondasi dalam seluruh proses pendidikan.
Pesantren mengajarkan bahwa setiap ilmu pengetahuan dan tindakan harus berorientasi pada pengesaan Tuhan serta berkontribusi terhadap kemaslahatan umat manusia.
Dari sanalah lahir pandangan hidup bahwa pengetahuan dan tindakan tidak hanya sebagai sarana berfikir tapi juga jalan untuk memuliakan kehidupan.
Dengan demikian, pesantren membangun suatu sintesis antara spiritualitas dan rasionalitas, antara dimensi transendental dan praksis sosial, yang menjadikan pendidikan bukan hanya instrumen intelektual, tetapi juga sarana pembentukan manusia paripurna (insan kamil).
Lebih jauh, pesantren berperan penting dalam membentuk identitas dan eksistensi bangsa Indonesia. Di tengah derasnya arus globalisasi dan sekularisasi nilai, pesantren tetap teguh menjadi benteng moral dan spiritual.
Tradisi ngaji, mujahadah, tawadhu’, dan khidmah mengajarkan kesadaran eksistensial bahwa hidup bukan sekadar mengejar kenikmatan duniawi, tetapi meniti jalan pengabdian menuju ridha Ilahi.
Dalam bahasa Al-Ghazali, ilmu tanpa adab akan melahirkan kesombongan, sementara amal tanpa ilmu akan menimbulkan kesesatan. Maka pesantren menanamkan keseimbangan antara ilmu dan adab, antara kecerdasan rasional dan kebeningan hati.
Bagi santri, keseimbangan inilah yang menjadi fondasi pembentukan jati diri. Santri tidak hanya belajar memahami teks, tetapi juga menafsirkan makna hidup melalui praksis spiritual dan sosial.
Dalam dirinya, ilmu tidak berhenti pada tataran intelektual, melainkan bertransformasi menjadi akhlak dan aksi kemanusiaan.
Santri tumbuh sebagai pribadi yang berilmu dan beradab, mereka menjadi cerminan dari sintesis antara pengetahuan dan kebijaksanaan, antara pikir dan zikir. Pesantren menjadikan santri tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial.
Pesantren adalah “ruang hidup spiritual bangsa,” tempat di mana nilai-nilai Ilahi ditanam dan ditumbuhkan agar masyarakat tidak kehilangan arah di tengah perubahan zaman.
Karena itu, tujuan pendidikan pesantren tidak berhenti pada penguasaan teks, tetapi pada pembentukan insan kamil yaitu manusia paripurna yang mampu memadukan kekuatan akal, kehendak, dan cinta.
Tradisi keilmuan pesantren berakar pada kesadaran bahwa dunia hanya dapat dibangun dengan jiwa yang terbangun; dan jiwa hanya dapat dibangun dengan cinta yang bersumber dari Tuhan.
Dalam terminologi Ibn ‘Arabi, cinta (mahabbah) adalah asas dari segala wujud, “karena Tuhan mencintai untuk dikenal, maka Dia menciptakan alam. Dengan demikian, pendidikan pesantren adalah praksis kosmologis: partisipasi manusia dalam melanjutkan karya penciptaan Ilahi melalui cinta.
Namun dunia hari ini menghadirkan ujian yang tidak ringan. Di tengah krisis moral dan materialisme yang menyesakkan, bahkan lembaga seagung pesantren pun diuji keteguhannya.
Peristiwa robohnya Pesantren Al-Khoziny Buduran kabupaten Siduarjo, Jawa Timur menjadi momen reflektif bagi dunia pesantren dan masyarakat luas bahwa pentingnya memperkuat infrastruktur pendidikan Islam.
Peristiwa tersebut mengingatkan kita bahwa membangun pesantren tidak cukup hanya berfokus pada aspek fisik saja, tetapi juga aspek spiritual, manajemen dan sosial.
Pesantren harus menjadi tempat yang aman, layak, dan berdaya, di mana ilmu dan nilai dapat tumbuh bersamaan dalam harmoni. Tragedi tersebut hendaknya menjadi metafora tentang keharusan merevitalisasi pondasi rohani dan moral dalam sistem pesantren dan kebangsaan kita.
Bangunan fisik dapat runtuh, tetapi nilai-nilai ikhlas, kebersamaan, dan cinta Ilahi yang hidup di hati para santri justru menjadi pondasi yang tak tergoyahkan.
Dalam kerangka pemikiran Al-Ghazali, ujian dan musibah adalah cara Tuhan menyucikan hati manusia dari kelekatan duniawi, agar bangunan spiritual dapat berdiri lebih tegak.
Respon cepat dari Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A., menjadi cerminan kepedulian negara terhadap dunia pesantren. Dalam kunjungannya ke lokasi beliau menyampaikan duka mendalam atas wafatnya para santri yang Tengah beribadah, seraya menyebut bahwa “para santri berpulang dalam keadaan mulia.”
Selain itu Menteri agama menyalurkan bantuan senilai lebih dari enam ratus juta rupiah untuk membantu pemulihan pesantren dan keluarga korban, sekaligus menegaskan pentingnya penerapan standar konstruksi dan keselamatan bangunan pesantren agar tragedi serupa tidak terulang.
Beliau juga menegaskan bahwa musibah ini menjadi pembelajaran nasional untuk memperkuat tata kelola dan manajemen pendidikan Islam, termasuk aspek teknis bangunan, administrasi, dan pengawasan mutu.
Namun di balik keprihatinan itu Menag juga mengingatkan agar pesantren tidak kehilangan semangat dan nilai dasarnya yaitu keikhlasan, kesederhanaan, dan pengabdian kepada Tuhan dan umat.
Respon cepat ini menandakan bahwa perhatian terhadap pesantren tidak hanya berhenti pada sisi spiritual, tetapi juga pada aspek kemanusiaan, kelembagaan dan keselematan yang menjadi sebuah sinergi antara tanggung jawab moral dan kebijakan negara dalam peradaban.
Dengan demikian, tragedi itu bukan sekadar duka sosial, tetapi juga momentum untuk menegaskan kembali hakikat membangun pesantren, bukan semata membangun dinding dan menara, melainkan membangun manusia dan jiwa. Dari reruntuhan material lahir kesadaran spiritual baru: bahwa pesantren sejati berdiri di atas fondasi cinta Ilahi yang tidak akan lapuk oleh waktu.
Dalam perspektif filosofis, santri adalah arsitek jiwa, Ia membangun dunia dari dalam, dari kekuatan cinta, ilmu, dan pengabdian. Ia tidak menolak kemajuan, tetapi menolak kehilangan arah.
alam dirinya, tradisi dan modernitas bukan dua kutub yang bertentangan, melainkan dua sisi yang bisa dipertemukan dalam cahaya tauhid.
Sebagaimana ditegaskan Seyyed Hossein Nasr, krisis utama peradaban modern adalah hilangnya kesadaran sakral terhadap ilmu. Maka, tugas santri adalah mengembalikan kesakralan itu, menjadikan ilmu sebagai jalan menuju Tuhan, bukan sekadar alat dominasi.
Santri diharapkan menjadi agen transformasi yang tidak hanya menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki kesadaran etis dan spiritual untuk mengarahkannya demi kemaslahatan.
Dengan cinta Ilahi, santri menjadi pembangun peradaban yang menolak kekerasan, menentang ketidakadilan, dan menegakkan nilai-nilai rahmah.
Dalam dunia yang dilanda disrupsi dan dehumanisasi, peran santri semakin signifikan, yaitu menjaga agar kemajuan tidak kehilangan arah moral, dan kemanusiaan tidak kehilangan akar spiritual.
Dengan cinta Ilahi, santri menjadi pembangun peradaban yang menolak kekerasan dan ketidakadilan. Ia membangun dunia yang manusiawi dan beradab, di mana kemajuan tidak kehilangan arah moral dan kemanusiaan tidak kehilangan akar spiritualnya. Dari pesantren yang sederhana lahir kesadaran kosmologis, bahwa segala kemajuan harus berakar pada cinta.
Membangun dunia dengan cinta Ilahi berarti menegakkan kembali hubungan sakral antara ilmu, iman, dan amal. Dalam pesantren, tiga unsur itu bukan hanya sekedar konsep, tetapi cara hidup.
Selama cinta Ilahi masih berdenyut di dada para santri, peradaban akan terus menemukan arah dan maknanya. Sebab cinta yang bersumber dari Tuhan tidak mengenal kehancuran, ia terus mengalir, menghidupkan, dan membangun dunia dari kedalaman jiwa manusia.
Pada akhirnya, membangun dunia dengan cinta Ilahi adalah perjalanan menuju keutuhan manusia dan kemanusiaan.
Pesantren dan santri tidak hanya menjaga warisan ilmu, tetapi juga merawat denyut cinta yang menautkan langit dan bumi. Pesantren dan santri merupakan dua entitas yang tak terpisahkan dalam membangun peradaban yang berjiwa.
Pesantren bukan sekadar institusi pendidikan agama, melainkan pusat pembentukan kesadaran spiritual dan moral bangsa.
Melalui peringatan hari santri ini, kita diajak untuk meneguhkan kembali semangat hubbul wathan minal iman—cinta tanah air adalah bagian dari iman—sembari menghidupkan kembali nilai-nilai pesantren dalam kehidupan berbangsa, kesederhanaan yang membumi, ilmu yang mencerahkan, dan cinta Ilahi yang menumbuhkan peradaban.
Santri bukan sekadar pelajar agama—ia adalah penjaga nur, penenun makna, arsitek jiwa yang membangun dunia dengan kasih dari langit. Dan selama cinta Ilahi masih berdenyut di dada para santri, peradaban tidak akan pernah kehilangan cahaya.
.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.