Jakarta, CNBC Indonesia - Utang luar negeri Indonesia dari Amerika Serikat (AS) kembali mengalami kenaikan, sementara itu pinjaman dari China yang sebelumnya sempat mencetak rekor tertinggi justru mengalami penurunan.
Berdasarkan rilis Bank Indonesia (BI), Senin (17/11/2025), posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada kuartal III-2025 atau sampai akhir September 2025 tercatat sebesar US$424,4 miliar, menurun dibandingkan pada kuartal II-2025 yang sebesar US$432,5 miliar.
Jika dikonversi ke rupiah, nilai ULN Indonesia hingga kuartal III-2025 mencapai sebesar Rp7.100,21 triliun (asumsi kurs Rp16.730/US$1). Secara tahunan, ULN juga turun 0,6% (yoy) atau jauh lebih rendah dari pertumbuhan ULN pada kuartal II-2025 yang mencapai 6,4% (yoy).
Penurunan utang luar negeri ini dipicu oleh melambatnya pertumbuhan ULN pemerintah karena turunnya aliran masuk modal asing ke surat berhaga negara (SBN).
"Perkembangan ini terutama dipengaruhi oleh kontraksi pertumbuhan aliran masuk modal asing pada Surat Berharga Negara (SBN) domestik seiring ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi," dikutip dari siaran pers BI, Senin (17/11/2025).
Rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga turun menjadi 29,5% pada kuartal III-2025, dari 30,4% pada kuartal II-2025. Komposisi ULN Indonesia masih didominasi ULN jangka panjang dengan pangsa 86,1%, yang dinilai lebih aman bagi stabilitas perekonomian.
"Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan Pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN. Peran ULN juga akan terus dioptimalkan untuk menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan," tulis BI dalam rilis pers Senin (17/11/2025).
Utang dari AS Naik, Utang ke China Turun
Salah satu sorotan penting dalam laporan terbaru BI adalah perubahan struktur ULN Indonesia dari dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia, yakni Amerika Serikat dan China.
Per September 2025, ULN Indonesia kepada Amerika Serikat (AS) tercatat meningkat dari US$26,350 miliar pada Agustus 2025 menjadi US$26,670 miliar pada September 2025. Artinya, ULN kepada AS naik sekitar US$320 juta, atau setara 1,21% secara bulanan. Kenaikan ini mencerminkan meningkatnya eksposur Indonesia terhadap pembiayaan dari Negeri Paman Sam tersebut.
Sebaliknya, ULN Indonesia kepada China justru mengalami penurunan yang cukup dalam. Posisi ULN terhadap China turun dari US$24,847 miliar pada Agustus 2025 menjadi US$23,295 miliar pada September 2025. Dengan demikian, ULN kepada China terkontraksi sekitar US$1,55 miliar, atau turun 6,25% secara bulanan.
Tren ini memperlihatkan bahwa outstanding loan dari China mulai menyusut sejak 2024, sejalan dengan berkurangnya proyek-proyek baru dan pergeseran korporasi domestik ke instrumen pembiayaan global berbasis dolar AS.
Menurunnya ULN Indonesia terhadap China ini menarik karena terjadi di saat pembahasan mengenai beban utang Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Whoosh tengah mencuat di publik. Meski proyek ini sudah beroperasi, persoalan utang yang harus ditanggung konsorsium tetap menjadi perhatian utama pemerintah dan para pemangku kepentingan.
Pembiayaan KCJB sebagian besar berasal dari pinjaman jangka panjang China Development Bank (CDB) dengan komposisi 75% utang dan 25% ekuitas. Dengan kepemilikan 60% di PT KCIC, konsorsium BUMN melalui PSBI menanggung porsi utang sekitar US$2,7 miliar, sementara Beijing Yawan menanggung sekitar US$1,8 miliar.
Beban bunga tahunan proyek ini mencapai sekitar US$74-75 juta atau setara Rp1,2 triliun, sementara kondisi keuangan PSBI masih mencatatkan kerugian lebih dari Rp1,6 triliun per Juni 2025.
Kondisi inilah yang membuat isu utang Whoosh kembali ramai dibicarakan, khususnya terkait kemampuan konsorsium dalam memenuhi kewajiban jangka panjang. Sejumlah opsi penyelesaian masih dibahas pemerintah bersama pemangku kepentingan, mulai dari skema pembiayaan ulang hingga potensi pelibatan lebih besar pihak swasta maupun BUMN.
Meski demikian, data ULN BI justru menunjukkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap kreditur China tidak meningkat, bahkan menurun cukup tajam pada 2024-2025. Ini mengindikasikan bahwa penambahan utang baru dari China termasuk untuk proyek infrastruktur besar telah jauh lebih terbatas dibandingkan periode pembangunan sebelumnya.
Dengan data terbaru di September 2025, Amerika Serikat dan China masih menempatkan posisi ke dua dan ketiga sebagai kreditur terbesar Indonesia, serta Singapura masih memimpin dalam posisi pertama.
Selain Singapura yang tetap kokoh sebagai kreditur terbesar Indonesia, serta Amerika Serikat dan China yang menempati posisi berikutnya, sejumlah negara lain juga masih menjadi pemberi pinjaman utama bagi Indonesia, meski dengan tren yang bervariasi dalam beberapa tahun terakhir.
Jepang kini menempati posisi keempat dengan total pinjaman sebesar US$20,13 miliar per September 2025. Angka ini masih menunjukkan tren penurunan yang konsisten dibanding tahun-tahun sebelumnya, melanjutkan pola melemah sejak 2010 ketika Jepang pernah menjadi kreditur terbesar Indonesia dengan pinjaman mencapai US$40,47 miliar.
Di posisi kelima terdapat Hong Kong, dengan nilai pinjaman mencapai US$18,84 miliar pada September 2025, meningkat tipis dibandingkan posisi Agustus 2025 yang sebesar US$18,69 miliar. Meski fluktuasinya relatif kecil, Hong Kong tetap mempertahankan perannya sebagai salah satu sumber pembiayaan penting bagi Indonesia.
Hong Kong juga terus menjadi pusat pendanaan utama korporasi RI, terutama dalam bentuk pinjaman jangka menengah serta fasilitas perbankan internasional yang banyak dimanfaatkan dunia usaha.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)

2 hours ago
1

















































