JAKARTA (Waspada.id): Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mendorong optimalisasi perlindungan jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat, termasuk insan pers. Menurutnya, hak atas pelayanan kesehatan merupakan amanat konstitusi yang harus diwujudkan secara nyata oleh negara.
Edy menjelaskan, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 telah mengatur bahwa setiap warga negara berhak memperoleh akses layanan kesehatan. Dalam konteks global, hal tersebut sejalan dengan konsep Universal Health Coverage atau Sehat untuk Semua. Ia menyebut, Indonesia termasuk negara yang relatif terlambat dalam membangun sistem jaminan sosial, terutama di bidang kesehatan.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
“Kalau ada wartawan parlemen yang tidak menjadi peserta BPJS berarti ada kemungkinan dia tidak mendapat akses layanan kesehatan,” ujar Edy dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema ‘Optimalisasi Perlindungan Jaminan Kesehatan bagi Insan Pers’ di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
Ia menegaskan, perintah undang-undang sangat jelas bahwa setiap penduduk wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan agar tidak kehilangan akses terhadap pelayanan kesehatan. Saat ini, menurutnya, cakupan peserta BPJS sudah di atas 90 persen dari total penduduk, namun masih terdapat sekitar 27 persen peserta yang berstatus tidak aktif.
“Saya perkirakan sekitar 70 persen saja yang aktif,” ujarnya.
Terkait pembiayaan, Edy menyebut Indonesia merupakan negara dengan iuran BPJS paling murah di dunia. Sistem ini mengandalkan prinsip gotong royong, di mana yang mampu membantu yang kurang mampu. Namun, ia mengingatkan bahwa ketidakseimbangan antara iuran dan biaya layanan berisiko menurunkan kualitas pelayanan kesehatan.
“Rasio klaim BPJS sekarang di sekitar angka 108 persen. Maka saya bisa pahami kalau rumah sakit sekarang tingkat keterisiannya tinggi, bahkan di beberapa daerah mencapai 27 persen,” ungkapnya.
Edy menjelaskan, Komisi IX DPR telah mendorong penambahan anggaran sebesar Rp20 triliun pada tahun 2026 untuk memperkuat pembiayaan bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI), ditambah Rp2,5 triliun untuk membantu peserta bukan penerima upah, seperti pekerja informal atau kelas III mandiri. “Totalnya sekitar Rp22,5 triliun. Ini agar masyarakat yang secara ekonomi tidak mampu tetap bisa membayar iuran,” jelasnya.
Selain itu, Edy menyinggung kebijakan pemutihan tunggakan iuran BPJS yang dinilai sebagai langkah positif untuk menyehatkan keuangan lembaga dan memulihkan kepesertaan masyarakat. Ia menilai kebijakan tersebut sejalan dengan amanat konstitusi untuk menjamin hak kesehatan bagi seluruh rakyat.
“Kalau mau aktif tinggal bayar iurannya saja Rp35.000. Dari situ, peserta aktif bisa kembali mendapatkan hak konsultasi dan layanan kesehatan. Neraca keuangan BPJS juga akan membaik,” katanya.
Ketimpangan Akses Layanan
Dalam kesempatan itu, Edy juga menyoroti ketimpangan akses layanan kesehatan antara daerah maju dan tertinggal. Menurutnya, pemerintah harus lebih fokus memperluas layanan kesehatan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) seperti Papua, Maluku, NTT, NTB, dan wilayah kepulauan lainnya.
“Orang NTT sakit jantung dan orang Jakarta sakit jantung, siapa yang paling mungkin memperoleh pelayanan kesehatan? Pasti orang Jakarta, karena dekat dengan rumah sakit jantung. Ini menunjukkan adanya ketimpangan,” ungkap Edy.
Untuk mengatasi hal tersebut, Edy menegaskan perlunya kebijakan afirmatif berupa pembangunan rumah sakit tipe C dan D di daerah 3T, serta peningkatan jumlah dan pemerataan dokter spesialis. Ia juga mendorong adanya regulasi yang mewajibkan dokter spesialis lulusan universitas negeri untuk bersedia ditempatkan di daerah-daerah terpencil sebagai bentuk pengabdian negara.
“Tidak boleh ada satu pun orang miskin yang sakit memikirkan biaya. Itu hak dasar yang harus dilindungi secara konstitusi,” tegasnya.
Menutup paparannya, Edy menyebut tiga langkah utama untuk memperkuat jaminan kesehatan nasional: memastikan kepesertaan BPJS mencapai 100 persen, memperkuat pembiayaan dan keuangan, serta meratakan layanan kesehatan hingga ke daerah terpencil.
Ia juga mengingatkan pentingnya perlindungan bagi pekerja media. “Apakah wartawan ini ada pemberi kerjanya? Ada pekerja, ada upah, maka wajib bagi pemberi kerja mendaftarkan pekerjanya ke BPJS. Dua jaminan yang wajib itu adalah jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian,” ujarnya.
Edy menambahkan, pekerja juga berhak atas jaminan kehilangan pekerjaan yang memungkinkan mereka tetap memperoleh manfaat BPJS Kesehatan, tunjangan upah sementara, serta akses pelatihan agar bisa kembali bekerja. “Ini perintah undang-undang, dan harus kita kawal bersama,” pungkasnya. (id10)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.




















































