Menata Good Governance di Sektor Energi: Dari Etika ke Efisiensi

2 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Selama dua dekade terakhir, istilah good governance menjadi semacam mantra dalam ruang-ruang pemerintahan dan bisnis. Ia disebut di seminar, ditulis dalam dokumen kebijakan, hingga tercantum di laporan korporasi.

Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi sudah lama dijadikan pilar moral dalam menjalankan tata kelola yang baik. Namun dalam konteks sektor energi yang tengah bertransformasi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan, maknanya perlu diperluas. Tata kelola yang baik kini tidak hanya berbicara soal etika administrasi, tetapi juga tentang efisiensi sistemik dan daya saing ekonomi.

Sektor energi Indonesia berada di titik penting: bagaimana memenuhi kebutuhan pembangunan nasional sembari menyiapkan fondasi untuk ekonomi rendah karbon. Lebih dari 60 persen listrik nasional masih bersumber dari batu bara, sementara energi terbarukan perlahan mulai tumbuh. Tantangannya bukan semata pada teknologi, tetapi pada bagaimana sistem tata kelola mampu menciptakan efisiensi dan kepastian bagi seluruh pelaku.

Kinerja energi nasional tak hanya bergantung pada seberapa banyak pembangkit dibangun, melainkan juga pada kualitas tata kelola yang menopang seluruh ekosistemnya. Kebijakan harga, mekanisme perizinan, regulasi investasi hingga koordinasi antarlembaga sangat berpengaruh terhadap biaya energi yang pada akhirnya dibayar masyarakat dan industri. Ketika koordinasi lebih sederhana, data lebih terbuka, dan kebijakan lebih konsisten, maka kepercayaan dan efisiensi meningkat.

OECD mencatat bahwa negara dengan tata kelola publik yang kuat mampu menurunkan transaction cost hingga 25 persen di sektor utilitas. Bukan karena mereka lebih kaya, tetapi karena sistemnya lebih terorganisasi. Di Denmark dan Korea Selatan, efisiensi tata kelola bahkan menjadi indikator ekonomi yang dipantau setara dengan inflasi dan defisit fiskal. Tata kelola yang baik adalah infrastruktur tak kasatmata yang mempercepat arus investasi dan inovasi.

Indonesia dapat mengambil pelajaran dari hal itu. Setiap rupiah subsidi energi, setiap proyek pembangkit, dan setiap skema insentif memiliki potensi besar untuk menciptakan nilai ekonomi yang lebih besar bila dikelola dalam sistem yang efisien. Tata kelola yang baik tidak hanya soal kepatuhan administratif, tetapi juga tentang bagaimana membuat setiap keputusan publik menghasilkan manfaat optimal bagi masyarakat.

Dalam konteks energi, good governance perlu dimaknai sebagai governance for performance. Transparansi dan akuntabilitas tetap penting, tetapi keduanya harus dikaitkan dengan hasil konkret seperti efisiensi fiskal, peningkatan kapasitas energi bersih, dan penurunan emisi.

Keterbukaan data, misalnya, dapat membantu mempercepat keputusan investasi dan memperluas partisipasi pelaku usaha. Pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator sistem yang adaptif, belajar dari data, dan terus memperbaiki diri.

Tata kelola yang baik berarti setiap kebijakan energi dilandasi informasi yang akurat, regulasi yang konsisten, dan koordinasi yang efektif. Dengan begitu, prinsip etika tidak ditinggalkan, tetapi menjadi fondasi bagi efisiensi.

Sektor energi juga menjadi cermin betapa pentingnya efisiensi kebijakan. Banyak proyek energi terbarukan di berbagai negara maju dapat berjalan cepat bukan semata karena teknologi, melainkan karena tata kelola yang lincah. Di balik sistem yang efisien, selalu ada koordinasi yang baik, kejelasan tanggung jawab, dan kolaborasi lintas sektor.

Dalam ekonomi global yang semakin saling terhubung, tata kelola energi menentukan reputasi dan daya saing negara. Laporan World Energy Trilemma Index 2021 menyoroti tiga pilar utama kesuksesan sektor energi: keamanan pasokan, keberlanjutan lingkungan, dan keterjangkauan ekonomi. Ketiganya hanya dapat tercapai bila tata kelola bekerja dengan baik.

Indonesia dapat terus memperkuat ketiga aspek tersebut dengan memastikan sistem pengambilan keputusan yang berbasis data dan kebijakan yang kolaboratif. Pengalaman negara seperti Jerman dan Norwegia menunjukkan bahwa tata kelola yang transparan menciptakan kepercayaan pasar. Investor melihat kepastian kebijakan dan kejelasan arah pembangunan sebagai sinyal positif untuk berinvestasi jangka panjang.

Digitalisasi menjadi salah satu kunci untuk membangun tata kelola yang lebih efisien. Saat ini, data tentang pasokan, permintaan, dan subsidi energi masih tersebar di berbagai lembaga. Dengan sistem open energy data, semua pihak dapat mengakses informasi yang lebih akurat dan konsisten. Investor dapat menilai potensi pasar lebih cepat, masyarakat bisa memantau kebijakan secara langsung, dan pemerintah dapat mengambil keputusan yang lebih tepat waktu.

Pemanfaatan big data analytics dan kecerdasan buatan juga dapat memperkuat tata kelola berbasis bukti. Melalui analisis data yang komprehensif, pemerintah bisa memprediksi pola konsumsi energi, mengantisipasi lonjakan permintaan, hingga merancang kebijakan harga yang lebih adil. Namun, digitalisasi juga perlu diimbangi dengan pengaturan yang menjaga keamanan data dan mencegah penyalahgunaan informasi.

Tata kelola yang adaptif berarti kebijakan harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi dan kebutuhan masyarakat. Pendekatan seperti policy innovation labs dapat menjadi cara untuk menguji ide dan kebijakan baru dalam skala kecil sebelum diterapkan secara nasional. Dengan begitu, kebijakan energi tidak lagi bersifat reaktif, tetapi proaktif dan berbasis pembelajaran berkelanjutan.

Desentralisasi juga menjadi bagian penting dari tata kelola adaptif. Pemerintah daerah perlu diberi ruang untuk berinovasi sesuai potensi energi setempat. Banyak wilayah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumber energi terbarukan seperti panas bumi, air, angin, dan surya yang dapat dikelola secara mandiri dengan dukungan kebijakan pusat yang fleksibel.

Selain pemerintah, tata kelola yang baik melibatkan banyak pihak. Dunia usaha, lembaga riset, komunitas lokal, dan masyarakat sipil semuanya memiliki peran dalam ekosistem energi. Pemerintah dapat berperan sebagai pengarah dan penjamin keadilan, sementara pelaku swasta membawa inovasi, modal, dan efisiensi. Kolaborasi yang transparan dengan pembagian tanggung jawab yang jelas akan mempercepat langkah menuju sistem energi yang lebih tangguh.

Partisipasi masyarakat juga krusial. Keterlibatan publik dalam proses perencanaan dan evaluasi kebijakan energi menciptakan rasa memiliki dan meningkatkan akuntabilitas. Ketika masyarakat memahami arah kebijakan dan merasakan manfaatnya, kepercayaan pun tumbuh.

Arah baru good governance di sektor energi seharusnya menempatkan tata kelola sebagai instrumen efisiensi dan kolaborasi, bukan semata simbol etika. Dengan tata kelola yang baik, investasi dapat mengalir lebih cepat, biaya operasional menurun, dan kepercayaan publik meningkat. Itulah pondasi ekonomi hijau yang berkelanjutan.

Indonesia memiliki semua modal untuk mewujudkannya. Sumber daya energi yang melimpah, kemampuan teknologi yang terus tumbuh, dan komitmen politik menuju net zero emissions adalah fondasi kuat untuk melangkah maju. Yang dibutuhkan kini adalah keberanian untuk menata ulang cara kita mengelola sektor energi agar transparansi dan akuntabilitas benar-benar menghasilkan keputusan yang cepat, efisien, dan berdampak bagi masyarakat.

Tata kelola yang baik bukan hanya etika birokrasi. Ia adalah sumber energi baru bagi pembangunan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |