Bobby Dan Teater Meritokrasi

4 weeks ago 15
Editorial

23 Agustus 202523 Agustus 2025

Bobby Dan Teater Meritokrasi

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Gubernur mereduksi dirinya menjadi pengeras suara panitia seleksi.

Ada pidato. Ada jargon. Ada sumpah setia pada rakyat. Semua terdengar lantang dan garang—sampai publik sadar, lakon yang dipentaskan hanyalah drama lama dengan aktor baru.

Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, baru saja melantik dua pejabat eselon II: Hendra Dermawan Siregar di Dinas PUPR dan Dikky Anugerah Panjaitan di Bappelitbang. Upacara itu penuh orasi moral: jangan korupsi, jangan kerja asal-asalan, jangan copy-paste rencana.

Tetapi, di luar gedung, publik tertawa miris. Baru seminggu lalu, Dikky dipanggil KPK terkait kasus suap proyek jalan Rp231,8 miliar—kasus yang menyeret Topan Obaja Putra Ginting, pejabat “kesayangan” Bobby, dalam OTT. Dan kini, orang yang sama duduk manis di kursi empuk, dilantik langsung oleh Gubernur.

Ironi ini bukan cuma kebetulan. Ia adalah satire sejarah yang tengah menulis dirinya sendiri.

Ketika wartawan mencecar soal Dikky, jawaban Bobby justru membuyarkan wibawa:
“Pansel sudah bilang boleh, mau gimana.”

Selesai. Dengan satu kalimat, Gubernur mereduksi dirinya menjadi pengeras suara panitia seleksi. Kepemimpinan yang mestinya berakar pada nurani, jatuh ke level birokrat pasif: sekadar membacakan hasil rapat.

Publik pun bertanya: apa bedanya Gubernur dengan juru bicara? Bedanya hanya gaji, tunjangan, kuasa—dan mungkin mobil dinas, plus Aide-de-Camp (ADC).

Seleksi terbuka yang digadang sebagai benteng meritokrasi kini tampak sebagai panggung sandiwara. Pansel berubah menjadi sutradara, prosedur jadi naskah, dan pejabat terpilih hanyalah aktor yang menggantikan peran lama.

Hendra Dermawan yang ditempatkan di PUPR misalnya, bukan orang dengan latar belakang teknik. Sama persis dengan pola Topan dulu—yang kita tahu, kariernya tamat di tangan KPK.

Apakah ini kebetulan? Ataukah Bobby sedang menyiapkan “remake” dari tragedi lama?

“Jangan korupsi, ini uang rakyat!”—teriak Bobby di podium. Tapi bagaimana mungkin pesan itu mendengung, jika pejabat yang baru saja keluar dari ruang penyidik KPK ikut berdiri di sampingnya?

Inilah paradoks yang menelanjangi retorika Bobby. Slogan antikorupsi terdengar seperti tagline iklan: nyaring, tetapi hambar.

Bobby mestinya menunda pelantikan, menunggu kejelasan hukum, dan menunjukkan bahwa integritas bukan setara poster kampanye. Tetapi ia memilih berlindung di balik aturan, seolah etika bisa “disubkontrakkan” pada panitia seleksi.

“Sumatera Utara unggul, maju, berkelanjutan”—slogan itu tinggal pepesan kosong bila birokrasi justru disusun di atas pasir. Dan seperti menara rapuh, ia hanya menunggu waktu sebelum runtuh oleh palu OTT berikutnya.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |