20 Tahun Perdamaian Aceh, Bukanlah Akhir Perjuangan Tapi Awal Pertanggung Jawaban

1 month ago 18
AcehHeadlines

15 Agustus 202515 Agustus 2025

20 Tahun Perdamaian Aceh, Bukanlah Akhir Perjuangan Tapi Awal Pertanggung Jawaban Ketua Umum Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah, Sastra Maulana Simangunsong. Waspada.id/Ist

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

LHOKSEUMAWE (Waspada.id): Masyarakat Aceh perlu menyadari bahwa setelah 20 tahun perdamaian di Aceh lewat nota Kesepahaman Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Jumat (15/8), bukanlah akhir dari perjuangan tapi awal dari pertanggung jawaban untuk nasib rakyat Aceh.

Hal itu diungkapkan Ketua Umum Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah, Sastra Maulana Simangunsong, untuk membangkitkan kesadaran rakyat Aceh harus dalam kesejahteraan. Bahkan apalah artinya perdamaian jika rakyat Aceh belum merdeka dari kemiskinan dan sulitnya mendapatkan pekerjaan untuk menafkahi keluarganya.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Dikatakannya, suara senjata digantikan dengan pena perjanjian. Peristiwa itu mengakhiri konflik bersenjata yang menelan ribuan korban jiwa, meluluhlantakkan infrastruktur, dan meninggalkan luka sosial yang mendalam.

Namun dua dekade setelah perdamaian, tersisalah sebuah pertanyaan penting, tentang apakah Aceh sudah benar-benar merasakan manfaat dari buah perdamaian itu sendiri. Lantaran damai tidak cukup hanya dihitung dari ketiadaan perang saja yang dipicu faktor sejengkal perut manusia.

“Kita bersyukur senjata sudah diletakkan, tapi masih banyak janji damai yang tertunda. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu belum tuntas, kemiskinan masih tinggi, dan baru-baru ini masuknya 4 batalyon ke Aceh,” ujarnya.

Disebutkannya, perdamaian sejati adalah ketika rakyat merasakan keadilan, bukan sekadar tenangnya suasana, situasi dan kondisi keamanan.

Menurut data Badan Pusat Statistik Aceh menunjukkan, meski memiliki kekhususan dan dana otonomi khusus yang besar, kenyataannya Aceh masih termasuk provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera.

Banyak korban konflik belum mendapat kompensasi layak, sementara implementasi UUPA tidak sepenuhnya berjalan sesuai semangat MoU Helsinki.

Sastra menegaskan, aktivis HAM dan akademisi Aceh juga menilai bahwa 20 tahun ini seharusnya menjadi momentum evaluasi serius, bukan hanya seremoni.

Beberapa poin kesepakatan MoU, seperti pembentukan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, berjalan tersendat atau nyaris tidak berfungsi maksimal. Meski demikian, perdamaian tetap menjadi aset tak ternilai yang harus dijaga.

Tantangannya kini adalah mengubah “damai pasif” menjadi “damai aktif” — sebuah kondisi di mana rakyat Aceh tidak hanya bebas dari konflik bersenjata, tetapi juga terbebas dari kemiskinan, ketidakadilan, dan pengkhianatan terhadap cita-cita damai itu sendiri.

“Kalau kita hanya merayakan, tapi tidak memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan, maka damai ini hanya jadi kosmetik sejarah. Generasi muda harus berani kritis, karena perdamaian yang rapuh bisa runtuh,” paparnya. (id72).

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |