Bencana Sumatera, Menyingkap Kerapuhan Birokrasi

8 hours ago 5
Medan

14 Desember 202514 Desember 2025

Bencana Sumatera, Menyingkap Kerapuhan Birokrasi Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020. Waspada.id/ist

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 pada Minggu(14/12/2025) menyampaikan perihal bencana Sumatera menyingkap kerapuhan birokrasi.

Dijabarkannya, Pulau Sumatera tengah menanggung babak tergelap dalam sejarah bencananya. Hujan ekstrem yang mengguyur Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat memicu banjir bandang dan longsor yang menelan lebih dari seribu nyawa, dengan ratusan lainnya hilang, luka-luka, dan kehilangan rumah. Setiap angka adalah tragedi nyata, bukan sekadar statistik. Bencana menyingkap ketidakmampuan struktural negeri yang seharusnya tangguh menghadapi siklon dan monsun tahunan.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Di Aceh, desa-desa terputus total dari bantuan akibat longsor yang menutup jalan utama. Sumatera Utara kehilangan ratusan rumah, sementara ribuan warga terpaksa bertahan di tenda darurat yang minim sanitasi. Sumatera Barat menyaksikan banjir setinggi beberapa meter merusak jaringan listrik, air bersih, dan fasilitas kesehatan.

Pola kegagalan serupa muncul di seluruh provinsi: data korban terlambat, koordinasi kacau, dan bantuan tidak merata. Realitas ini memaksa pertanyaan mendasar: di mana sistem kesiapsiagaan yang konon sudah dibangun selama puluhan tahun?

Pemerintah pusat bersikeras kondisi membaik karena jumlah pengungsi berkurang. Namun puluhan ribu warga kembali ke rumah bukan karena aman, melainkan karena terpaksa. Tekanan ekonomi dan ketiadaan pilihan memaksa mereka menghadapi risiko nyata.

Statistik resmi tidak menyelamatkan nyawa. Angka pengungsi yang turun bukan prestasi, melainkan cermin penderitaan yang memaksa warga pulang sebelum waktunya.

Distribusi Bantuan Tersendat


Distribusi bantuan tersendat di banyak titik. Jembatan roboh, jalan longsor, dan akses terputus membuat ribuan warga menunggu makanan, air bersih, obat-obatan, dan tenda.

Bantuan finansial yang dikirim pemerintah tidak menjawab kebutuhan akan tempat tinggal layak, dukungan psikologis, dan pemulihan jangka panjang. Ini bukan sekadar kekeliruan administratif, tetapi kegagalan sistemik yang menjerumuskan rakyat ke dalam penderitaan berkepanjangan.

Krisis Kesehatan Menambah Luka

Di pengungsian, kasus demam, diare, infeksi kulit, dan TBC meningkat drastis, sementara fasilitas kesehatan banyak yang lumpuh. Alam menghantam pertama; birokrasi menghantam kedua. Ancaman penyakit ini memperlihatkan sistem perlindungan warga pascabencana rapuh, bahkan rapuh sekali.

Pemulihan struktural jauh dari memadai. Pemerintah menjanjikan pembangunan rumah bagi korban, namun jumlahnya hanya setetes di tengah ratusan ribu rumah rusak berat atau hanyut. Anggaran yang dibutuhkan untuk rekonstruksi diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah, menegaskan skala kerusakan yang harus dibenahi.

Bantuan yang ada tidak mampu menutup lautan kehilangan.

Berhenti Menghitung Angka

Keterlambatan penetapan status bencana nasional memperlambat mobilisasi anggaran dan koordinasi lintas kementerian.

Ribuan jiwa kehilangan segalanya sementara prosedur administratif berjalan lamban. Birokrasi yang mengedepankan prosedur di atas nyawa rakyat memperlihatkan kegagalan moral dan struktural.

Alih-alih menjadi pelindung, sistem justru menambah penderitaan.

Pulau Sumatera tidak hanya menunggu hujan reda. Sumatera menunggu kepemimpinan yang memahami bencana bukan episode sesaat, tetapi ujian struktural: kesiapsiagaan sejati, tata kelola profesional, dan prioritas nyata bagi warga terdampak.

Pemerintah harus berhenti menghitung statistik seolah angka bisa menghapus air mata, dan mulai membangun sistem yang memastikan tragedi serupa tidak menelan begitu banyak korban manusia lagi.
Bencana ini menegaskan satu hal: korban manusia bukan angka. Infrastruktur rusak bukan sekadar laporan.

Respons yang lamban bukan kesalahan administratif belaka, melainkan kegagalan moral. Pulau Sumatera menunggu tindakan nyata, bukan klaim semu, agar tragedi yang sama tidak lagi berulang di negeri yang mengaku siap menghadapi alam.(id18)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |