Gordang Sambilan Di Panggung Global

2 months ago 23

Oleh Ijtihad Siregar

…bukanlah sekadar parade budaya, melainkan sebuah arena tempat modal budaya dan habitus diperagakan dan direproduksi, sebagaimana dielaborasi oleh Pierre Bourdieu, kini dihadapkan pada tantangan dan peluang globalisasi

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Di jantung kebudayaan Mandailing, Sumatera Utara, berdiamlah Gordang Sambilan, sebuah ansambel perkusi yang melampaui sekadar alat musik. Ia adalah denyut nadi ritual, penanda upacara, bahkan narator sejarah.

Risalah ini menyelami gelombang inisiatif konservasi dan promosi instrumen pusaka ini, menyorot sebuah peristiwa krusial: “Dentum Perkusi Mandailing Gordang Sambilan”. Perhelatan itu, yang akan mengukir sejarah pada 16 Agustus 2025 di Politeknik Pariwisata Medan, didorong oleh spirit perayaan kemerdekaan Indonesia.

Melalui lensa Bourdieu, kita akan memahami bagaimana peristiwa ini menjadi arena reproduksi modal budaya dan habitus, sebuah respons adaptif di tengah derasnya arus globalisasi yang tak henti mengikis identitas lokal.

Bisikan Leluhur

Dari kedalaman Sumatera Utara, di lembah-lembah Mandailing, membumbunglah gema Gordang Sambilan, sebuah suara yang melintasi zaman. Ia bukan sekadar deretan gendang; ia adalah pilar peradaban, nafas upacara agung, penentu ritme pernikahan dan pelepasan arwah, bahkan penobatan para raja.

Namun, di tengah hiruk pikuk modernisasi, di bawah bayangan globalisasi yang tak henti-henti merangkul dan menyeragamkan, bisikan leluhur ini menghadapi ujian terberatnya. Gelombang informasi yang tak bertepi, pertukaran budaya yang kian intens, dan dominasi narasi global kerap meminggirkan keunikan lokal.

Melestarikan seni tradisional kini bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan mutlak, jaminan agar jejak-jejak peradaban tak luntur ditelan waktu, agar tunas-tunas masa depan tetap mengenal akar budayanya di tengah samudra budaya dunia.

Inilah mengapa sebuah perhelatan bernama “Dentum Perkusi Mandailing Gordang Sambilan” menemukan momentumnya. Sebuah janji pada 16 Agustus 2025, di aula megah Politeknik Pariwisata Medan, untuk menghidupkan kembali roh perkusi ini.

Peristiwa itu, yang menjiwai spirit hari Kemerdekaan Indonesia ke-80, adalah jembatan antara masa lalu yang agung dan masa depan yang menanti, sebuah upaya strategis untuk menancapkan eksistensi budaya lokal di peta global.

Jejak Data

Panggung “Dentum Perkusi Mandailing Gordang Sambilan” dibangun atas fondasi Politeknik Pariwisata Medan, sebuah institusi yang tak hanya mencetak profesional pariwisata, melainkan juga menancapkan tiang-tiang pengembangan pariwisata budaya. Kolaborasi yang terjalin erat dengan Asosiasi Dosen Akuntansi Indonesia (ADAI) dan Asian Pacific Arts & Cultural Association (ASIA) mengisyaratkan sebuah aliansi lintas batas disiplin ilmu dan geografi.

Ini bukan sekadar dukungan lokal, melainkan penanda kesadaran kolektif bahwa pelestarian warisan budaya memerlukan sinergi dari berbagai sektor, sebuah respons terhadap tantangan globalisasi yang menuntut adaptasi dan inovasi dalam pelestarian. Perhelatan ini dengan lantang mengusung tema “Dalam Rangka Gebyar Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2025”. Sebuah paduan antara perayaan proklamasi dan gema musik tradisional Gordang Sambilan.

Di balik paduan ini, tersimpan hasrat luhur untuk mengukir kesadaran publik yang lebih dalam akan keagungan dan keunikan musik Mandailing, menyajikannya sebagai sebuah permata yang tak kalah berharganya dengan ekspresi budaya global. Juga untuk mengukuhkan identitas kebangsaan, sebuah tapestry yang ditenun dari benang-benang warisan budaya daerah, menunjukkan bahwa kekuatan sebuah bangsa juga berakar pada kekayaan kulturalnya.

Sembari menyuguhkan sebuah mimbar, tempat seniman, akademisi, dan praktisi budaya bertukar pikiran dan pengetahuan tentang Gordang Sambilan, menciptakan jejaring intelektual yang melampaui batas geografis, perhelatan besar ini juga ingin menyalakan api minat generasi muda, membimbing mereka menapaki jejak seni dan budaya tradisional sebagai benteng terhadap homogenisasi budaya yang diusung globalisasi.

Dari fajar hingga mentari condong, tepatnya pukul 08:00 hingga 13:30 WIB, acara ini mengalir dalam serangkaian sesi yang terangkai rapi. Detik-detik awal ini akan dipenuhi gema kata-kata dari Direktur Politeknik Pariwisata Medan dan perwakilan ASIA, sebuah seruan untuk memulai perjalanan kultural. Sebuah mimbar dialog interaktif Gordang Sambilan menjadi ajang bagi Dr. Irpan Rangukuti, M.Pd., dan Bakhsan Parinduri, seorang peletak fondasi APTSI dan seniman Gordang Mandailing terkemuka. Di sinilah kisah, filosofi, dan peran Gordang Sambilan dalam masyarakat Mandailing diuraikan.

Lalu, jantung pertunjukan berdetak: sebuah persembahan yang menghidupkan Gordang Sambilan dalam dimensi praktisnya, membiarkan suaranya menyentuh jiwa dalam penampilan terapi Mangngore Mandailing dan perkusi lingkung. Sesi selanjutnya membawa peserta lebih dekat dengan instrumen itu sendiri, mungkin sebuah demonstrasi langsung yang membuka tabir kompleksitas dan keindahan teknik permainannya. Klimaks pertunjukan, saat Gordang Sambilan akan menggaung dalam keagungan puncaknya, menyentuh relung hati para penikmat. Tirai acara berangsur turun, diiringi kehangatan ramah tamah.

Maestro dan penjaga ilmu harus menjadi pilar-pilar wawasan di tengah gempuran informasi. Layar acara ini akan dihiasi oleh kehadiran para maestro dan penjaga ilmu yang tak diragukan lagi kepakarannya. Ikhwanuddin Nasution, sang nahkoda acara, akan berdiri tegak. Bakhsan Parinduri, juga seorang seniman yang mendedikasikan hidupnya untuk Gordang Mandailing. Arfan Ihsan Lubis, sang founder ADAI dan ASIA, sebuah jembatan antara dunia akuntansi dan seni.

Irwansyah M.Pd., seorang dosen dari Universitas Negeri Medan, membawa kedalaman perspektif akademis. Ngatemin, juga Direktur Politeknik Pariwisata Medan, mengukuhkan dukungan institusional.

Kehadiran mereka, sebuah simfoni keahlian dari beragam latar, menjanjikan kedalaman dan komprehensifitas pembahasan, sebuah respons intelektual terhadap banjir informasi yang ditawarkan oleh era digital. Gerbang partisipasi terentang lebar, memungkinkan beragam kalangan untuk hadir, dari pegiat seni yang haus ilmu hingga masyarakat umum yang penasaran. Pilihan registrasi berjenjang—VVIP, VIP, Umum, dan Online—mengisyaratkan sebuah upaya inklusivitas, sebuah strategi untuk menjangkau berbagai segmen di tengah masyarakat yang kian terfragmentasi.

Pendaftaran yang mudah melalui platform daring menjadi jembatan bagi mereka yang ingin bergabung dalam perjalanan ini, sebuah bukti adaptasi terhadap kebiasaan digital yang kini menjadi norma global.

Bourdieu & Habitus Kultural

Peristiwa “Dentum Perkusi Mandailing Gordang Sambilan” bukanlah sekadar parade budaya, melainkan sebuah arena tempat modal budaya dan habitus diperagakan dan direproduksi, sebagaimana dielaborasi oleh Pierre Bourdieu, kini dihadapkan pada tantangan dan peluang globalisasi.

Acara ini secara fundamental berfungsi sebagai ajang akumulasi modal budaya yang unik, sebuah penawaran berbeda di tengah homogenisasi budaya global. Pengetahuan tentang Gordang Sambilan, disajikan melalui dialog dan demonstrasi, menjadi “pengetahuan berharga” yang tak semua orang miliki di dunia yang serba terkoneksi.

Partisipasi dalam perhelatan ini, terutama bagi mereka yang mengakses kategori VVIP atau VIP, dapat dilihat sebagai investasi dalam modal budaya yang meningkatkan posisi sosial mereka dalam ranah intelektual dan kultural, menawarkan keunikan yang tak bisa dibeli di pasar global. Para pembicara, dengan afiliasi universitas dan gelar akademis mereka, adalah representasi dari modal budaya terlembagakan, yang mereka “distribusikan” kepada audiens, mengukuhkan relevansi pengetahuan lokal di mata dunia.

Seni Gordang Sambilan itu sendiri, dengan segala kompleksitas dan sejarahnya, adalah bentuk modal budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi, kini dipersembahkan untuk dilegitimasi di panggung yang lebih luas, menuntut pengakuan universal.

Perhelatan ini juga berupaya membentuk dan memperkuat habitus—sebuah sistem disposisi yang diinternalisasi, membentuk cara individu berpikir, merasa, dan bertindak—yang selaras dengan apresiasi seni tradisional. Ini adalah respons adaptif terhadap globalisasi.

Bagi mereka yang tumbuh dengan Gordang Sambilan, acara ini mengukuhkan habitus kultural mereka. Namun, bagi audiens yang lebih luas, terutama kaum muda atau mereka yang baru bersentuhan dengan musik tradisional, acara ini adalah pintu gerbang menuju pembentukan habitus baru: sebuah kepekaan estetika terhadap warisan leluhur, rasa hormat terhadap sejarah, dan perhaps, dorongan untuk terlibat aktif dalam pelestariannya sebagai bagian dari identitas global mereka.

Melalui interaksi dengan seniman dan akademisi, serta pengalaman langsung pertunjukan, peserta tidak hanya menerima informasi, melainkan juga menyerap pola pikir dan nilai-nilai yang melekat pada dunia Gordang Sambilan, membentuk semacam glocal identity—identitas yang kuat secara lokal namun relevan secara global.

Dalam kerangka Bourdieu, “Dentum Perkusi Mandailing Gordang Sambilan” adalah sebuah arena kultural tempat berbagai agen—para seniman, akademisi, dan institusi—berinteraksi dan bernegosiasi untuk mendapatkan pengakuan dan mengukuhkan nilai seni tradisional, kini dalam konteks global.

Penyelenggaraan oleh Politeknik Pariwisata, sebuah entitas pendidikan formal, serta kolaborasi dengan asosiasi profesional, memberikan legitimasi institusional yang kuat. Hal ini mengangkat Gordang Sambilan dari ranah folk lokal ke kancah yang lebih formal dan diakui secara nasional, bahkan berpotensi internasional.

Pengaitan dengan perayaan kemerdekaan Indonesia bukan sekadar strategi pemasaran, melainkan upaya simbolis untuk mengintegrasikan modal budaya lokal ini ke dalam narasi besar identitas nasional, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari kekayaan yang patut dibanggakan di hadapan dunia. Ini adalah langkah proaktif untuk memastikan bahwa di era globalisasi, identitas kultural tidak luntur, melainkan justru menemukan panggung baru untuk bersinar.

Dentum Harapan

Perhelatan “Dentum Perkusi Mandailing Gordang Sambilan” melampaui batas sebuah acara belaka. Ia adalah manifestasi konkret dari upaya pelestarian budaya dan pengukuhan identitas yang relevan di era globalisasi.

Dengan memadukan unsur edukasi, pertunjukan memukau, dan dialog mendalam, acara ini tak hanya menyalakan kembali gema Gordang Sambilan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran, apresiasi, dan minat yang lebih luas, bahkan di kalangan yang terpapar budaya global. Melalui lensa Bourdieu, kita menyaksikan bagaimana modal budaya diwariskan, bagaimana habitus dibentuk, dan bagaimana sebuah arena kultural menjadi medan legitimasi—semua ini adalah strategi bertahan dan berkembang di tengah arus globalisasi.

Keberlanjutan inisiatif semacam ini adalah kunci, sebuah janji untuk memastikan bahwa harmoni Gordang Sambilan takkan pernah padam, terus mengalun di tengah deru zaman, mengukuhkan fondasi kokoh bagi identitas Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, mampu berdialog dengan dunia tanpa kehilangan jati diri.

Penulis adalah Alumni S1 FBS Unimed, S2 Pengkajian Seni FIB USU, Medan.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |