
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Oleh: Askolani Nasution
Aneh saat kita menolak adanya hukuman fisik dalam dunia pendidikan.
Reinforcement itu wajib dalam pola pendidikan. Unsurnya ada dua: pujian dan hukuman. Kalau hanya pujian yang ada, anak tidak tahu bahwa dia salah. Anak akan tumbuh menjadi manusia yang tidak boleh disalahkan, tidak bisa menerima kritik, dan seterusnya. Jadi, hukuman dan pujian sama perannya dalam pola asuh anak. Ini norma pertama didaktik.
Aneh saat kita menolak adanya hukuman fisik dalam dunia pendidikan. Saat yang sama, kita ikhlas menerima, dan tahu benar bahwa di lingkungan sekolah kepolisian dan militer, hukuman fisik itu lumrah. Ditampar, ditendang, direndam di bak mandi, disuruh makan ular, dan sebagainya. Kita terima. Kita bangga anak-anak kita lulus di sekolah militer, berotot anak kita, tidak cengeng lagi, dan seterusnya. Dan kita ke mana-mana pamer punya anak yang lulus dari pendidikan fisik begituan.
Bahkan, kita anggap sebagai pembentukan mental, agar orang tidak lebay, tidak sedikit-sedikit mengeluh, nangis bombay, dan seterusnya.
Bisakah kita bayangkan kalau pendidikan militer, peserta didik harus dimanja-manja, dilembuti kayak pacar sendiri, dan seterusnya? Tentara jadi seperti apa? Lemah, lentik kayak penari, dan menjerit-jerit saat naik pesawat tempur.
“Oh, ini kan bukan pendidikan militer,” bantahmu. “Cuma sekolah umum.”
Hasilnya kan sudah kita lihat. Selama puluhan tahun sejak munculnya “pemolisian guru”, hasilnya adalah generasi dengan IQ jongkok, lebay, cengeng, narkoba, doyan seks, dan seterusnya. Lalu kita semua pening karena parahnya kriminalitas, rentannya bunuh diri, dan seterusnya. Lalu kita salahkan sekolah yang gagal mendidik.
Guru akhirnya kan memilih membiarkan anak kita mau ngapain. Siapa juga yang mau berurusan dengan hukum hanya karena kita mendidik anak orang, ya kan? Maka terjadilah pembiaran.
Orang-orang kaya dan pejabat, janganlah sok. Kalau mau anakmu hanya boleh dielus-elus kayak agar-agar, jangan masukkan sekolah. Kurung dia di rumah, ajari sendiri, nilai sendiri, buat rapor sendiri. Buat dia juara satu, kasih piala di atas kasur.
Saya tidak tahu konsep hukum apa yang kita gunakan saat ini. Sedikit-sedikit mau penjarakan orang. Giliran maling besar, koruptor, dan lain-lain dibiarkan. Bahkan giliran maling ayam pun dibiarkan. Katanya nilai kerugiannya di bawah Rp2.500.000,00. Hanya hukuman ringan. Padahal jelas-jelas nyolong. Dan jauh sebelum ada hukum pun sudah dianggap semua umat sebagai dosa.
Eh, giliran yang melanggar seorang guru, semangat benar hukum memprosesnya. Kayak mesti cepat. Pejabatnya juga, kayak mesti kali gurunya dihabisi. Kayak guru itu menjadi enemi, berbahaya bagi zaman ini. Ya kan?
Hukum itu alat merekonstruksi sosial, bukan malah membuat tatanan lebih buruk.
Guru katanya harus santun, tidak boleh kasar omongannya, tidak boleh menghukum siswa.
Lha, kita sendiri hobi mencaci maki guru, mengancam, mengintimidasi, bahkan semangat untuk memenjarakan guru. Seakan-akan di luar guru boleh apa saja atas nama KUHP.
Lu waras atau tidak?
Penulis adalah Pensiunan Guru
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.