MEDAN (Waspada.id): Pada September 2025, Inflasi Sumatera Utara tercatat paling tinggi di Indonesia, yakni sebesar 5,32 persen (yoy), melampaui rata-rata nasional yang berada pada 2,65 persen (yoy). Angka ini menempatkan Sumut sebagai provinsi dengan tekanan harga paling berat, tidak hanya di Pulau Sumatera tetapi juga secara nasional.
Jika dibandingkan dengan provinsi lain di Sumatera, tingkat inflasi Sumut jauh lebih tinggi daripada Riau (4,45 persen), Aceh (4,22 persen), dan Sumatera Barat (3,77 persen). Sementara itu, provinsi di bagian selatan pulau ini, seperti Jambi (3,55 persen), Sumatera Selatan (2,91 persen), dan Lampung (1,17 persen), mencatat inflasi yang relatif lebih rendah.
Pengamat Ekonomi Sumut dari Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Sumatera Utara (FEB USU), Wahyu Ario Pratomo menyebutkan, perbedaan yang mencolok ini menunjukkan bahwa tekanan harga di Sumatera Utara bersifat spesifik wilayah dan sangat dipengaruhi oleh faktor domestik, terutama terkait pasokan dan distribusi bahan pangan.
Wahyu menyebutkan, Sumatera Utara yang berperan sebagai salah satu sentra produksi sekaligus pemasok pangan ke provinsi lain seperti Riau dan Aceh, menghadapi tantangan besar dalam menjaga kestabilan pasokan di dalam daerah sendiri. Kondisi infrastruktur distribusi yang belum optimal, dengan rasio jalan mantap baru sekitar 72,76 persen, turut memperbesar biaya logistik dan memperlambat arus barang antarwilayah.
Faktor permintaan juga memperparah tekanan inflasi, terutama setelah pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang meningkatkan konsumsi beras, cabai, dan ayam ras tanpa diimbangi peningkatan pasokan yang memadai.
Faktor yang paling dominan menyebabkan inflasi di Sumatera Utara pada tahun 2025 adalah kenaikan harga komoditas pangan strategis, terutama yang termasuk dalam kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Kelompok ini mencatat inflasi tahunan tertinggi, yakni 11,38 persen (yoy), dengan andil sebesar 3,98 poin persentase terhadap total inflasi provinsi.
“Komoditas utama penyumbang inflasi adalah cabai merah, bawang merah, beras, dan daging ayam ras, yang seluruhnya mengalami kenaikan harga cukup signifikan selama triwulan ketiga tahun 2025. Selain itu, dari sisi non-pangan, emas perhiasan turut memberikan andil inflasi karena kenaikan harga global yang memengaruhi pasar domestik,” Wahyu Ario, Kamis (16/10).
Wahyu memaparkan, kenaikan harga pangan ini tidak semata-mata dipicu oleh faktor musiman, tetapi lebih bersifat struktural dan lokal, terkait dengan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan di wilayah Sumut. Dari sisi permintaan, lonjakan konsumsi masyarakat meningkat seiring dengan pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), sementara pasokan bahan pangan seperti beras, ayam, dan cabai belum mampu mengimbanginya.
Dari sisi pasokan, efisiensi distribusi pangan masih rendah, tercermin dari tingginya margin perdagangan dan pengangkutan (MPP) komoditi seperti beras, sebesar 24,35 persen dan rantai pasok empat tahap, yang menyebabkan harga di tingkat konsumen jauh lebih tinggi dari harga produsen.
Selain itu, kondisi infrastruktur turut memperburuk situasi. Jalan mantap baru mencapai 72,76 persen, sehingga biaya logistik dan waktu distribusi antarwilayah menjadi tinggi. Sumut juga berfungsi sebagai pemasok pangan antarprovinsi, terutama ke Riau dan Aceh, sehingga sebagian hasil produksi justru keluar dari provinsi dan mempersempit ketersediaan lokal.
“Kenaikan harga di Sumut lebih dominan disebabkan oleh faktor lokal dibandingkan faktor nasional atau global. Inflasi pangan bersifat struktural, karena inflasi Sumut masih tinggi ketergantungannya pada pasokan lokal dan hasil panen musiman, distribusi antarwilayah yang belum efisien karena kondisi jalan di sentra-sentra produksi masih buruk yang mengakibatkan biaya logistik tinggi,” ungkap Wahyu.
