Kembalikan Trotoar Kami

1 day ago 5

Oleh Mustapa Khamal Rokan

Trotoar yang nyaman bukanlah bonus atau kebaikan dari negara, namun adalah hak setiap warga negara yang harus ditunaikan

Trotoar adalah “wajah” paling mudah dilihat dan diraba dari sebuah kota. Betapa tidak, sebab di tempat itulah orang berjalan dan berlalu-lalang beraktivitas sehari-hari. Sayangnya, di Kota Medan, wajah itu kian hari kian tercoreng yang membuat kota terbesar ketiga di Indonesia ini terlihat buruk muka. Alih-alih menjadi ruang aman, nyaman bagi pejalan kaki, sebagian besar trotoar di kota ini justru telah berubah fungsi—menjadi bengkel, lapak dagang, parkiran liar, yang terkadang “dilengkapi” bau air got dan tikus mati yang menyengat hidung.

Penulis belum menemukan data yang akurat terkait dengan kondisi trotoar di Kota Medan, namun secara kasat mata jalan-jalan trotoar di Kota Sultan Deli ini nyaris tidak ada yang nyaman untuk dilalui apalagi bisa santai menikmati kota. Sebut saja di salah satu ruas jalan utama di Kota Medan, jalan Mandala Bypass misalnya, hampir tidak ada ruang di trotoar bagi pejalan kaki. Sepanjang trotoar dipenuhi dengan berbagai aktivitas warga, dari mulai bengkel motor, pedagang kaki lima, doorsmeers motor, pamplet pedagang, rumah ibadah dan seterusnya.

Bahkan ironisnya, Kota Medan bukan hanya tidak mempunyai jalan trotoar yang nyaman, jalan utama yang menjadi jalan kenderaan juga telah berubah menjadi tempat aktivitas warga. Di beberapa ruas jalan, sepertiga bahkan hingga separuh jalan tidak dapat lagi dilalui kenderaan dengan nyaman. Sebut saja di jalan Panglima Denai, selain trotoar yang tidak lagi bersisa, jalan raya telah dipenuhi sesak para pedagang kaki lima ditambah kenderaan yang parkir dan sedang berhenti membeli dagangan secara tidak beraturan dan sesuka hati.

Kalaupun ada, trotoar yang bisa dijalani dengan “relatif” nyaman hanya pada jalan-jalan “elit” tertentu saja. Sebut saja Jalan Gunung Krakatau, Imam Bonjol, Putri Hijau, Pangeran Diponegoro, Letjen Suprapto, H Adam Malik, Ir. H Juanda, Jenderal Sudirman, Mongonsidi, Gatot Subroto, dan Jalan Ahmad Yani. Jalan-jalan itupun hanya bersifat “relatif nyaman” sebab juga telah banyak pedagang liar di sana-sini. Tentu, Kota Medan bukan hanya Jalan Sudirman, namun terbentang dari Marelan hingga Tembung. Jika dipersentasekan, jalan trotoar yang “relatif” nyaman itu hanya berukuran “sejengkal” dari sepanjang jalan Kota Medan yang berukuran 3.487,77 km (BPS, 2022)

Bukan Bonus, Tapi Hak Warga

Hal yang penting diketahui bahwa mendapatkan jalan trotoar yang nyaman bukanlah bonus atau kebaikan dari negara, namun adalah hak setiap warga negara yang harus ditunaikan. Karenanya, menyediakan trotoar adalah kewajiban negara. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan khususnya Pasal 25 huruf (g) disebutkan bahwa setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan berupa fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat. Lebih lanjut, pada Pasal 45 ayat (1) disebutkan bahwa pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, lajur sepeda, tempat penyeberangan pejalan kaki, halte, dan/atau fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut. Sekali lagi, keberadaan trotoar bukanlah hal yang sederhana namun merupakan persoalan hak warga yang harus dipenuhi oleh negara.

Sampai di sini, penyelesaikan soal trotoar tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang serius untuk memenuhi hak warganya. Menurut penulis, hingga saat ini, pemerintah Kota Medan tampak belum serius untuk mengatakan tidak peduli mengurus jalan trotoar di Kota Medan. Lemahnya penegakan hukum, minimnya perencanaan tata kota, dan nyaris absennya kebijakan progresif dan humanis menunjukkan bahwa pemerintah belum menganggap penting keberadaan trotoar. Bahkan ironisnya, persoalan kesemerautan jalan dan trotoar ini juga disebabkan kebobrokan mental pejabat di jajaran pemerintahan kota. Dalam penelitian sederhana penulis, bahwa para pedagang kaki lima berani berjualan di jalan dan trotoar karena sudah mendapatkan izin dari kepala lingkungan setempat. Walikota abai mengontrol kerja jajarannya. Sampai di sini, pemerintah kota tidak hanya abai namun juga menjadi bagian dari akar persoalan itu sendiri.

Menanti Keseriusan Pemerintah

Dengan kewenangan dan kapasitas yang dimiliki, pemerintah kota seharusnya kota dapat menyelesaikan persoalan ini. Pemerintah kota dapat menganggarkan melalui APBD untuk melakukan revitalisasi trotoar dengan serius. Sudah saatnya alokasi anggaran untuk penataan kota diperkuat agar warganya marasa nyaman. Pemerintah juga mempunyai petugas yang dapat menindak bagi pihak-pihak yang melanggar hukum di atas jalan trotoar dengan pendekatan yang humanis dan terukur. Demikian pula dengan menggunakan fungsi kordinatifnya, pemerintah bisa melakukan kordinasi dengan berbagai pihak baik pemerintah lainnya maupun pihak swasta. Misalnya, salah satu persoalan trotoar adalah tiang-tiang listrik yang banyak berdiri dibahu jalan, yang disebabkan oleh pelebaran jalan. Pemerintah juga dapat meminta kepada perusahaan-perusahaan untuk berpartisipasi melalui program CSR dan lainnya untuk berpartisipasi dalam penataan trotoar, reboisasi dan keindahan kota. Dengan satu surat himbauan saja kepada perusahaan perusahaan untuk ikut menata kota dan trotoar maka wajah Kota Medan sudah mulai berseri.

Demikian pula dengan pengawasan, Pemerintah Kota Medan dapat melakukan program pengawasan jalan dengan menggunakan sistem digital sehingga secara realtime kondisi Kota Medan dapat terpantau dari kantor kota. Kota Medan dapat membuat sistem pengawasan digital atas penggunaan trotoar secara benar. Di beberapa daerah di Indonesia, di Kota Jambi misalnya terdapat sistem informasi keluhan masyarat (SiKesal) dimana setiap orang yang merasa hak trotoal atau jalan diambil maka dapat mengadukan ke pemerintah secara online untuk selanjutnya dapat diambil tindakan dan perbaikan.

Menumbuhkan Legal Culture

Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa kondisi semarautnya trotoar juga disebabkan lemahnya budaya hukum masyarakat kita. Banyak warga, baik individu maupun pelaku usaha, merasa sah-sah saja menguasai trotoar. Masyarakat merasa seolah tak bersalah saat menggunakannya. Setiap hari penulis melihat, dalam satu ruas jalan yang sempit dan selalu macat, masyarakat dengan tanpa wajah bersalah tetap mendirikan tenda-tenda kecil untuk berjualan. Padahal, petugas pamong praja juga telah berkali-kali mengingatkan dan bertindak, bahkan terdapat spanduk peringatan yang berisikan undang-undang dan juga ayat-ayat suci agar tidak kembali berjualan dipinggir jalan, namun tetap saja wajah tak bersalah berjualan dengan giatnya. Sampai disini, penulis mengganggap telah terjadi gangguan mental yang akut dalam masyarakat untuk menaati hukum di jalan. Padahal, dalam perspektif hukum, prilaku tersebut jelas bentuk perampasan ruang publik dan pelanggaran terhadap hak orang lain.

Karenanya, edukasi publik yang serius dan menyeluruh untuk merubah mentalitas serampangan harus dilakukukan. Di sinilah seharusnya negara tampil, bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai pembentuk budaya hukum melalui pendidikan kampanye sosial. Melalui fungsi kordinatif, pemerintah harus berupaya melakukan kordinasi kepada semua pihak untuk memastikan kesadaran hukum. Kampanye kesadaran hukum ini juga dapat melibatkan tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Dalam hukum Islam, terdapat “Fikih Jalan” dimana Al-Quran dan Hadis dan pendapat ulama melalui fatwa mengharamkan pengambilan hak orang lain termasuk dalam hal ini adalah jalan trotoar. Ketiadaan jalan trotoar yang nyaman tidak hanya merampas hak kenyamanan warga, namun juga dapat menyebabkan nyawa dan kecelakaan bagi orang lain sehingga bertentangan dengan tujuan hukum menjaga jiwa manusia (hifz nafs).

Karena itulah, wajah Kota Medan tidak bisa terus dibiarkan dalam kondisi seperti saat ini. Hak atas jalan trotoar tak boleh terus-menerus diabaikan. Negara harus hadir untuk melakukan berbagai upaya yang serius dan terukur untuk memastikan hak warganya terpenuhi. Demikian pula masyarakat harus menyadari akan hak orang lain yang diambilnya untuk kepentingan pribadi. Kembalikan hak warga atas trotoar.

Penulis adalah Pengajar Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |