MEDAN (Waspada.id): Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tegas membantah adanya dugaan intervensi dari Istana Wakil Presiden (Wapres) dan Geng Solo terkait belum diperiksanya Gubernur Sumut Bobby Nasution bersama circlenya di kasus korupsi eks Kadis PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting.
‘’Tidak ada intervensi, kendala, maupun hambatan,’’ tegas Ketua KPK Setyo Budiyanto melalui Juru Bicara (Jubir) KPK Budi Prasetyo saat ditanya Waspada.id, Selasa (23/9/2025).
Jubir KPK Budi Prasetyo kembali menegaskan bahwa penyidik perkara Topan Ginting masih berprogres, tidak ada kendala ataupun hambatan.
Jubir KPK pun mengungkapkan, perkara yang bermula dari kegiatan tangkap tangan ini, KPK kemudian melakukan tindakan-tindakan penyidikan dengan memeriksa para tersangka, saksi, ataupun pihak lain.
‘’Penyidik juga melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi untuk menemukan petunjuk yang diperlukan dalam penanganan perkara ini,’’ ucap Budi Prasetyo.
KPK pun pernah menyebut, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dan eks Kepala Dinas PUPR Provinsi Sumut, Topan Obaja Putra Ginting satu lingkaran (circle).
“Ini circle-nya, termasuk Topan (Ginting) juga kan circle-nya,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta pada Senin, 25 Agustus 2025.
Sebelumnya, anggota Komisi Yudisial 2015-2020, Assoc. Prof. Dr. Farid Wajdi, SH, M.Hum, menyebut KPK wajib membongkar jejak korupsi di balik kasus mantan Kadis PUPR Sumut, Topan Obaja Putra Ginting.
OTT yang dilakukan KPK pada Juni 2025 memang berhasil mengungkap praktik korupsi proyek jalan senilai Rp231,8 miliar.
Topan bersama sejumlah pejabat pelaksana proyek ditetapkan tersangka. Namun publik segera menangkap sesuatu yang lebih besar: Topan diduga tidak bekerja sendiri.
‘’Kasus suap yang menyeret Topan ini, kembali menguji tajam tidaknya taring KPK,’’ ucap Farid Wadji kepada Waspada.id.
Founder Ethics of Care ini menyebut ada indikasi kuat Topan sekadar perantara, sementara keputusan strategis dan perintah untuk mengutip suap datang dari pihak yang lebih tinggi, yakni Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution.
Pertanyaan inilah yang membuat kasus Topan Ginting berada di persimpangan: apakah akan berhenti hanya pada pejabat teknis, atau berlanjut hingga mengungkap “pemberi perintah” yang sesungguhnya?
KPK sendiri menyebut masih mendalami sosok di balik layar, menelusuri aliran dana dan memeriksa saksi-saksi kunci, termasuk pejabat di luar lingkup PUPR. Namun, keraguan publik juga muncul: apakah KPK masih seagresif dulu atau mulai kehilangan daya gigitnya?
Kesan “KPK mulai loyo” bukan muncul tanpa sebab. Revisi Undang-Undang KPK pada 2019 telah mempersempit ruang gerak lembaga antirasuah ini: kewenangan penyadapan dibatasi, pegawai dialihkan menjadi ASN, serta munculnya Dewan Pengawas yang bisa menunda langkah operasional.
‘’Akibatnya, masyarakat melihat KPK lebih banyak menjerat pejabat menengah atau daerah, sementara kasus-kasus besar yang melibatkan elite politik jarang menyentuh aktor utamanya,’’ ucap Farid.
Persepsi ini makin kuat ketika penyidikan berjalan lamban atau minim transparansi, sebagaimana terlihat dalam kasus Topan Ginting.
Jika hanya berhenti pada Topan Ginting, publik akan menilai KPK sekadar mengulangi pola lama: menghukum pelaksana teknis, sementara pengambil keputusan utama lolos dari jeratan.
Sebaliknya, bila KPK berani menindak aktor di balik layar, kasus ini bisa menjadi titik balik untuk memulihkan reputasi lembaga antirasuah.
Kasus Topan Ginting dengan demikian bukan sekadar soal proyek jalan di Sumatera Utara, melainkan ujian menyeluruh bagi independensi, efektivitas, dan kredibilitas KPK.
Publik menunggu apakah lembaga ini mampu menembus tembok politik dan birokrasi, atau justru kembali berhenti di “pintu kecil” pelaksana teknis.
‘’Jalan yang dipilih KPK dalam kasus ini akan menentukan apakah lembaga antikorupsi tersebut masih menjadi harapan bangsa dalam memberantas korupsi, atau hanya tinggal nama besar yang kehilangan taringnya,’’ tandas Farid Wajdi.
Seperti diketahui, KPK melakukan OTT terhadap Kadis PUPR Sumut, Topan Ginting pada Kamis 26 Juni 2025. Topan bersama empat tersangka lainnya diduga terlibat korupsi dalam berbagai proyek pembangunan jalan di Sumatera Utara.
Selain Topan, empat orang lainnya yang ditetapkan KPK sebagai tersangka yakni, Rasuli Efendi Siregar selaku Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Provinsi Sumut, merangkap pejabat pembuat komitmen atau PPK.
Lalu dari pihak swasta yakni Direktur Utama PT DNG, Muhammad Akhirun Piliang alias Kirun dan Direktur PT RN, M Rayhan Dulasmi Pilang.
Kemudian PPK Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah I Provinsi Sumatera Utara, Heliyanto.
KPK juga telah memeriksa puluhan saksi atas kasus tersebut. Sementara Bobby Nasution dan circlenya belum juga diperiksa.
Pada Rabu, 17 September 2025, sidang perdana kasus korupsi proyek jalan yang menyeret eks Kadis PUPR Sumut Topan Obaja Putra Ginting itu berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Medan.
Sidang ini menghadirkan dua terdakwa Direktur Utama PT Dalihan Na Tolu Grup Muhammad Akhirun Piliang alias Kirun dan Direktur PT Rona Mora Muhammad Rayhan Dulasmi. Adapun berkas yang terkait dengan Topan Ginting belum dilimpahkan ke pengadilan.
Dua terdakwa tersebut didakwa memberikan suap senilai total Rp4,054 miliar. Suap tersebut diduga diberikan kepada sejumlah pejabat dengan tujuan memenangkan paket proyek peningkatan jalan di Sumut.
Sebelum paket proyek tersebut dilelang, Topan Ginting dan Gubernur Sumut Bobby Nasution dan Akhirun Piliang menjajaki jalan yang akan dilelang tersebut pada 22 April 2025 dengan mobil off road dan disambut warga Desa Sipingot, Kabupaten Padang Lawas Utara.
Pada Juni 2025, Topan Ginting mengatakan, proyek pembangunan jalan akan segera dilelang dan meminta PPK menindaklanjutinya dan meminta Kirun Piliang memasukkan penawaran.
Pada tanggal 23 Juni sampai dengan tanggal 26 Juni 2025, Kirun Piliang memerintahkan stafnya untuk berkoordinasi staf UPTD Dinas PUPR Sumut untuk mempersiapkan hal teknis sehubungan dengan proses e-katalog.
Pengamat anggaran dan kebijakan publik, Elfenda Ananda pernah menyebut, anggaran proyek pembangunan jalan yang menjerat Topan Ginting, belum tersedia di APBD Sumut.
Uang untuk pembangunan jalan itu masih dicari dan akan digeser dari dinas-dinas lain ke Dinas PUPR. Namun, seolah-olah anggaran proyek pembangunan jalan senilai Rp231,8 miliar itu sudah tersedia sehingga kontraktor tergiur dan berani memberikan imbalan alias uang muka.
‘’Semua itu terjadi diawali keinginan Gubernur Sumut Bobby Nasution membangun jalan meski anggaran belum tersedia,’’ ujar Elfenda.(id96)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.