Elite Pemimpin “Cuci Piring Kotor”

2 hours ago 1

Oleh Taufiq Abdul Rahim

Jadi benar-benar pemimpin sebagai khalifah bukan pembantu manusia culas, curang, dan kotor.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Dalam kehidupan kemasyarakatan serta keorganisasian, peran pemimpin sangat diperhitungkan, dibanggakan, dipengaruhi oleh sikap, watak serta perilaku yang patut dicontoh. Demikian juga, hal yang paling mendasar dalam kehidupan masyarakat tradisional dan modern adalah ketauladanan yang patut serta ditiru, juga menjunjung tinggi akhlak, etika moral sebagai sebuah keniscayaan. Sehingga pemimpin yang merupakan sosok, orang, individu yang benar-benar dapat mempengaruhi, didengar serta diikuti perkataan, pernyataan serta amanat yang disampaikan, maka tanggung jawab pemimpin bukan saja kepada bawahan, orang-orang serta pengikutnya, dalam terminologi agama (Islam) mesti dipertanggung jawabkan kepada Allah (Tuhan), sebagai khalifah yang jaga alam semesta serta jagat raya yang merupakan ciptaan-Nya.

Dalam diskursus, kajian akademik, keorganiasasian serta kelompok, bahkan terhadap konteks kehidupan yang lebih luas, komunitas serta kelompok sosial-kemasyarakatan, daerah, wilayah juga negara. Ini berlaku “mutually symbiosis” yakni pemimpin itu berasal serta lahir dari kelompok sosial-kemasyarakatan, selanjutnya dalam konteks kedaerahan, wilayah dan negara merupakan pengakuan resmi maupun empirik sebagai prasyarat mutlak mesti ada rakyatnya. Sehingga pemimpin sebagai simbol kepercayaan, amanah, pilihan serta pengakuan selaku orang, individu serta sosok yang mesti dan atau patut dihargai serta dihormati, sekurang-kurangnya dalam kelompok tertentu yang mampu berinteraksi serta mendengarkan, juga panutan dari kumpulan orang-orang tersebut. Hal ini berlaku sejak zaman pra sejarah, klasik, neo-klasik, modern (enlighten/pencerahan) bahkan post modernism abad kontemporer saat ini dan ke depannya. Sehingga pemimpin yang hidup dalam zaman modern atau kontemporer abad ini juga dituntut memiliki kredibilitas, kompetensi, kharismatik, cakap serta memiliki tanggung jawab sangat besar terhadap orang-orang atau masyarakat/rakyat yang dipimpinnya.

Selanjutnya dinamika kehidupan modern yaitu, dunia secara global yang sangat elastis menyebabkan kompleksitas tantangan kehidupan semakin meningkat. Kemudian adanya jargon model kehidupan Era 4.0 bahkan 5.0 yang identik dengan pesatnya kemajuan ranah digital memicu semakin banyaknya tantangan yang wajib dihadapi oleh pemimpin di Indonesia. Karenanya berhadapan dengan tantangan dapat dilihat merupakan salah satu potensi penghambat kinerja, prestasi serta kemjuan terhadap perilaku pemimpin, namun dapat pula dipandang sebagai kesempatan untuk menaklukkannya agar kompetensi diri meningkat. Maka menurut Ong Hok Kam (2018) yaitu, tantangan zaman yang menghampiri diri pemimpin sejatinya adalah ujian layak tidaknya ia memimpin masyarakat. Sehingga tidak asal mengusul, mengangkat, dukung dan titip orang menjadi pemimpin sementara itu, kompetensinya dibawah rata-rata kepintaran serta kompetensi rakyat yang lebih siap dalam berkompetisi. Demikian juga, hal yang prinsipil nilai kompetensi, kemampuan, kecakapan serta kharisma kepemimpinan tidak dapat dibuat-buat serta melakukan praktik sandiwara, bahkan hanya sebagai peran memainkan drama yang diarahkan sutradaranya, sehingga hanya bermodal pencitraan bukan nilai kepemimpinan (leaderships) yang berkompeten dan benar-benar layak sebagai pemimpin dan sejatinya tahan uji dan kompetensi.

Dengan demikian, jika ada perlakuan yang berbeda di antara rakyat sesama warga sipil dalam pernyataan serta kebijakan pemimpin pemerintah, semestinya mendorong kebutuhan mendahului kepentingan rakyat terhadap pemimpin yang adil. Karena pemimpin yang bertanggung jawab menjadi gambaran ideal yang dikehendaki oleh rakyat. Maka sosok atau figur pemimpin yang tidak takut, lepas tangan, membebani utang elite pemimpin politik dan oloigarki dan melempar tanggung jawab membebani rakyat terhadap eksistensinya pada zaman digital ini. Karena itu pemimpin ideal, normatif serta bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat, menurut Ricklefs, M.C. (2016) yaitu, faktor pemimpin yang mampu mengakomodir perjuangan rakyat turut menjadi impian yang diinginkan. Bahkan mesti dipenuhi tidak hanya retorika, narasi, mengumbar janji-janji politik kata-kata berjuang untuk rakyat, yang demikian melekat pada fikiran rakyat Indonesia yang selalu berteriak untuk rakyat, memainkan narasi praktik culas curang para elite pemimpin. Hal yang paling buruk bernilai culas dan curang yaitu, mencuri uang rakyat, uang negara, merampok mencuri dan korupsi secara ugal-ugalan merugikan rakyat, bahkan hutang pemimpin lama proyek mangkrak (juga kereta whoosh) serta menggandakan uang keuntungan kelompoknya, ditanggung tanpa malu terhadap rakyat. Ini anomali dengan kata-kata akan mengejar koruptor sampai ke Antartika, mensejahterakan rakyat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan keadilan. Ternyata lain antara kata dan perbuatan atau implikasinya, tidak lebih berperan sebagai kacung, pembantu, babu elite pemimpin lama yang kotor, buruk, culas, curang dan merampok berjamaah, sehingga berperilaku “pemimpin cuci piring kotor” (wadah makan koruptor) membersihkan kotoran menjijikkan serta menyengsarakan rakyat. Karena balas budi telah membantu menjadikannya sebagai pemimpin (presiden), latar belakang keculasan serta kecurangan sangat kotor dalam demokrasi politik kepemimpinannnya. Demikian juga, dititipkan anaknya nirnalar sebagai pendamping merupakan praktik politik dinasti, sehingga berani berbohong terhadap rakyatnya.

Dengan demikian, menjadi perhatian yang berlebihan dengan praktik politik “abused of power”, juga melanjutkan praktik politik authoritarian, tunduk dan patuh sebagai kesungguhan dalam praktik “patron and client”, tuan dan cuan melindungi bertanggung jawab membersihkan kekotoran tuannya, karena balas jasa dengan proses kotor menjadi pemimpin pengganti. Bukan saja “pemimpin cuci piring kotor” semakin terlihat secara realistik di tengah kehidupan kesusahan rakyat serta tanpa arah perubahan cahaya kehidupan, karena berhadapan dengan para koruptor, yang mengotori kehidupan rakyat menuju kesejahteraan. Maka pemimpin itu mesti yang memiliki kompetensi, tidak hanya mengandalkan ambisi/nafsunya, sehingga menghalalkan segala cara untuk menjadi pemimpin rakyat dalam negara yang merdeka, berdaulat serta bertanggung jawab. Bahwasanya pemimpin sebagai elite sesungguhnya menurut Yulk, Gary A. (1989) adalah, kepemimpinan adalah meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.

Sehingga secara tegas yang diperlukan sebagai pemimpin yang bertanggung jawab dan tidak mencla-mencle atau “pagi tahu, sore tempe” membangun narasi kosong sekadar omong-omong saja. Menurut Yulk (1998), yaitu, aktivitas-aktivitas untuk mencapai sasaran, memelihara hubungan kerja sama dan kerja kelompok, perolehan dukungan dan kerja sama dari orang-orang di luar kelompok atau organisasi. Maka menurut Gardner (1990), kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Ini juga dipertegas Hines, K. Gary (1992) yaitu, kepemimpinan adalah seni mempengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara kepatuhan, kepercayaan, kehormatan dan kerjasama yang bersemangat dalam mencapai tujuan bersama.

Makanya berhubungan dengan kekuasaan politik kenegaraan, sehingga menurut Gibson dkk (1996) adalah, kekuasaan tak lain adalah kemampuan untuk mendapatkan orang lain untuk melakukan apa yang diinginkan oleh pihak lainnya. Selanjutnya menurut Wright dan Taylor (1994) yakni, praktik kepemimpinan berkaitan dengan mempengaruhi tingkah laku dan perasaan orang lain, baik secara individual maupun kelompok dalam arahan tertentu.

Dengan demikian secara realitas sebagaimana disampaikan Kotler (1990) adalah, kepemimpinan menunjuk pada proses untuk membantu mengarahkan dan memobilisasi orang atau ide-idenya. Sehingga tidak menjadi pembantu terhadap tuannya, membersihkan kekotoran masa lalu dari praktik politik kekuasaan sang tuan atau Raja Jawa, hanya sebagai pencuci piring kotor yang hina dina di mata rakyat, serta bahan ejekan dan cibiran rakyat. Selaras dengan posisi pemimpin sebagai khalifah diatas muka bumi, Al-Qur’an, Al-Baqarah ayat 30, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku akan menciptakan khalifah di bumi.”. Jadi benar-benar pemimpin sebagai khalifah bukan pembantu manusia culas, curang, dan kotor.

Penulis adalah Dosen FE/Pasca Sarjana Unmuha dan Peneliti Senior PERC-Aceh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |