JAKARTA (Waspada.id) : Dari beberapa kasus penindakan di bidang keimigrasian, petugas Imigrasi Indonesia pernah memproses puluhan Warga Negara Indonesia (WNI) berpaspor ganda, yang rela melepaskan kewarganegaraan Republik Indonesia demi mendukung mobilitas global. “Mereka tahu risikonya”, tapi justru lebih memilih paspor Singapura atau Malaysia, dengan alasan “bebas visa” ke ratusan negara.” Contoh paling mencolok; Expatriate asal Indonesia dengan pergaulan internasional, cukup terganggu dengan urusan visa paspor Indonesia. Dengan paspor Singapura, ia dapat melintasi batas negara tanpa hambatan administratif—migrasi lancar, bisnis tak terputus, investasi mengalir deras.
Realitas ini mencerminkan kelemahan struktural dari paspor Indonesia. Per September 2025, paspor Indonesia hanya memberikan akses bebas visa atau visa-on-arrival ke 73 negara saja (peringkat 65 dunia menurut Henley Passport Index), jauh tertinggal dari Malaysia (180 negara, peringkat 11) dan Amerika Serikat (184 negara, peringkat 8). Padahal, kekuatan paspor bukan sekadar isu prestise nasional, melainkan katalisator kemajuan ekonomi untuk mempermudah 80 persen dari aktifitas perdagangan global, menarik talenta diaspora, dan membuka peluang pendidikan serta investasi. Tanpa reformasi yang mendalam, Indonesia berisiko kehilangan generasi emasnya ke negara tetangga, yaitu WNI berbakat yang lebih memilih “paspor kuat” demi mendukung peningkatan karier tanpa batas.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Mungkin, ini saat yang tepat bagi Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan untuk beraksi; “diplomasi agresif, supremasi hukum, dan narasi branding global harus menjadi literasi utama untuk mengangkat derajat paspor kita setara expatriate dunia”.
Mengapa WNI rela kehilangan kewarganegaraan demi paspor asing? Jawabannya sederhana, waktu adalah uang di era globalisasi. Bayangkan para profesional Indonesia di Silicon Valley, atau konsultan ASEAN yang kehilangan minggu demi minggu untuk mengurus visa Schengen, Jepang, atau Australia dengan paspor Indonesia. Setiap penolakan visa bermakna; kontrak bisnis hilang, promosi tertunda, dan investasi potensial menguap. Data World Bank (2024) menunjukkan; negara dengan paspor yang kuat mendapatkan 25 persen lebih banyak FDI (Foreign Direct Investment), karena kemudahan mobilitas eksekutif. Singapura dan Malaysia paham ini—paspor mereka jadi ‘golden ticket’ bagi talenta global, termasuk eks-WNI kita.
Kebijakan dual-citizenship Indonesia yang kaku memperkeruh situasi. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan mewajibkan untuk memilih satu kewarganegaraan saat dewasa, hal ini mendorong WNI level super-produktif dan berbakat untuk melakukan migrasi permanen ke negara tetangga. Hasilnya cukup tragis, Indonesia kehilangan potensi pajak sebesar Rp.50-100 triliun per tahun dari diaspora berpenghasilan tinggi (estimasi BPS & Kemenkeu, 2023). Lebih parah, brain-drain ini kronis—10.000 profesional IT dan pakar finansial kita banyak yang pindah ke Singapura tiap tahunnya (Migration Policy Institute, 2024), dengan membawa serta inovasi dan jaringan global mereka. Ketika mereka dengan mudah mendapat paspor Singapura, maka Indonesia tak lagi mendapat remittance + suara diplomatik mereka di forum internasional.
Ironisnya, ini bukan soal loyalitas, tapi pragmatisme. WNI tersebut tetap cinta Indonesia—mereka kirim uang ke keluarga, investasi properti di Bali—tapi memilih paspor fungsional demi karier. Tanpa paspor kuat, Indonesia hanya jadi penonton dalam ekonomi global, bukan sebagai pemain utama.
Reformasi Kebijakan sepertinya dibutuhkan untuk meminimalisasi; hambatan visa domestik, dengan mempertimbangkan fleksibilitas kewarganegaraan bagi talenta strategis, Dengan demikian paspor Indonesia akan menjadi senjata kompetitif—bukan beban administratif.
Bagaimana Malaysia merubah paspor biasa menjadi ‘senjata kompetitif’? Jawabannya adalah dengan menggunakan narasi global yang konsisten. Sejak tahun 2004, Malaysia menggunakan pendekatan komersial “Truly Asia”—model branding budaya inklusif, keamanan destinasi, dan sebagai hub ASEAN yang ramah bisnis. Narasi ini bukan gimmick, tetapi diterjemahkan ke dalam kebijakan diplomasi visa melalui perjanjian bebas visa berasama 180+ Negara (peringkat 11 dunia). Hasilnya, Peningkatan kedatangan Turis di Malaysia menjadi 30 juta/tahun, FDI pun ikut meningkat menjadi US$15 miliar (UNWTO & World Bank, 2024). Amerika Serikat lebih fantastis, menggunakan pendekatan komersial berbasis “Hegemonic Citizenship”—bermakna paspor Amerika adalah simbol kekuatan militer, ekonomi #1, dan keamanan biometrik—Amerika menjamin 184 negara dengan akses bebas (peringkat 8). Dengan Narasi ini kedua negara itu berhasil membangun kepercayaan dunia, bermakna; “Jika AS memberikan paspornya, maka Anda aman dan powerful”.
Indonesia, Narasi komersial kita masih belum terintegrasi dan terinterkoneksi (tercerai-berai). Branding “Wonderful Indonesia” cukup hebat hanya sebagai promosi turisme (20 juta kunjungan 2023), tapi belum terintegrasi dan terinterkoneksi ke paspor. Publik global melihat kita hanya sebagai “negara berkembang yang berisiko”—korupsi, stabilitas politik, kejahatan transnasional—bukan partner strategis. Henley Passport Index memberikan bukti penilaian, bahwa skor paspor kita 73 vs Malaysia 180 karena rendahnya citra keamanan. Ironis, padahal Indonesia adalah anggota G20, populasi kita mencapai 280 juta, ekonomi kita #16 dunia. Diplomasi kita hanya terus berfokus pada infrastruktur, bukan branding paspor.
Solusi konkretnya adalah; dengan mengembangkan branding narasi “Paspor Nusantara – Jembatan Dunia”, melalui kampanye yang terintegrasi antara Kementerian luar Negeri dan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Negara kita harus mulai lebih Fokus dalam mempromosikan; keunggulan ekonomi hijau Indonesia, peran sentral kita di ASEAN digital, serta Negara dengan stabilitas demokrasi terbesar ketiga di dunia. Indonesia sudah harus berani untuk memulai kampanye global “Paspor Nusantara – Jembatan Dunia” dengan menggabungkan iklan strategis, storytelling diaspora sukses dengan menggunakan branding narasi seperti; “Indonesia: Aman, Inovatif, Terhubung”.
Oleh karena itu, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan sangat dibutuhkan untuk merealisasikan implementasi branding narasi ini, sebagai prioritas diplomasi pertama. Dengan demikian, secara bertahap tentunya akan mengubah persepsi internasional. Dari konsistensi ini, Indonesia akan dapat mempercepat proses perjanjian bebas visa dan menempatkan paspor Indonesia sejajar dengan negara tetangga yang lebih maju.
Narasi global hebat seperti “Truly Asia” tidak dibangun tanpa fondasi yang kokoh, tetapi didukung dengan supremasi hukum dan keamanan negara. Malaysia dan AS sukses dalam membangun “visa waiver” mereka karena keseimbangan sempurna dari kedua pilar ini. Malaysia sukses menerapkan e-paspor biometrik 100 persen sejak tahun 2006, mengintegrasi data dengan database Interpol, dan mempraktikkan undang-undang anti-terorisme dengan ketat. Dampaknya adalah “nol” insiden paspor palsu (ICAO, 2024). AS lebih advanced, REAL ID Act + Program Visa Waiver sukses memverifikasi pemegang paspor AS di 40+ negara dengan tingkat keamanan biometrik 99,9% (DHS, 2024). Hal ini membuat Negara-negara tujuan percaya bahwa “Paspor AS memiliki risiko rendah atas pelaku kejahatan internasional” dan dianggap sebagai warga negara yang terhormat.
Indonesia masih tertinggal jauh di kedua pilar krusial ini. E-paspor kita baru mencapai 100 persen cakupan di tahun 2025, tetapi penindakan terhadap paspor palsu masih cukup lemah, dari 15.000 kasus yang terdeteksi di tahun 2023-2024 (Ditjen Imigrasi), hanya 20 persen yang diproses secara hukum. Selain itu, survey dari Global Peace Index menunjukkan citra keamanan kita yang rendah, yaitu #54 vs Malaysia #10 (2024). Berdampak negara negara Eropa, Jepang dan Australia masih menolak visa waiver Indonesia, karena adanya kekhawatiran kejahatan transnasional dan human trafficking.
Jika di tahun 2026-2029 Indonesia sukses untuk mengintegrasi Sistem Informasi Keimigrasian bersama Interpol dan melatih 10.000 petugas biometrik, bukan tidak mungkin pintu visa indonesia akan terbuka lebar dari 73 menjadi berlaku di 120 negara bebas visa. Ayo Indonesia, saatnya beraksi….
Penulis: Ir. H. Abdullah Rasyid, ME. (Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Republik Indonesia Bidang Komunikasi dan Media).
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.