Oleh Dr. Ida S Widayanti, MA dan Darmawan Sriyanto, M.Si
SEBERAPA sering Anda melihat sisa makanan di piring saat pesta atau di resto-resto? Pemandangan seperti itu memang tidak asing di masyarakat Indonesia. Hampir jarang didapati piring yang bersih tanpa sisa makanan. Bahkan sebagian besar sisa sampah pangan di piring-piring tampak bertumpuk.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Fakta tersebut sejalan dengan laporan Economist Intilligence Unit (EIU) tahun 2017 yang dalam salah satu edisinya, disebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat tinggi dalam hal food loss and waste, kedua setelah Arab Saudi dalam hal penanganan dan pengelolaan termasuk efisiensi rantai pasok kebijakan dan kesadaran masyarakat. .
Menurut UNEP Food Waste Index Report 2021, Indonesia menghasilkan sekitar 20,9 juta ton sampah makanan per tahun, menjadikannya salah satu penyumbang terbesar di dunia. Laporan tersebut juga mengatakan bahwa sepertiga dari semua makanan yang diproduksi di seluruh dunia terbuang sia-sia.
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2020 menyebutkan bahwa di Indonesia, jumlah sampah makanan adalah terbesar dari seluruh jenis sampah yang dihasilkan yaitu sebesar 39,8 persen.
Di sisi lain, sebanyak 8,34 persen penduduk Indonesia masih mengalami kekurangan pangan. Ketimpangan ini tentu saja memprihatinkan, karena selain di negara sendiri, di beberapa negara lain bahkan angka kelaparan dan kekurangan makanan lebih tinggi.
Indonesia merupakan negara yang berkomitmen mendukung pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satunya menargetkan pengurangan 50% sampah makanan di tahun 2030. Hal itu meliputi food waste atau makanan yang sudah diolah dan food loss atau bahan makanan yang belum diolah.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, seyogyanya umat Islam menjadi agent of change dalam mengurangi banyaknya sampah pangan ini. Ajaran Islam sangat jelas melarang tindakan pemborosan dan berlebih-lebihan dalam hal apapun termasuk dalam hal makanan.
Di balik sepiring makanan yang tersaji, terdapat banyak sumber daya yang dikerahkan, dengan harga yang tidak murah. Dengan setiap penduduk bumi peduli dengan sebutir nasi, maka akan sangat berarti bagi yang tidak memiliki.
Dr. Swasto Imam Teguh Prabowo dalam artikelnya di ESQ Magz, 2019 berjudul “Mereka Hidup dalam Keberlimpahan Rahmah” mengatakan bahwa dalam perspektif Islam terdapat dua perbuatan yang dimurkai Allah yang terkait penggunaan harta tanpa tuntunan taqwa, yaitu tabdzir dan israf.
- Tabdzir
Ayat yang berkaitan dengan tindakan ini adalah firman Allah: “…dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’: 26-27)
Sebagian besar mufasir menafsirkan kata tabdzir adalah, mengeluarkan harta untuk sesuatu yang tidak benar. Asy-Syaukani menyatakan bahwa setiap harta yang terpakai untuk maksiat seberapapun jumlahnya, masuk dalam kategori tabdzir.
- Israf
Mengenai perbuatan israf, Allah berfirman: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Ibnul Jauzi mengutip pernyataan az-Zajaj menyatakan bahwa israf adalah menggunakan sesuatu yang diperbolehkan namun melebihi kebutuhan. Hal ini memberikan dampak buruk secara fisik dan psikis. Secara fisik bisa saja terjadi gangguan kesehatan pada dirinya. Secara psikis, sifat para musrifin bergelimang kejumawaan dan superioritas dapat membuatnya selalu tidak tenang. Semakin jauh seseorang dari sifat israf, maka semakin sehat jiwa dan raganya.
Kesimpulannya, tabzir itu dari awalnya sudah merupakan tindakan dosa. Sedangkan israf awalnya boleh, namun jika berlebihan dan sehingga terbuang, maka menjadi terlarang. Dengan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa hendaknya kita tidak berlebihan dalam mengkonsumsi dan mengolah makanan dan sebaiknya tidak membuang makan,
Dengan menggunakan kedua benteng tersebut, hendaknya umat Islam menjadi garda terdepan dalam memerangi tindakan membuang makanan ini. Ajaran Islam sudah sangat jelas dan tegas melarang tindakan tersebut. Tidak hanya cukup seruan namun juga contoh dan tindakan nyata dari berbagai lapisan masyarakat.
Di dunia pendidikan, edukasi tentang pola makan sangatlah penting. Pendiri Sekolah Al Falah Jakarta, drg. Wismiarti Tamin memaparkan hal tersebut. Menurutnya, banyak manusia yang makan hanya memenuhi selera, makan apa yang disuka, sebanyak yang diinginkan.
Faktanya tubuh manusia memerlukan nutrisi setiap 8 jam. Allah meletakan sensor rasa lapar pada tubuhnya agar mengkonsumsi makanan, dan juga sensor kenyang agar tidak makan berlebihan.
Oleh karena itu, cukuplah makan untuk memenuhi kebutuhan sel tubuh, tidak berlebihan. Perhatikan waktu makan. Sebaiknya makan sebelum tubuh lapar, berhenti sebelum kenyang, dan atur jarak makan 8 jam.
Kalau kita makan dengan memperhatikan poin-poin di atas, maka kita akan meminimalisir konsumsi makan dan membatasi jumlah mengolah makanan. Karenanya, Wismi sangat memiliki semboyan, “Makanlah dengan ilmu bukan dengan nafsu!”
Ketika prinsip dan nilai islami di atas diamalkan, maka umat Islam bukan saja terhindar dari dosa, namun juga memberi sumbangsih besar bagi tercapainya pemerataan makanan kepada fakir miskin dan harapan pengurangan sampah makanan 50% di tahun 2030.
Jika semua pihak baik para pemimpin, penyeru dakwah, para guru, orangtua bersungguh-sungguh mengamalkannya bukan mustahil angka penurunan pembuangan sampah semakin besar dan dalam waktu yang lebih cepat. Lebih jauh lagi dengan Mari ber-fastabiqul khairat! (Penulis Dr. Ida S Widayanti, MA Staf Pengajar Universitas Ary Ginanjar Jakarta dan dan Darmawan Sriyanto, M.Si Staf Pengajar STIE Graha Kirana Medan)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.