Kerusakan Ekosistem Picu Konflik Tak Berujung Antara Satwa Dengan Manusia

2 hours ago 1

KONFLIK antara harimau sumatera (panthera tigris sondaica) dengan manusia dan hewan ternak di seputaran kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), khususnya di wilayah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, beberapa waktu belakangan ini sudah mereda.

Hewan buas yang biasanya kerab menebar teror, bahkan memangsa hewan ternak milik warga Dusun Pancasila, Desa Mekar Makmur, Kec. Sei. Lepan, dan warga Dusun Aral Napal, Desa Bukitmas, Kec. Besitang, tapi kini sudah lama tidak terdengar menunjukan belangnya.

Tidak hanya hewan ternak, tapi harimau juga pernah memangsa manusia hingga meregang nyawa. Menurut catatan, pada tahun 2020 lalu, seorang petani, Ramelan, warga Desa Harapan Makmur, Kec. Sei. Lepan, tewas dimangsa harimau dengan kondisi tubuh tercabik-cabik.

Kasus serupa juga pernah dialami oleh seorang petani penggarap. JP Ginting, nyaris meregang nyawa diterkam seekor harimau di kawasan hutan TNGL Barak Itir, Resort Sei. Lepan- Sekoci. Beruntung, korban sempat diselamatkan dan dilarikan ke rumah sakit.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehitanan semasa dijabat oleh, Siti Nurbaya, pernah melepasliarkan dua ekor Harimau Sumatera yang diberi nama Ambar Goldsmith dan Beru Situtung di kawasan hutan TNGL Resort Sei. Betung SPTN Wilayah VI Besitang.

Kedua hewan endemik Pulau Sumatera ini dibawa menuju TNGL menggunakan pesawat helikopter. Harimau bernama Ambar berjenis kelamin betina ini sebelumnya dievakuasi dari Desa Bukitmas, Besitang, pada 21 Desember 2022 pasca terjadi konflik dengan warga, kemudian dibawa ke Barumun Nageri Wildlife Sanctuary (BNWS) di Padang Lawas Utara.

Sedangkan harimau bernama Beru Situtung diselamatkan dari kawasan hutan lindung di wilayah Kab. Aceh Selatan, setelah terjadi konflik dengan manusia. Sang ‘raja hutan’ ini pada bulan April 2023 dibawa ke BNWS untuk menjalani rehabilitasi.

Setelah melewati fase rehabilitasi, Ambar Goldsmith dan Beru Situtung, akhirnya dilepasliarkan kembali ke habitatnya di kawasan hutan hujan tropis dataran rendah TNGL di Resort Sei. Betung. Baru beberapa hari menghirup udara bebas di lingkungan alamiahnya, insiden kembali terulang.

Sementara itu, harimau yang diberi nama Bestie yang masuk ke dalam kandang jebak oasca memangsa lembu di perkebunan sawit di Desa Bukit Selamat, Kec. Besitang, dilepasliarkan ke kawasan Keudah zona inti TNGL Blangkejeren, Kab. Gayo Lues, Aceh.

Harimau berbobot besar ini masuk ke dalam kandang jebak dan kemudian oleh BKSDA melakukan observasi di Lembaga Konservasi Medan Zoo dengan maksud memudahkan proses pemeriksaan kesehatan satwa ini.

Pelepasliaran ini menggunakan helikopter dengan metode longline dari Bandara Blangkejeren, Kab. Gayo Lues, Provinsi Aceh. Berdasarkan hasil survey, Zona Inti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dipilih sebagai lokasi lepasliar mengingat lokasi ini merupakan habitat Harimau Sumatera.

Harimau Sumatera termasuk satwa dilindungi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor: 7 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.

Menurut International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, harimau termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically endangered). Populasinya diperkirakan 500-600 ekor yang tersebar di hutan-hutan Pulau Sumatera.

