Oleh Muh. Hajoran Pulungan, SH,. MH.
Suramnya masa depan penegakan tindak pidana korupsi, membuat masyarakat mempertanyakan kembali komitmen pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi di tanah air
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Klaim sebagai negara hukum yang bebas dari korupsi yang dituangkan dalam aturan hukum sering tidak sejalan dan bahkan berbanding terbalik dengan ucapan dari mulut penguasa dan bahkan aparat penegak hukum itu sendiri. Dibuktikan dengan tingginya kasus korupsi yang setiap harinya terus mengkhawatir dengan nilai kerugian negara miliaran dan bahkan triliunan rupiah akibat prilaku para koruptor.
Ironisnya para pelaku korupsi itu adalah aparat penegak hukum sendiri terutama hakim yang seharusnya menegakan hukum sesuai dengan nilai-nilia keadilan dan kebenaran sekalipun dunia akan runtuh. Tapi kenyataannya hakim dan para penegak hukum ini malah berpaling dari etika dan moral serta hukum yang membimbing mereka menuju nilia-nilai kebenaran dan keadilan, sehingga menghasilkan ketidakjujuran mengakibatkan hilangnya integrasi yang menjadi pedoman dalam bertindak dan berprilaku.
Bahkan lebih celakanya para wakil Tuhan ini justru lebih aktif dan agresif melakukan komunikasi dan transaksi dengan pihak berperkara di pengadilan bahkan sebelum atau setelah kasus berproses di pengadilan. Alhasil putusan yang dibacakan dengan Kelapa “Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan yang Masa Esa” hanya lip service belaka dan mereka mengingkari sumpah jabatan yang diemban selaku wakil Tuhan di dunia untuk menegakan keadilan dan kebenaran.
Kasus Korupsi yang melibatkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN) diduga menerima suap vonis lepas kasus ekspor crude palm oil (CPO) sebesar Rp60 miliar adalah contoh terbaru. Dimana suap diberikan agar hakim memberikan vonis ontslag atau putusan lepas terhadap tiga perusahaan yang terlibat yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Dari Rp60 miliar tersebut, Muhammad Arif Nuryanta membagikan Rp22,5 miliar kepada tiga hakim yang menangani kasus ekspor CPO tersebut.
Mereka adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) selaku hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat, serta hakim PN Jakarta Selatan, Djuyamto (DJU). Muhammad Arif Nuryanta awalnya menyerahkan uang Rp4,5 kepada ketiga hakim. Lalu pada September-Oktober 2024, Muhammad Arif Nuryanta menyerahkan uang senilai Rp18 miliar kepada Djuyamto (DJU).
Kasus ini adalah contoh kecil dan nyata yang terjadi di dunia peradilan, betapa bobroknya etika dan moral penegak hukum di negeri ini. Kasus ini laksana gunung es yang hanya tampil di permukaan saja di dalamnya lebih dasyat lagi yang mungkin belum tersentuh atau bahkan tak bisa disentuh.
Problem negara hukum yang demokratis berakhir pada ungkapan “Sesuai dengan ketentuan dan proses hukum yang berlaku di Indonesia” disebabkan karena penegakan hukumnya tidak berawal dari keadilan. Penafsiran hukum sering menjadi perdebatan dan pembenaran untuk menguntukan para koruptor. Bahkan pasal karet dipertahankan dan sengaja dibuat untuk mengkriminalisasikan elemen masyarakat yang kritis terhadap pemberantasan korupsi, demi memuluskan rencana menggerus uang rakyat.
Hukum dan keadilan sepintas kita lihat seperti searah dan sejalan, tapi kenyataannya tidak demikian. Para penegak hukum terutama para hakim memastikan hukum yang ditegakkan telah memenuhi rasa keadilan, terutama yang berkembang di masyarakat. Hukuman para koruptor begitu ringan, dengan alasan sesuai dengan azas dan ketentuan hukum yang berlaku, sehingga hukum terjebak aturan proses dualisme mengakibatkan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat tidak terpenuhi.
Formalisme penegakan hukum yang berkembang selama ini terhadap para koruptor tidak mencerminkan dan memadai untuk legitimasi negara hukum. Selain adanya godaan yang mengiurkan begitu sulit ditolak para hakim untuk melayani kekuasaan, apalagi didukung oleh subordinasi struktural, akibatnya penegakan hukum cenderung menjauh dari gravitasi keadilan. Suatu upaya hukum dipaksakan dengan ratusan mahar mengesampingkan etika, moral bahkan profesionalisme asal simpul perkara yang merugikan penguasa tidak terusik.
Suramnya masa depan penegakan tindak pidana korupsi, membuat masyarakat mempertanyakan kembali komitmen pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi di tanah air. Selama jual beli perkara dan kasus di wilayah para penegak hukum masih tumbuh subur, maka putusan hukum akan terabaikan, dan sepanjang makelar kasus berkeliaran dengan leluasa mendekati penegak hukum dengan alasan yang tidak dibenarkan perundang-undangan. Maka selama itu pula hukum diperjualbelikan, mereka lebih dikenal sebagai pekerja di sebuah lembaga hukum dan menjalin persahabatan dengan mencederai kode etik profesi.
Reformasi institusi dan lembaga negara terutama Mahkamah Agung (MA) tidak cukup hanya dengan perbaikan remunerasi dan mundurnya pejabat yang diduga berkasus. Mereka yang terlibat tahu sama tahu, mengorganisasikan diri mereka secara rapi, prosedural dan saling melindungi. Korupsi berjamaah sudah tidak menjadi hal yang baru, bahkan sudah menjadi kebiasaan. Jaringan mafia kasus lebih luas dan dasyat dari mafia peradilan dalam jangka panjang yang bisa meruntuhkan kredibilitas aparat negara hukum dan bahkan hukum itu sendiri.
Pengawasan Hakim
Berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sama-sama berwenang menjalankan fungsi pengawasan hakim di badan peradilan, namun bentuk pengawasan yang dilakukan keduanya berbeda. Di mana Mahkamah Agung berwenang menjalankan fungsi pengawasan internal, sementara Komisi Yudisial menjalankan fungsi pengawasan secara eksternal.
Sebagai pengawasan internal MA berwenang melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan terhadap semua badan peradilan di bawah MA dan pengawasan internal atas tingkah laku hakim. Hal ini berdarkan Pasal 39 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman berbunyi (1) Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung. (2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan. (3) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Sedangkan fungsi pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial, dalam menjalankan fungsi pengawasan diatur di Pasal 40 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan (1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial dan ayat (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Dengan adanya pengawasan dari dua lembaga negara terhadap hakim, seharusnya kasus-kasus hakim yang melanggar kode etik bisa diminimalisir dengan adanya kerjasama. Tapi dalam penerapannya di lapangan kadang-kadang masalah teknis yudisial menjadi perdebatan di antara MA dan KY, akibatnya ketika ada hakim yang diusulakan KY untuk dijatuhi sanksi karena melanggar kode etik, terkadang tidak ditindakjanjuti oleh MA karena terkait masalah teknik yuridis.
Penulis adalah Dosen Tetap & Ka. Prodi Ilmu Hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi Pengayoman Dan Dosen Universitas Bung Karno
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.