Jika dibandingkan dengan Nilai Tukar Petani (NTP), khususnya seperti NTP hortikultura dan NTP peternakan relatif rendah (di bawah 100). Artinya, petani tidak menikmati hasil kenaikan harga. Jadi Margin Perdagangan dan Pengangkutannya masih tinggi. Tata niaga yang tidak efisien, karena petani masih sangat tergantung dari harga yang ditetapkan pengumpul/pedagang.
Sementara itu di Pulau Jawa inflasi masih relatif rendah, karena akses petani ke pasar lebih baik, mengingat kondisi jalan yang mantap dan kelembagaan petani di Pulau Jawa sudah lebih baik. BUMDes dan Koperasi Desa berperan besar untuk memberikan distribusi hasil pertanian yang dinikmati oleh petani itu sendiri.
Wahyu menyebutkan, tekanan inflasi pangan berdampak langsung terhadap daya beli rumah tangga menengah ke bawah, karena lebih dari 50% pengeluaran rumah tangga di Sumut dialokasikan untuk makanan. Akibatnya, konsumsi rumah tangga berpotensi melemah, terutama di daerah dengan inflasi tertinggi seperti Deli Serdang (6,81%) dan Labuhanbatu (6,38%).
“Peningkatan infasi pada September 2025, dapat saja akan menambah tingkat kemiskinan di Sumut, mengingat komponen terbesar dalam pengukuran Garis Kemiskinan adalah pengeluaran rumah tangga untuk Konsumsi Beras, Rokok, dan bahan makanan,” ujarnya.
Menurutnya, kebijakan pemerintah daerah dan TPID Sumut menunjukkan hasil positif namun belum optimal. Langkah cepat yang telah dijalankan seperti 11 program penanganan inflasi, seperti pasar murah, pembagian pangan gratis, bundling beras SPHP, dan sidak pasar berbasis 4T (tepat lokasi, komoditas, sasaran, dan waktu).
“Langkah tersebut berhasil menurunkan inflasi bulanan dari 1,37% menjadi 0,65%, tetapi inflasi tahunan justru naik, menandakan kebijakan bersifat reaktif, belum struktural. Diperlukan perbaikan distribusi (logistik) dan penguatan stok antarwilayah agar efeknya lebih berkelanjutan,” tegasnya.
Wahyu mengatakan pemerintah daerah perlu melakukan langkah strategis untuk menstabilkan harga pangan pokok dalam jangka pendek dan jangka menengah. Dalam jangka pendek, perlu dilakukan optimalisasi distribusi pangan strategis melalui kerja sama antar daerah.
“Kabupaten/kota melakukan peninjauan ketersediaan stok pangan secara berkelanjutan. Jangan sampai stok kurang baru diambil kebijakan. Di samping itu, perluasan operasi pasar dan pasar murah di wilayah dengan inflasi tertinggi. Stabilisasi stok dan rantai pasok komoditas hortikultura dengan memperkuat rantai pasok,” sarannya.
Dalam jangka menengah perlu dilakukan perbaikan struktural seperti perbaikan infrastruktur jalan dan logistik hingga rasio jalan mantap mencapai ≥85%, reformasi rantai pasok pangan dengan membentuk Regional Food Hub dan digitalisasi perdagangan, dukungan produktivitas petani melalui benih unggul, irigasi, dan pembiayaan murah.
Di samping itu, tata niaga juga diperbaiki melalui kelembagaan dengan mendampingi koperasi desa, BUMDes untuk menjadi pengumpul hasil pertanian di desa dan memasarkannya ke pasar-pasar. BUMD juga dapat berperan membantu distribusi dan menjaga ketersediaan stok pangan yang cukup, misalnya dengan memiliki gudang, cold storage, dan lain-lain.
Menurutnya, inflasi diperkirakan mulai mereda pada triwulan IV, seiring turunnya harga hortikultura dan stabilnya pasokan beras. Namun, risiko kenaikan tetap ada bila distribusi dan pasokan pangan strategis tidak segera diperkuat. Dengan asumsi intervensi 4T berjalan konsisten, inflasi Sumut berpotensi turun walaupun ada potensi mengalami peningkatan di akhir tahun, seiring dengan meningkatnya permintaan dan berkurangnya produksi pangan.
“Tingginya inflasi berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi Sumut pada 2025 karena konsumsi rumah tangga melambat akibat daya beli menurun,
sektor-sektor berbasis konsumsi (perdagangan, makanan, jasa) terdampak langsung. Jika inflasi tidak segera terkendali, pertumbuhan ekonomi Sumut bisa tertahan di bawah 5%, lebih rendah dari target nasional (5,1–5,2%),” pungkasnya. (id09)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.