Sejumlah Daerah Masih Tinggi Malaria, Sumut Targetkan Bebas Malaria 2030

8 hours ago 7

MEDAN (Waspada): Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengatasi malaria, dengan peringkat kedua setelah India dalam jumlah kasus malaria di kawasan Asia Tenggara, mencakup hampir 94% dari seluruh kasus malaria di wilayah tersebut.

Masalah malaria tetap menjadi isu kesehatan masyarakat yang mendalam, meski situasi ini menunjukkan kemajuan di sejumlah daerah.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Sejumlah Daerah Masih Tinggi Malaria, Sumut Targetkan Bebas Malaria 2030

IKLAN

Dalam pemaparannya mengenai Strategi dan Kebijakan Nasional Eliminasi Malaria 2030, Dr. Ina Agustina Isturini, MKM, Direktur Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular menyampaikan, fakta bahwa sebanyak 401 kabupaten/kota di Indonesia telah mencapai status bebas malaria. Namun, tantangan terbesar masih terletak di beberapa daerah endemis tinggi, terutama di Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mencatatkan angka kasus tertinggi.

“Di Papua, sekitar 93% kasus malaria di Indonesia ditemukan. Hal ini menunjukkan beban yang sangat berat di wilayah tersebut,” ungkap Ina dalam webinar dengan tema ‘Malaria Berakhir Bersama Kita: Kolaborasi Sumut untuk Eliminasi 2030’, Jumat (25/4).

Strategi malaria tahun 2016-2023, sambung Ina, ditetapkan parameter terukur untuk mencapai target eliminasi tersebut. Jadi ada empat yang dituju, yaitu menurunkan angka kematian malaria, strategi yang ditetapkan dalam usaha eliminasi ini termasuk yang pertama ialah menjamin akses universal terhadap pencegahan diagnosis dan pengobatan, mempercepat upaya menuju eliminasi dan pencapaian status bebas malaria dan survei malaria itu harus diperkuat yang menyebabkan survei lancar.

“Ini harus menjadi intervensi utama karena kalau malarianya tidak terdeteksi tidak bisa diobati dan individu yang terinfeksi akan terus menyebabkan transmisi di dalam lingkungan sehingga kontrol akan menjadi sulit,” tandasnya.

Salah satu tantangan utama adalah penemuan kasus malaria yang masih rendah. Hanya sekitar 54% dari kasus yang diperkirakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang berhasil terdeteksi pada 2024. Angka kematian akibat malaria juga menjadi perhatian serius, dengan 125 kematian tercatat pada 2024 hingga April. Angka ini masih jauh di bawah perkiraan WHO yang menyatakan seharusnya ada antara 1.600 hingga 5.800 kematian.

“Selama dua tahun terakhir, kami sudah melakukan evaluasi untuk meningkatkan pencatatan kematian akibat malaria, yang sering terabaikan karena dianggap disebabkan oleh komplikasi lain seperti gagal ginjal atau penyakit hati,” kata dr. Ina.

Pada tahun 2024, upaya untuk mendefinisikan ulang pencatatan kematian malaria dilakukan agar setiap kematian dengan hasil tes positif malaria dapat tercatat dengan benar.

Pemerintah Indonesia menargetkan eliminasi malaria pada 2030, dengan rencana untuk menurunkan angka insiden malaria hingga 90% dan angka kematian hingga 90% pada seluruh kabupaten/kota. Dengan kebijakan yang tercantum dalam Permenkes No. 22 Tahun 2022, Indonesia berfokus pada pencegahan, deteksi, dan respon yang lebih cepat.

“Pencegahan dilakukan melalui promosi kesehatan masyarakat, penggunaan kelambu berinsektisida, dan profilaksis malaria untuk mereka yang bekerja di daerah endemis,” jelas dr. Ina. Selain itu, deteksi aktif dan pasif juga merupakan kunci penting, dengan upaya survei di daerah rawan seperti Papua, yang mencatat banyak kasus tanpa gejala.

Kementerian Kesehatan juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat untuk mencapai tujuan eliminasi. Dr. Ina mengingatkan, meskipun banyak daerah telah berhasil bebas malaria, tantangan terbesar adalah mempertahankan status eliminasi, karena seringkali terdapat peningkatan kasus setelah pencapaian tersebut.

Dalam forum yang sama, Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Destanul Aulia, SKM, MBA, MEc, Ph.D., menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam upaya eliminasi malaria di Indonesia. Dalam paparannya pada webinar bertema “Peran Kolaboratif Lintas Sektor dalam Eliminasi Malaria”, Destanul menggambarkan kenyataan pahit yang masih dihadapi sebagian besar masyarakat di wilayah-wilayah endemis, seperti Kepulauan Nias di Sumatera Utara.

“Saat malam tiba, anak-anak di desa menangis karena demam tinggi. Listrik hanya hidup beberapa jam. Untuk menuju puskesmas harus naik motor melewati hutan atau menyewa perahu—itu pun kalau cuaca bersahabat,” ungkapnya. “Ini bukan cerita fiksi, tapi kenyataan yang masih terjadi.” jelasnya.

Destanul menyoroti bahwa hingga kini terdapat delapan daerah di Sumatera Utara yang masih tergolong endemis malaria, seperti Kabupaten Batu Bara, Nias, Asahan, dan sekitarnya. Menurutnya, malaria bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga berdampak pada sektor pendidikan dan ekonomi masyarakat.

Ia menjelaskan bahwa penyebab malaria bersifat kompleks, bukan sekadar karena gigitan nyamuk. Faktor lingkungan, perilaku, literasi kesehatan, kemiskinan, hingga akses terhadap layanan kesehatan turut memperburuk penyebaran penyakit ini.

“Rumah tanpa kelambu, ventilasi buruk, minimnya akses pengobatan, dan mobilitas tinggi antarwilayah memperbesar risiko penyebaran. Bahkan praktik pengobatan tradisional tanpa diagnosis memperburuk kondisi pasien,” jelasnya.

Destanul menyampaikan bahwa untuk mengeliminasi malaria tidak cukup hanya dengan intervensi sektor kesehatan. Dibutuhkan keterlibatan sektor pendidikan, infrastruktur, lingkungan hidup, hingga sektor swasta. Ia mencontohkan bahwa tanpa jalan yang layak, masyarakat tetap sulit mengakses layanan meskipun obat tersedia.

Dalam pemaparannya, Destanul menggarisbawahi pentingnya pendekatan One Health, yaitu sinergi antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Ia menekankan bahwa malaria bukan hanya masalah medis, tetapi juga bagian dari ekosistem kehidupan yang saling mempengaruhi.

“Pengendalian malaria bukan hanya memberi obat, tapi juga menyasar perubahan lingkungan, edukasi masyarakat, serta penguatan sistem kesehatan lokal. Curah hujan, ‘hilangnya’ hutan, dan pola pertanian semua berkontribusi terhadap habitat nyamuk,” ujar Destanul.

Namun, menurutnya, meskipun istilah seperti “kolaborasi” dan “sinergi” kerap diucapkan, realisasinya di lapangan masih minim. Berdasarkan laporan Badan Litbangkes dan Kementerian Kesehatan, keterlibatan sektor non-kesehatan dalam pengendalian malaria masih sangat terbatas.

“Sektor pertambangan, pertanian, pekerjaan umum, bahkan perencanaan daerah berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada koordinasi efektif. Contohnya Dinas PU hanya fokus pada drainase di kota, tanpa mempertimbangkan kantong-kantong malaria di wilayah terpencil,” kata Destanul.

Ia juga menyoroti rendahnya pelaporan dari fasilitas kesehatan swasta, lemahnya integrasi edukasi malaria dalam kurikulum sekolah, hingga sikap sektoral yang membuat eliminasi malaria sulit tercapai.

Menurut Destanul, hal ini harus diubah dengan pendekatan sistematis, bukan hanya seremonial. Kolaborasi harus menjadi bagian dari sistem perencanaan dan penganggaran lintas sektor, sejalan dengan visi dan misi Gubernur Sumatera Utara yang baru, Bobby Afif Nasution, yaitu “Sumut BERKAH: Unggul, Maju, dan Berkelanjutan”.

“Dalam kepemimpinan Gubernur Bobby Nasution, kesehatan harus menjadi prioritas. Tidak cukup sekadar berbagi peran, tapi harus ada sistem pelaporan, perencanaan bersama, dan akuntabilitas lintas sektor,” ujarnya.

Ia juga menekankan, keberhasilan kolaborasi sangat bergantung pada share vision, transparansi, peran yang jelas, komunikasi terbuka, serta evaluasi yang dilakukan bersama.

“Contohnya, Dinas Kesehatan fokus pada diagnosis dan pengobatan, Dinas PU pada perbaikan saluran air dan jalan, Dinas Pendidikan menyisipkan edukasi malaria di sekolah, sektor swasta menyediakan logistik, dan pelaporan kasus dilakukan terpadu. Tapi semuanya harus berjalan dalam satu sistem,” tutupnya.

Hari Malaria Sedunia yang diperingati setiap 25 April menjadi momen penting untuk meningkatkan kesadaran global, memperkuat komitmen, dan mendorong aksi nyata dalam upaya pengendalian serta eliminasi malaria.

Indonesia, dengan target eliminasi malaria pada tahun 2030, kini menghadapi tantangan besar, terutama di provinsi-provinsi dengan endemisitas tinggi, termasuk Sumatera Utara.

Webinar yang dibuka secara resmi oleh Husein Habsyi, Pengurus Pusat (PP) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dihadiri juga pemateri lainnya seperti H. Muhammad Faisal Hasrimy, AP, M.AP (Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Utara), dr. Inke Nadia Diniyanti Lubis, PGDip PID M.Ked (Ped), Sp.A, Ph.D (Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja Sama dan Informasi FK USU), dan dr. Deni Syahputra (Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batu Bara). (cbud)

Ilusrasi

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |