Biang Kerok Banjir Sumut: Tambang Emas, PLTA, Dan Illegal Logging

2 hours ago 1

Batang Toru berkali-kali disebut saat bencana; kajian lingkungan mencatat puluhan ribu hektare hutan hilang 2016–2024 akibat tambang dan infrastruktur besar.

Di Tapanuli Raya, air bah datang bukan hanya menggenangi perkampungan, melainkan menggerus. Rumah-rumah hanyut, jembatan patah, ladang lenyap, mayat-mayat bergelimpangan. Di hilir, warga menunggu perahu karet yang tak kunjung tiba, sementara di layar televisi pejabat menjelaskan “curah hujan ekstrem” dan “anomali cuaca” seakan langitlah terdakwa utama. Padahal jejak sesungguhnya berserak jelas di hulu: lubang tambang, bendungan PLTA, dan bukit-bukit yang botak.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Data resmi mencatat, banjir dan longsor akhir November 2025 di Sumatera menewaskan ratusan orang, ratusan lainnya hilang, dan lebih dari seratus ribu rumah rusak. Sumatera Utara menjadi salah satu episentrum: dari Batang Toru hingga Mandailing Natal, air bah turun membawa lumpur, kayu gelondongan, dan fragmen kebijakan yang selama ini abai pada akal sehat ekologis.

Pemerintah boleh saja menunjuk hujan ekstrem sebagai pemicu, tetapi para ahli mengingatkan: daya rusak banjir adalah akumulasi “dosa ekologis” di hulu daerah aliran sungai (DAS). Ketika hutan yang mestinya menyerap dan menahan air diubah menjadi tambang, kebun kayu, atau kebun sawit, air hujan tak punya ruang untuk meresap. Ia berubah menjadi arus liar yang meluncur tanpa rem ke kampung-kampung di bawah.

Di Sumut, nama Batang Toru berulang kali muncul dalam diskusi bencana. Kajian lembaga lingkungan mencatat, ekosistem Batang Toru kehilangan puluhan ribu hektare tutupan hutan selama 2016–2024 akibat operasi perusahaan tambang, perkebunan, dan infrastruktur besar. Hilangnya hutan di hulu membuat luapan air meningkat tajam saat hujan ekstrem, memicu banjir bandang yang menyapu Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, hingga Sibolga.

Tambang emas di kawasan ini menjadi sorotan. Bukan karena emasnya berkilau, tapi karena jejak luka yang ditinggalkannya: bukaan lahan lebar, timbunan tanah buangan, serta jalan-jalan tambang yang memotong lereng. Menteri ESDM sendiri mengakui perlunya pengecekan serius terhadap aktivitas tambang emas—termasuk potensi kegiatan ilegal dan pembalakan liar yang merusak daerah resapan air. Ketika pemerintah pusat terpaksa menghentikan sementara operasi tambang di hulu DAS Batang Toru dan memerintahkan audit lingkungan, itu sesungguhnya pengakuan telat bahwa ada yang salah besar dalam tata kelola ruang.

PLTA Batang Toru, yang dijual dalam jargon energi bersih, ikut terseret. Bukan karena listriknya, tetapi karena cara ia dibangun: memotong lembah kritis, mengurung sungai, dan menggusur sebagian tutupan hutan pada lanskap yang sama-sama rapuh. Organisasi lingkungan menautkan kerusakan ekosistem Batang Toru dengan kombinasi operasional PLTA, tambang emas, dan industri kehutanan di kawasan tersebut. Energi hijau berubah muram ketika fondasinya adalah deforestasi.

Di antara dua mesin besar ini—tambang emas dan PLTA di Batang Toru—berdiri biang kerok yang lebih senyap namun mematikan: illegal logging. Kayu-kayu gelondongan yang ikut meluncur bersama banjir di sejumlah titik Sumut bukan jatuh dari langit. Media dan kelompok masyarakat sipil melaporkan pemeriksaan terhadap sejumlah perusahaan dan temuan indikasi pelanggaran di belasan lokasi terkait pembalakan dan perusakan hutan. Banjir membawa bukti kejahatan ekologis itu sampai ke depan kamera.

Bencana ini bukan melulu karena takdir takdir, melainkan konsekuensi kebijakan. Deforestasi di Sumatra—terutama untuk sawit, tambang, dan infrastruktur—sudah lama diperingatkan akan memperparah risiko banjir dan longsor. Namun negara memilih menutup mata, bahkan melonggarkan perizinan dan mengendurkan pengawasan. Audit lingkungan selalu datang sebagai epilog setelah jenazah diturunkan ke liang lahat.

Tambang emas tidak otomatis membawa banjir. PLTA bukan kejahatan asal-usul. Yang menjadi masalah adalah ketika izin diberikan serampangan di hulu DAS kritis, di atas punggung masyarakat yang tak pernah dilibatkan dalam keputusan, dan di tengah lembaga pengawas yang lebih sibuk membuat konferensi pers daripada patroli lapangan. Ketika pelanggaran hanya berujung surat teguran, pelaku akan menganggap sungai, hutan, dan nyawa warga sebagai bagian dari ongkos produksi.

Apa yang mestinya dilakukan? Pertama, moratorium total izin baru tambang, PLTA, dan pembukaan hutan di semua hulu DAS kritis di Sumatera Utara. Audit lingkungan yang kini diwajibkan pemerintah harus transparan, melibatkan publik, dan diikuti sanksi nyata: pencabutan izin, kewajiban pemulihan ekologis, dan proses pidana bagi pelaku kejahatan lingkungan.

Kedua, hak masyarakat adat dan petani di kawasan hulu harus diakui sebagai benteng hidup terakhir. Pengalaman banyak daerah menunjukkan: di wilayah yang masih dipegang komunitas lokal, hutan cenderung lebih terjaga dibanding yang diserahkan pada korporasi dengan logika ekstraksi jangka pendek.

Pada akhirnya, banjir Sumut adalah cermin wajah kita sendiri. Di satu sisi, warga mengapung pasrah di atas perahu karet seadanya; di sisi lain, laporan untung-rugi tambang emas dan PLTA tetap tampak menggiurkan di atas kertas, meski nyaris tak meneteskan manfaat ke kampung-kampung yang terendam. Negara tidak bisa terus berdiri di tengah-tengah. Selama emas, listrik, dan kayu lebih berharga daripada keselamatan warga, banjir hanya akan dianggap “biaya operasional” dalam neraca oligarki. Dan air yang hari ini menelan rumah-rumah di Tapanuli, esok bisa menyapu habis sisa kepercayaan rakyat—sekaligus menyeret rumah, saudara, dan anak kita ke dalam arus yang sama: berlumpur, penuh batang kayu!

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |