Main Patgulipat Di Smart Board Sekolah

2 hours ago 1
EditorialHeadlines

19 September 202519 September 2025

Main Patgulipat Di Smart Board Sekolah

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Aneh: mengapa “kelas cerdas” bisa dibangun di atas prosedur yang dungu?

Di sebuah kelas negeri, layar putih menyala. Jari guru menoreh garis, huruf meluncur tanpa kapur. “Papan pintar,” kata brosur. Di balik kilau piksel, APBD bersalin rupa. Di Tebingtinggi, Sumatera Utara, pengadaan papan tulis interaktif senilai sekitar Rp14,2 miliar untuk 10 SMP negeri melaju mulus di 2024, tapi tagihan baru dilunasi awal 2025 lewat pos Belanja Tak Terduga (BTT). APIP sudah menyorot pola bayar‑belakangan ini; fraksi di DPRD pun keberatan. Bukan bencana, kok pakai BTT? Pertanyaan yang sederhana, jawabannya berliku.

Sorotan publik di Tebingtinggi sesungguhnya muncul lebih dulu. Pada Juli 2025, organisasi mahasiswa—dari GMNI hingga HIMMAH dan IMM—mendesak audit investigatif atas penggunaan BTT untuk “smart board”. Logika mereka juga logika kita: BTT disiapkan untuk darurat, bukan belanja alat bantu ajar yang bisa direncanakan. “Darurat” yang dipaksakan hanyalah eufemisme untuk anggaran yang telanjur berjalan.

Padahal pedoman dari provinsi jelas. Pj Gubernur Sumut pada 2024 menekankan BTT mesti dipakai untuk hal darurat dan mendesak. Bukan keranjang serbaguna untuk politik anggaran. Kalau definisi darurat ikut melar, tata kelola ikut ambyar.

Namun peluit panjang penegakan hukum pertama kali justru nyaring di Kabupaten Langkat. Di sana, Kejari menggeledah Dinas Pendidikan pada Kamis, 11 September 2025, terkait pengadaan smart board bernilai sekitar Rp50 miliar tahun anggaran 2024. Jaksa menyita dokumen; pemeriksaan saksi menembus ratusan. Dalam beberapa laporan, paket “mobiler” ikut disebut. Jejaknya jelas, jalurnya formal: dari lidik, geledah, hingga penyidikan. Yang tak jelas—seperti biasa—adalah mengapa “kelas cerdas” bisa dibangun di atas prosedur yang dungu.

Dari Langkat, gema meluas. Di Binjai, massa mendesak Kejati Sumut turun tangan mengusut pengadaan smart board untuk SD dan SMP. Gelombang “kelas pintar” menjadi arus anggaran lintas kabupaten/kota; semakin luas, semakin butuh pagar etik dan audit.

Konteks nasional memang menggoda. Pemerintah pusat menargetkan 15.000 sekolah menerima smart board sebagai bagian digitalisasi pendidikan, dengan alokasi sekitar Rp2 triliun. Tujuannya mulia—kelas cerdas, guru terlatih, pembelajaran interaktif. Tapi program baik tanpa tata kelola yang ketat sering berubah menjadi industri pengadaan. E‑catalog bukan deodorant. Ia memendekkan proses, bukan mensterilkan niat.

Kasus Sumut mengajarkan tiga hal. Pertama, “darurat” harus kembali ke makna asal. BTT bukan pintu darurat menuju toko gawai. Kepala daerah dan DPRD perlu mengunci interpretasi—bukan membuka celah. Kedua, pengadaan berbasis manfaat. Sebelum belanja papan pintar, ukur literasi digital guru, kesiapan listrik, stabilitas internet, kurikulum yang relevan. Jangan sampai papan canggih jadi pajangan mahal. Ketiga, akuntabilitas tegas. Langkat telah masuk jalur hukum; Tebingtinggi mesti mengikuti jalur audit dan, bila perlu, penyelidikan berbasis temuan APIP. Tanpa itu, “smart” tinggal merek, bukan cara pikir.

Di kelas, anak belajar menulis lurus di garis buku. Pemerintah daerah semestinya belajar hal yang sama. Lurus di garis aturan, disiplin di pos anggaran. Jika ingin “kelas cerdas”, mulailah dari kebijakan yang tidak dungu. Papan bisa pintar; yang menentukan tetap manusianya—dan nuraninya.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |