Pesan Dari Bukit Uhud Di Serdangbedagai

14 hours ago 3

“IDULFITRI merupakan momentum yang tepat untuk kita saling memaafkan atas segala kesalahan dan kekhilafan yang pernah terjadi. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa”

Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Oleh karena itu, mari kita buka hati, lapangkan dada, dan saling memaafkan atas segala kesalahan yang pernah terjadi, baik disengaja maupun tidak disengaja.

Dengan saling memaafkan, hati kita akan menjadi bersih dan jernih kembali, sehingga kita dapat menjalani kehidupan ini dengan lebih tenang dan bahagia.

Demikian sebagian khutbah Idulfitri 1446 Hijriah tahun 2025 yang disampaikan Khatib Dr. Faisal Riza, MA, Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), Senin (31/3) pagi dengan judul khutbah “Pesan Dari Bukit Uhud” di hadapan ratusan jamaah Masjid Agung Sergai di Desa Firdaus Kec.Sei Rampah Kab. Serdangbedagai (Sergai) berjuluk Tanah Bertuah Negeri Baradat.

Sholat Id tersebut juga dihadiri diantaranya Bupati Sergai H Darma Wijaya, Wakil Bupati H Admin Tambunan, Ketua MUI Sergai H Hasful Huznain, Pj Sekdakab Rusmiani Purba, Wakapolres Sergai Kompol Mukmin Rambe, sejumlah Staf Ahli Bupati, Asisten dan Kepala OPD serta ratusan jamaah sholat Idulfitri 1446 H Masjid Agung Sergai.

” Saudaraku, menyedihkan bahwa di sela-sela kita merayakan Idulfitri, masih ada di antara kita yang masih saling bermusuhan, rumah tangga masih diselimuti pertikaian, masyarakat kita belum rukun, dan gemar bertikai,” papar Faisal Riza.

Menurutnya, rasanya sulit pula kita percaya bahwa di tengah-tengah kebahagiaan kita merayakan lebaran, hari yang memancarkan nuansa cinta kasih ini, justru tidak mampu menjadi pemadam pertikaian yang terjadi di sekitar kita. Apa rasanya dan apa pula untungnya?

Saudaraku dijabarkan Faisal Riza, Islam mengajarkan bahwa mukmin sejati adalah Manusia yang memiliki toleransi tinggi dalam arti yang sebenarnya, mampu menahan amarah dan pemaaf, kaya akan kebijaksanaan dan kearifan, suatu kekayaan kemanusiaan yang tidak ternilai harganya.

Ditegaskan Dosen Fakultas Ilmu Sosial tersebut, buat apa lama-lama terpekur di sisi keranda kebencian?, bukankah setelah hujan pasti ada cerah?, sesudah tangis pasti ada tawa?.Maka membenamkan diri dalam dendam dan kebencian adalah kesia-siaan. Ibarat kata pepatah “menanam dendam untung-untungan, hidup sukar mati pun sesat”.

Allah SWT telah berfirman dalam Surat An-Nur ayat 22 yang artinya
Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Di samping itu ada juga satu hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh ra. Artinya: Nabi Muhammad pernah ditanya. Wahai Rasulullah! Sesungguhnya ada seorang perempuan yang rajin qiyamullail di malam harinya, rajin puasa di siang harinya, rajin mengerjakan kebaikan dan bersedekah, akan tetapi dirinya menyakiti tetangganya dengan tutur katanya. Rasulullah menjawab: Tidak ada kebaikan padanya dan dia termasuk penghuni neraka.

Saudara sekalian sebut Faisal Riza, mendendam itu hanyalah perjudian. Justru menambah penyakit dan penderitaan batin, baik di dunia maupun di akhirat. Hidup mendendam itu tak lebih dari menelan api dan baranya tak berkesudahan.

Hal inilah yang pernah disadari oleh Rasulullah SAW ketika mengalami kekalahan pahit di perang Uhud. Diceritakan bahwa, setelah pihak Quraisy meninggalkan medan Uhud dengan penuh kemenangan, Nabi Saw dan para sahabat kembali ke lembah Uhud guna mengambil mayat-mayat kaum muslim untuk dikuburkan.

Saat itulah lanjut Faisal Riza, Nabi secara khusus pergi mencari jenazah pamannya, Hamzah ibn Abdul Muthalib. Ketika dia menyaksikan mayat Hamzah terkoyak dengan dada robek dan isi perut tercincang, Nabi langsung tertunduk.

Tampak dari pelupuk matanya mengalir air mata tak henti-hentinya, dengan suara bergetar menahan kepedihan, beliau berkata, “tidak pernah kusaksikan ada orang yang mengalami malapetaka seperti engkau ini pamanku, belum pernah aku menyaksikan suatu peristiwa yang begitu menimbulkan amarahku seperti peristiwa kematianmu ini,” ujar Nabi dengan nada terisak.

Lalu, dengan nada marah beliau bersumpah, “Demi Allah! Andaikan suatu ketika Tuhan memberikan kemenangan kepada kami, niscaya akan aku aniaya mereka dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari bangsa Arab,” ucap Rasullulah SAW saat itu, ” urai Faisal Riza.

Sesudah mengucapkan kata-kata penuh emosi itu, turunlah firman Allah yang menegur sikap Nabi saw yang artinya, “Dan kalau kamu mengadakan pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan kepadamu. Tetapi kalau kamu bersabar, maka kesabaranmu itu lebih baik bagimu. Dan hendaklah kamu tabahkan hatimu, dan hendaklah ketabahan hatimu itu karena berpegang kepada Allah. Jangan pula engkau bersesak dada terhadap perbuatan mereka. Jangan pula engkau bersesak dada terhadap apa-apa yang mereka rencanakan. (Q.S. al-Nahl/16:126-127), ” jelas Faisal Riza.

Berdasarkan firman Allah inilah Nabi Saw bersedia menahan amarahnya dan berusaha untuk tabah menghadapi perbuatan biadab yang telah menimpa Hamzah ibn Abdul Muthalib, pamannya.

Dijelaskan Dosen UINSU, Beliau kemudian mengumpulkan kaum muslim dan menyampaikan pidato yang isinya, pertama, melarang kaum muslim melampiaskan amarah dan dendamnya dengan melakukan penganiayaan biadab terhadap mayat-mayat musuh, Kedua, mengajak kaum muslim untuk selalu tabah dan tidak bersedih hati atas kekalahan yang menimpa mereka, serta tidak cepat-cepat bersesak dada atas skenario busuk yang disiapkan musuh.

Setelah itu, dikisahkan Faisal Riza, baru beliau selubungkan jenazah Hamzah dengan mantelnya untuk disembahyangkan dan dikuburkan di lembah Uhud.

“Saudaraku, Rasulullah Saw telah memberi contoh teladan yang luhur bagaimana menghapus dendam dengan memaafkan. Diceritakan bahwa pembunuh Hamzah bin Abdul Muthalib adalah, Wahsyi. Dalam riwayat Rasulullah justru memberikan hadiah selendang kepada Wahsyi dan mengajak Wahsyi masuk Islam, ” ungkap Faisal Riza.

Memang, memberi maaf terasa amat berat. Soalnya, kadang ia ditakar dengan gengsi dan harga diri. Seperti seorang kakak belum mau memberi maaf kepada adiknya, jika sang adik belum datang memohon maaf.

“Begitu juga terkadang seorang pimpinan atau orang kaya belum mau memberi maaf kepada bawahannya atau si miskin sebelum bawahannya menundukkan kepalanya dan meminta maaf kepadanya,” kata Faisal Riza.

Menurut Dosen UINSU ini, Idulfitri adalah kesempatan emas untuk memperbaiki hubungan antar sesama. Jangan sia-siakan momen ini dengan tetap memendam kebencian atau dendam. Mari jadikan kasih sayang sebagai dasar dalam berinteraksi dengan orang lain.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa—maka memaafkan adalah bentuk cinta sejati kepada sesama.

“Semoga kita semua mampu menjadi pribadi yang pemaaf, rendah hati, dan penuh kasih sayang sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. Mari jadikan Idul Fitri sebagai titik awal untuk memperbaiki diri dan membangun kehidupan yang lebih damai serta harmonis, ” pungkas Faisal Riza mengakhiri khutbah Idul Fitri 1446 H di Masjid Agung. WASPADA.id/Edi Saputra

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Pesan Dari Bukit Uhud Di Serdangbedagai

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |