Oleh: Farid Wajdi
Hamparan sawit sering memukau dari kejauhan. Baris-baris pohon yang tertata rapi memancarkan kesan kemakmuran yang mudah menipu.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Namun ketika kaki menjejak lantai kebunnya, lanskap berubah menjadi ruang sunyi yang miskin ragam hayati. Kilau hijau itu menutupi paradoks besar: pertumbuhan ekonomi yang bergantung pada hilangnya hutan tropis, ekosistem paling kompleks yang pernah dikenal ilmu pengetahuan.
Selama lebih dari tiga dekade, industri sawit memainkan peran sentral dalam perekonomian nasional. Banyak wilayah menggantungkan nasib pada perkebunan raksasa yang tersebar dari Sumatra hingga Papua.
Narasi keuntungan dikuatkan melalui promosi efisiensi dan produktivitas minyak nabati. Namun data ekologis menolak tunduk pada glorifikasi ekonomi. William Laurance (2021) menegaskan dalam kajiannya kebun sawit “tidak mendekati kapasitas hutan tropis dalam menyimpan karbon serta menopang keanekaragaman hayati yang rumit.”
Pernyataan tajam tersebut mencerminkan temuan ilmiah yang konsisten: perbedaan ekologis antara hutan hujan dan tanaman monokultur bersifat struktural, bukan sekadar selisih teknis.
Hutan tropis dapat menyimpan ratusan ton karbon per hektare sekaligus menopang ribuan spesies tumbuhan, serangga, burung, dan mamalia dalam jejaring kehidupan yang saling menguatkan.
Ketika lahan dibuka untuk kebun sawit, pelepasan karbon awal mencapai tingkat tinggi dan tidak dapat ditebus oleh serapan sawit selama bertahun-tahun. Ahli biologi konservasi Budi Setiadi Daryono (2022) mengingatkan perkebunan monokultur “tak mungkin menggantikan kompleksitas ekologis yang berlangsung secara evolusioner.”
Ekosistem yang dibangun oleh keragaman biotik tidak dapat diganti oleh tanaman industri yang seragam.
Klaim ekspansi sawit terutama berlangsung pada lahan terdegradasi kerap memudar ketika peta diperiksa ulang. Batas antara lahan kritis dan hutan sekunder sering kabur, terlebih ketika prosedur perizinan tidak transparan.
Banyak laporan investigatif menemukan kebun sawit berdiri di kawasan hutan yang belum dilepaskan atau berada dalam proses perubahan peruntukan yang problematik. Ketika penegakan hukum mulai berjalan, skala pelanggaran tampak mengejutkan.
Putusan 2025 yang menjatuhkan denda ratusan triliun rupiah pada sejumlah perusahaan sawit dan tambang menyingkap potret kelam pengelolaan ruang dan lemahnya pengawasan negara.
Realitas tersebut menegaskan dua persoalan. Pertama, regulasi kehutanan tidak memiliki daya cukup kuat menghadapi tekanan ekonomi-politik di wilayah konsesi.
Kedua, kepastian hukum sering hadir setelah kerusakan terjadi. Prinsip in dubio pro natura menuntut keberpihakan pada kelestarian ketika muncul keraguan, tetapi praktik tata ruang di Indonesia menunjukkan arah sebaliknya.
Konsep res communes dalam hukum lingkungan menempatkan hutan sebagai milik publik yang harus dikelola untuk generasi mendatang, bukan sebagai objek komodifikasi. Hilangnya hutan berarti hilangnya fungsi ekologis yang bersifat non-substitusi.
Distribusi keuntungan industri sawit memperlihatkan ketimpangan yang signifikan. Perusahaan besar menikmati surplus tertinggi, sedangkan masyarakat adat, petani plasma, dan komunitas pinggir hutan menerima porsi kecil dari nilai tambah.
Kelompok terakhir justru menanggung dampak terberat: hilangnya akses tanah, penurunan kualitas air, polusi, hingga bencana hidrometeorologis akibat terganggunya siklus ekologis. Konflik agraria yang muncul kemudian memperlihatkan posisi tawar yang timpang.
Hak masyarakat sering tak terdokumentasi kuat, sementara korporasi memiliki sumber daya hukum yang jauh lebih mapan.
Di tingkat global, sawit sering dielu-elukan sebagai minyak nabati paling efisien. Efisiensi lahan tidak otomatis menjelaskan keseluruhan biaya lingkungan.
Perhitungan untung rugi yang hanya menghitung produktivitas minyak mengabaikan environmental externalities: hilangnya habitat, kerusakan hidrologi, biaya rehabilitasi tanah, hingga emisi karbon dari kebakaran lahan.
Ekonom iklim Gernot Wagner (2020) menyebut banyak industri ekstraktif “tampak menguntungkan karena berdiri di atas subsidi ekologis yang tidak dihitung.” Sawit berada dalam kategori tersebut ketika pendekatan ekonomi bersifat parsial.
Pertanyaan yang relevan bukan sekadar soal keuntungan sawit, melainkan distribusi manfaat dan ongkos ekologis yang tersembunyi. Pertumbuhan yang bergantung pada penggundulan hutan mengandung risiko jangka panjang.
Negara kehilangan penyerap karbon alami, ketahanan wilayah terhadap banjir menurun, suhu mikro meningkat, dan keanekaragaman hayati tergerus. Dampaknya mengalir ke berbagai sektor: pertanian kering, ketersediaan air menurun, dan biaya bencana meningkat setiap tahun.
Sertifikasi keberlanjutan sering dijadikan pelindung moral industri sawit. Namun sebagian besar sertifikasi lebih menekankan prosedur ketimbang perubahan ekologis.
Mekanisme audit berjalan dalam ruang yang dapat dimanipulasi dan tidak menjangkau akar persoalan: penguasaan lahan skala besar serta ketergantungan pada monokultur.
Transformasi hanya mungkin tercapai melalui langkah struktural: penghentian total ekspansi di hutan primer dan gambut, restorasi ekosistem, reformasi agraria, dan reposisi masyarakat adat sebagai subjek tata ruang.
Transparansi menjadi pilar yang tak dapat ditawar. Data perizinan, peta konsesi, dan audit lingkungan harus terbuka. Hukum yang dilaksanakan dalam ruang publik mengurangi celah korupsi.
Negara wajib membangun sistem pengawasan yang tidak tunduk pada tekanan modal. Konstitusi menegaskan mandat penguasaan negara atas sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat; mandat tersebut melemah ketika hutan diperlakukan sebagai komoditas jangka pendek.
Pada titik ini, perdebatan sawit tidak hanya mempersoalkan angka produksi dan devisa. Persoalan utamanya berkaitan dengan pilihan moral dan visi masa depan. Kehilangan hutan bukan sekadar kehilangan ruang hijau.
Hutan menyimpan stabilitas iklim, air, dan pangan, serta mengikat identitas budaya masyarakat yang hidup bersama lanskap tersebut. Kerusakan ekologis menimbulkan kerusakan sosial yang merembes ke seluruh sendi kehidupan.
Sawit tetap dapat menjadi bagian dari ekonomi Indonesia. Namun keberadaan sawit harus tunduk pada batas ekologis, bukan sebaliknya. Pembangunan memerlukan disiplin hukum, integritas ilmiah, dan keberanian menghadapi kekuatan modal.
Hutan yang tersisa memerlukan perlindungan setara perlindungan terhadap aset strategis negara. Ketika hutan diperlakukan sebagai penyangga masa depan, bukan hambatan ekonomi, ruang lahir bagi model pembangunan yang tidak mengorbankan generasi mendatang.
Masa depan Indonesia ditentukan oleh kemampuan menjaga keseimbangan antara produksi dan perlindungan ekosistem. Sawit hanya akan berkelanjutan apabila berhenti menuntut hutan sebagai syarat pertumbuhan. Selama prinsip itu belum diakui, krisis ekologis akan terus mengintai dari balik barisan pohon-pohon yang tampak teduh, tetapi menyimpan jejak panjang kedukaan ekologis.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.




















































