MEDAN (Waspada.id): Jaringan Koalisi Masyarakat Sipil (JKMS) Sumatera Utara (Sumut) menolak Tim Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang akan dibentuk dan dilantik Presiden Prabowo Subianto.
Penolakan itu dinyatakan dalam konperensi pers bersama yang dilaksanakan di Sekretariat Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Wilayah Sumut, Jalan Jamin Ginting, Padang Bulan, Medan, Sabtu (20/09/2025).
Konperensi pers JKMS Sumut yang diikuti Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kota Medan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumut, Pusat Kajian dan Advokasi Lingkungan Hidup (Puskalih), serta PBHI Sumut menegaskan dasar penolakan tersebut, karena Tim Reformasi Polri yang akan dibentuk akan diisi oleh jenderal pensiunan Polri dan juga unsur pemerintah.
Sehingga, obyektifitas dan integritasnya sangat diragukan untuk mewujudkan institusi Polri yang profesional sebagai lembaga negara penegak hukum,
Diawasi
Ketua DPC GMNI Kota Medan dalam mengawali konperensi pers menyebut bahwa Polri sebagai institusi negara, wajib diawasi oleh seluruh elemen masyarakat sipil.
Pengawasan itu untuk menghindari terjadinya abuse of power atau penyelewengan kewenangan yang dilakukan oleh Polri.
“Kekerasan selama ini yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam melakukan tugasnya perlu dievaluasi. Dan selayaknya Polri mengedepankan jiwa kepamongprajaan dalam melakukan tugasnya sebab Polri adalah pengayom masyarakat,” ucap Damses.
Menurutnya, reformasi di tubuh Polri sudah sangat mendesak untuk dilakukan untuk Indonesia yang demokratis dengan mengusung semangat penegakkan hukum dan hak asasi manusia (HAM).
Untuk itu, perlu dibedakan Polri sebagai penjaga keamanan dalam negeri dan Polri sebagai institusi penegakkan hukum.
“Untuk berjalannya dengan baik proses reformasi di Polri, maka tim yang akan dibentuk selayaknya ditempati oleh orang – orang yang selama ini berada di luar pemerintahan dan bukan juga dari jenderal pensiunan Polri. Adalah sebuah cacat yang diakibatkan oleh kecelakaan pemikiran dari Presiden Prabowo bila tidak mempertimbangkan saran dari koalisi masyarakat sipil yang selama ini telah menunjukkan kepeduliannya, baik dalam bentuk tindakan dan pemikiran untuk terwujudnya Indonesia sebagai negara demokrasi dengan menjadikan hukum sebagai panglima,” tegasnya.
Peningkatan Kekerasan
Senada dengan itu, perwakilan Kontras Sumut, Aulia Rahman, mengungkap bahwa dalam catatan organ pegiat membela korban kekerasan negara ini, dalam kurun waktu tahun 2023 dan 2024, telah terjadi peningkatan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian di wilayah hukum Kepolisian Daerah (Polda) Sumut.
Trend peningkatan terjadinya kekerasan itu terlihat dari jumlah di tahun 2023 sebanyak lima kasus dan di tahun 2024 berjumlah 11 kasus.
Aulia mengatakan perlu untuk segera melakukan perubahan sistem secara menyeluruh. Dalam melakukan tugas penegakkan hukum, Polri wajib diberi pembekalan pelajaran hukum dan HAM agar tidak selalu mengedepankan dan mempertontonkan praktek dan tindakan kekerasan.
“Sistem pengawasan yang baik juga harus dirumuskan agar Polri sebagai sipil yang dipersenjatai negara dapat bertindak profesional dengan mengedepankan hukum dan HAM,” saran Aulia.
Sementara Sekretaris PBHI Wilayah Sumut, Taman Karya Purba, membeberkan bahwa Polri saat ini sudah masuk ke dalam ranah politik.
Indikasi itu dapat dilihat dalam fakta di pelaksanaan Pemilu tahun 2024 lalu dengan jamaknya di publik munculnya istilah “Partai Coklat atau Parcok”. Polri yang seharusnya berpihak kepada hukum dan kebenaran, justeru terjerumus dalam arena politik praktis dengan keberpihakannya dalam kontestasi politik itu.
“Selain itu, Polri juga sudah menjadi penjaga keamanan dan kepentingan kaum pemilik modal. Dan mereka juga sudah menjadi pelaku korupsi dengan kewenangan yang mereka miliki,” tambah megister hukum dari Universitas Brawijaya, Malang ini.
Taman juga menyarankan agar kurikulum pendidikan di institusi Polri juga harus dirubah untuk membentuk Polri yang humanis dan profesional dan tidak terkesan militeristik.
Tim reformasi yang akan dibentuk nanti sudah seyogyanya menempatkan orang – orang yang berasal dari elemen masyarakat sipil yang independen, berintegritas dan memiliki kompetensi, termasuk juga komunitas lokal dan lembaga korban tindak kekerasan negara.
Selain itu, para akademisi yang kritis dan kapabel juga wajib untuk dilibatkan ke dalam tim tersebut.
“Tanpa melibatkan organ – organ tersebut, maka pemerintah hanya akan mengulang kembali kegagalan sebelumnya dalam mereformasi Polri atau hanya pemerintahan Prabowo hanya melakuman gimmick politik yang tidak akan menghasilkan perubahan apapun terhadap institusi Polri,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan Ketua Puskalih, Ronald Syafriansah melalui pesan WhatsApp-nya.
Menurutnya, revisi undang – undang kepolisian adalah sebuah kemutlakan untuk legitimasi tim dan menjadi akar kuat bagi tim untuk melaksanakan reformasi dengan legalitas penuh dari negara. (id23)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.