Konflik Dengan Gajah

Belakangan ini, eskalasi konflik dengan harimau mulai menurun. Namun, di tengah meredanya teror harimau, kini para petani di Dusun Aras Napal, Desa Bukitmas, Kec. Besitang, dihadapkan pada keresahan akibat serangan gajah (elephas maximus).

GEROMBOLAN gajah memasuki areal kebun warga di Dusun Aras Napal, Desa Bukitmas, Kec. Besitang. Waspada.id/Asrirrais

Konflik antara warga dengan gajah liar sudah berlangsung panjang dan hingga kini belum ada solusinya. Warga hanya dapat pasrah menghadapi fenomena serangan satwa yang dilindungi ini, tanpa dapat berbuat banyak.

“Tadi malam ada sekitar 15 ekor gajah masuk keoerladangan warga di Dusun Aras Napal. “Gajah ini merusak tanaman pohon kelapa sawit, pohon pisang dan kelapa,” kata Rosmita Manjorang, salah seorang warga kepada Waspada.id, Selasa (16/9).

Menurut Rosmita, masalah ini sudah berulang kali dilaporkan warga kepada petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan BKSDA sudah mendirikan tower pemantau, tapi gerombolan gajah tetap saja memasuki areal perkebunan warga.

Konflik berkepanjangan antara satwa gajah dengan warga di dusun yang secara geografis berbatasan langsung dengan kawasan hutan TNGL ini hingga kini terus saja terjadi dan belum ada jalan keluar yang efektif untuk mengatasi permasalah ini.

Sekretaris Desa Bukitmas, Musa Tarigan, juga mengakui bahwa gajah liar kerab masuk ke perladangan warga dan merusak tanaman petani. Menurut dia, gajah ke luar dari hutan untuk mencari makan di perladangan warga, karena habitatnya telah rusak.

Musa menjelaskan, gajah tak hanya merusak tanaman sawit yang baru tanam, akan tetapi pohon sawit yang sudah ukuran dodos juga tumbang dibantainya. Pihak BKSDA sudah sering turun menghalau gajah, tapi satwa ini tetap saja masuk ke perladangan warga.

Konflik antara harimau dan gajah liar dengan masyarakat yang tinggal di pinggiran kawasan hutan TNGL, khususnya di wilayah Kabupaten Langkat tercatat sudah berulang kali terjadi. Fenomena ini diyakini akibat faktor terjadinya degradasi hutan.

Dampak deforetasi hutan tentunya tidak hanya menimbulkan problem serius bagi lingkungan, seperti terjadinya global warming, bencana banjir dan kekeringan, tapi juga menimbulkan konflik serius antar satwa dengan manusia yang bermukim di pinggiran kawasan hutan.

Satwa dilindungi, seperti harimau dan gajah yang terganggu habitatnya akibat aktivitas ilegal, seperti perambahan hutan, serta aksi pembalakan liar, kerab ke luar hutan untuk mencari makan agar tetap bisa survive. Satwa ini, tidak hanya menyasar manusia dan hewan ternak, tapi juga memakan tanaman petani.

Perambahan Hutan

Permasalahan konflik harimau dan manusia ini mendapat tanggapan dari salah seorang aktivis lingkungan, Azhar Kasim. Kepada Waspada.id, ia menyatakan, sebagai hewan pemangsa, naluri agresif harimau ini tentu tidak bisa dipersalahkan.

“Sebagai hewan endemi di kawasan hutan TNGL, harimau tidak bisa dipersalahkan, sebab hutan itu secara alamiah adalah rumah dia. Sekarang ini fakta yang dapat dilihat, manusia telah melakukan eksploitasi terhadap hutan sehingga membuat habitat harimau dan gajah menjadi terganggu,” tandasnya.

Menurut Azhar, aksi perambahan di kawasan TNGL yang ditengarai melibatkan mafia tanah saat ini sudah semakin merajalela. Sikap eksploitatif manusia membuat ekosistem hutan mengalami degrasi yang cukup parah dan hal ini berpengaruh terhadap lingkungan.

Menurut dia, konflik antara manusia dan harimau, termasuk gajah akan tetap terus terjadi apabila praktik konversi hutan dan illegal logging di TNGL terus terjadi. “Saat ini, diperkirakan puluhan ribu hektar kawasan hutan hujan tropis dataran rendah ini rusak akibat aksi perambahan dan illegal logging,” ujarnya.

Kalangan environmentalis itu menilai, selama ini proses penegakan hukum terhadap pelaku aksi perambahan hutan dan illegal logging di kawasan TNGL dirasakan belum berjalan maksimal sebagaimana yang diharapkan. Terbukti, aktivitas ilegal kian harus terus semakin meluas.

Ia menyoroti lemahnya penegakan hukum. “Selama ini penegakan hukum dirasakan masih lemah,” kata Azhar seraya mendesak Kemenhut konsisten mengimplementasikan aturan hukum, sebab ketidaktegasan aparat dalam penegakan hukum berimplikasi buruk bagi masa depan lingkungan.

Konflik yang berkepanjangan ini harus dicari solusinya, sebab tugas pengaman kawasan hutan bukan hanya tanggung jawab petugas Polhut, TNI/Polri, tapi juga tanggung jawab bersama. Masyarakat juga diminta turut berperan aktif menyelamatkan ekosistem hutan agar kehidupan satwa tidak terancam.

Kawasan TNGL adalah hulu dari 11 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sumut dan Aceh yang menyangkut hajad hidup jutaan umat manusia, termasuk beragam satwa endemik. Kerusakan kawasan hutan tentu berimplikasi luas bagi mata rantai kehidupan.

Ancaman Buaya

Kalau di wilayah daratan, manusia harus menghadapi konflik dengan harimau dan gajah, tapi masyarakat pesisir di Besitang yang berprofesi sebagai nelayan tradisional harus menghadapi konflik dengan buaya (crocodylidae).

SEEKOR buaya yang terdapat di aliran Sungai Besitang terekam sedang berjemur di rawa-rawa pinggiran sungai tak jauh dari lokasi eks pabrik plywood PT RGM. Waspada.id/Asrirrais

Meski saat ini tidak ada data resmi yang diperoleh terkait dengan berapa jumlah populasi buaya yang terdapat di Sungai Besitang, tapi menurut nelayan, populasi buaya di aliran Sungai Besitang dalam sepuluh tahun terakhir ini berkembang sangat pesat.

Wilayah jelajah hewan buas ini, menurut para nelayan, mulai dari hulu sampai hilir sungai. Para nelayan mengaku resah, tapi karena tuntutan hidup buat memenuhi kebutuhan ‘sejengkal perut’ mereka terpaksa tetap melaut meski harus berhadapan dengan risiko maut.

Nelayan yang paling beresiko dimangsa buaya adalah nelayan pukat selam, jang pantai, dan pencari kepah. Nelayan-nelayan tradisonal ini harus turun, bahkan ada yang menyelam ke dalam sungai untuk mendapatkan biota laut, seperti udang, ikan dan kepah.

Rusli, salah seorang nelayan tradisonal penjala udang galah ditemui Waspada, Senin (15/9) malam, mengatakan buaya ini berkembang sangat cepat karena tidak ada perburuan liar. Hewan amfibi ini, lanjutnya, telah menyebar ke seluruh penjuru sungai.

Menurut Rusli, ada tujuh sungai yang kini terdapat buayanya, yakni Sungai Besitang, Sungai Seusirah, Sungai Sekundur, Sungai Halaban, Sungai Tungkam, Sungai Sejanda, dan Sungai Sadapan.

“Ketujuh sungai yang selama ini menjadi lapak para nelayan mengais rezeki, buaya-buaya ini selalu bersiliwiran. Rasa takut akan ancaman bahaya itu pasti ada, tapi rasa takut tersebut dikalahkan dengan desakan kebutuhan ekonomi,” ujar kakek dari beberapa cucu itu.

Meskipun populasi buaya terus berkembang dan menyebar ke wilayah tangkap nelayan, tapi sampai sejauh ini belum ada seorang nelayan pun yang dimangsa hewan predator yang memiliki rahang kuat dan bergigi tajam ini.

Hal ini bukannya karena buaya sudah terbiasa berinteraksi dengan nelayan, tapi hewan yang memiliki naluri membunuh ini masih banyak sasaran mangsa, seperti monyet yang sering turun ke pantai mencari makan. “Monyet ini jumlahnya mencapai ribuan,” kata nelayan.

Camat Besitang H. Irham Efendy, dihubungi, Rabu (17/9), terkait berkembangnya populasi buaya di Sungai Besitang tampak terkejut karena sampai sejauh ini ia mengaku belum pernah ada mendapatkan laporan.

Namun begitu, ia merespon dengan serius informasi ini. “Fenomena ini harus segera diatasi. Kita punya group tim terpadu , yakni “Langkat Siaga” yang dibentuk oleh Bupati Langkat. Group ini siap merespon aduan warga, tidak hanya terbatas pada peristiwa bencana alam,” ujarnya.

Kemudian, Irham Efendy, menegaskan pihaknya siap menjalin kolaborasi dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk melakukan upaya mitigasi terhadap potensi ancaman buaya. “Kita siap turun jika ada laporan dari masyarakat,” tandasnya.

Selanjutnya kepada masyarakat yang tinggal di bantaran sungai, camat mengingatkan harus meningkatkan kewaspadaan dan jangan bermain atau pun mandi di sungai karena serangan satwa buas ini sangat berbahaya.

Masalah ancaman buaya sudah pernah dilaporkan ke petugas BKSDA, akan tetapi mustahil buaya yang jumlahnya banyak ini dapat dievakuasi dari Sungai Besitang ke daerah lain. Sejumlah sungai di Besitang kini menjadi tempat habitatnya buaya.

Kepala Seksi BKSDAE Wilayah II Stabat, Bobby Nopandri, dimintai Waspada.id konfirmasi terkait hal ini mengatakan, terkait konflik harimau dengan warga pemilik hewan ternak sapi pada tahun 2025 masih terjadi, namun bagitu kasusnya sedikit mengalami penurunan.

Bobby menjelaskan, kasus yang terjadi di wilayah Dusun Pancasila, Kec. Sei. Lepan dan Sei. Musam, Tangkahan, para peternak pada umumnya melepasliarkan hewan ternak mereka, tanpa dikandangkan sehingga kondisi ini memancing kehadiran harimau.

Kepala Seksi BKSDA tidak merinci data terkait hewan ternak yang dimangsa harimau. Namun ia mengaku, sudah banyak kasus hewan ternak warga yang menjadi korban, akan tetapi sebagian warga, seperti di daerah Sei. Musam tidak melaporkan.

Sementara itu, menyinggung konflik antara gajah dengan warga, menurut Bobby, tidak hanya terjadi di wilayah Dusun Aras Napal, tapi hasil identifikasi peristiwa serupa juga terjadi di daerah lain, seperti di Sei. Lepan dan Sopo Padang.

Sebagai langkah antisipatif, kedepan pihaknya berencana memasang GPS seperti peringatan dini untuk setiap koloni gajah. Pemasangan GPS ini guna mendeteksi dari awal lalulintas jelajah gajah. Lewat perangkat ini, pergerakan gajah dapat terpantau dari awal.

Untuk meminimalisir gajah masuk ke areal kebun warga, kata Bobby, BKSDA melakukan pengayaan habitat dan melakukan perbaikan terhadap kawasan hutan guna pemenuhan kebutuhan pakan bagi koloni gajah. “Kalau pakannya sudah cukup, gajah tidak akan ke luar hutan lagi untuk mencari makan,” ujarnya.

Dikatakan, upaya perbaikan terhadap kawasan hutan saat ini sedang dilakukan oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) bersama Balai Besar TNGL. Tindakan penertiban terhadap tanaman ilegal sedang berlangsung dan kemudian diiringi dengan rehabilitasi hutan lewat menanam pohon. Asrirrais/WASPADA.id

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |