Beban Masalah Dana Rp 200 T Di Bank

10 hours ago 2

Oleh: Darmawan Sriyanto

KEBIJAKAN Kementerian Keuangan yang menempatkan dana sebesar Rp200 triliun di bank-bank milik negara (BRI, BNI, Mandiri, BTN, dan BSI) menuai perhatian luas. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut langkah ini bertujuan mempercepat penyaluran kredit ke sektor riil, meningkatkan konsumsi rumah tangga, dan menghidupkan kembali gairah ekonomi nasional.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Dana ditempatkan dalam bentuk deposito on call selama enam bulan, dengan kewajiban bank menyalurkan dana tersebut ke sektor produktif seperti UMKM dan industri, bukan ke instrumen keuangan aman seperti Surat Utang Negara (SUN). Bahkan, Menteri Keuangan menegaskan direktur utama bank dapat dikenai sanksi jika gagal menyalurkannya.

Namun, masalah ekonomi Indonesia saat ini tidak terletak pada kurangnya likuiditas perbankan, melainkan pada melemahnya daya beli dan ketidakpastian sektor riil. Dengan kata lain, uang boleh tersedia, tapi kepercayaan dan permintaan masih lemah.

Data menunjukkan kondisi likuiditas perbankan masih sangat longgar. Besaran total kredit yang disalurkan oleh bank dibandingkan dengan total dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh bank, per Juli 2025 berada di angka 87%, yang berarti bahwa kondisi ini masih ideal dan masih dalam batas aman menurut OJK.

Selanjutnya rasio kemampuan bank memenuhi kewajiban jika penarikan dana nasabah dilakukan secara tiba-tiba berada pada posisi stabil yaitu di kisaran 27%, dan pertumbuhan kredit (6,7%) nyaris seimbang dengan pertumbuhan dana pihak ketiga (6,6%).

Bahkan, undisbursed loan yaitu kredit yang disetujui namun belum dicairkan naik 9,51% secara tahunan, dan di bank-bank BUMN mencapai 20,9%, artinya, dunia usaha belum siap meminjam meski dana tersedia.

Sektor riil melambat

Di sisi yang lain bahwa data sektor riil juga menunjukkan pelemahan di berbagai lini. Data yang dihimpun dari Gaikindo menunjukan bahwa penjualan kendaraan bermotor turun tajam—penjualan kendaraan bermotor dari pabrikan ke distributor minus 8,6% dan penjualan dari distributor ke konsumen langsung minus 9,5% pada Januari–Juni 2025.

Data dari standard & poors global inc juga menunjukan bahwa aktivitas industri menurun selama tiga bulan berturut-turut (April–Juni 2025). Pabrik mengurangi produksi karena permintaan melemah, stok menumpuk, dan investasi baru tertunda. Hal ini menujukkan bahwa aktifitas industri melambat.

Sementara itu, investasi asing langsung (FDI) menurun dari Rp217,3 triliun menjadi Rp202,2 triliun (BKPM, 2025). Dari sisi konsumsi rumah tangga, inflasi naik dari 1,07% (Jan–Jul 2024) menjadi 2,37% (Jan–Jul 2025) (BPS), dan PHK meningkat 32% pada semester I 2025 (Kemnaker).

Fakta-fakta ini mengindikasikan bahwa pelemahan ekonomi bukan akibat kurangnya uang di perbankan, tetapi lemahnya permintaan pasar dan menurunnya optimisme konsumen.

Eisha, Direktur INDEF, menilai kebijakan penempatan dana tersebut perlu dievaluasi secara menyeluruh. “Fokus seharusnya bukan menambah likuiditas, tapi memperkuat daya beli masyarakat”. Pernyataan ini sejalan dengan kondisi lapangan yang menunjukkan lemahnya permintaan domestik.

Dana Mengendap, Bukan Mengalir

Kebijakan injeksi dana besar ke perbankan belum berhasil mempercepat transmisi ke sektor riil. Data Bank Indonesia menunjukkan posisi operasi moneter minggu pertama September 2025 mencapai Rp991 triliun, naik dari Rp904 triliun pada periode yang sama ditahun sebelumnya.

Sekitar 70% dana likuid perbankan justru ditempatkan pada Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia (SRBI) karena imbal hasilnya tinggi dan tanpa risiko.

Bagi daerah seperti Sumatera Utara, pelemahan daya beli juga sudah terasa. Data BPS Sumut menunjukkan penjualan eceran turun, dan tingkat pengangguran terbuka masih di atas 6%. Artinya, dana besar di pusat belum banyak menetes ke ekonomi daerah.

Artinya, dana hasil penempatan pemerintah tidak mengalir ke kredit produktif, melainkan kembali ke instrumen keuangan. Inilah yang disebut fenomena decoupling—ketika sektor keuangan terlihat “hidup” karena dana berlimpah, namun sektor riil tetap lesu karena tidak tersentuh investasi dan konsumsi nyata.

Perlu Arah Baru Kebijakan

Menambah likuiditas tanpa memperkuat daya beli hanya akan memperbesar jurang antara sektor moneter dan sektor riil. Pemerintah perlu mengalihkan fokus kebijakan ke strategi yang lebih menyentuh masyarakat dan dunia usaha secara langsung.

Pertama, stimulus fiskal langsung ke rumah tangga berpendapatan rendah penting untuk memperkuat permintaan domestik.

Kedua, insentif bagi sektor padat karya dapat membantu menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan riil.

Ketiga, reformasi struktural seperti penyederhanaan regulasi investasi, perbaikan infrastruktur, dan dukungan UMKM akan memperbaiki fondasi pertumbuhan jangka menengah.

Selain itu, koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter perlu diperkuat. Pengetatan suku bunga Bank Indonesia sejak 2023 memang menjaga stabilitas rupiah, tetapi di sisi lain menekan ekspansi kredit. Tanpa sinkronisasi, ekspansi fiskal akan kehilangan daya dorongnya.

Kesimpulan

Kebijakan Menkeu menempatkan dana di perbankan adalah upaya cepat yang patut diapresiasi. Kebijakan penempatan dana Rp200 triliun di perbankan adalah langkah cepat yang berpijak pada niat baik: menjaga momentum pertumbuhan di tengah tekanan global.

Namun, efektivitasnya terbatas karena masalah utama perekonomian bukan pada pasokan uang, tetapi pada lemahnya permintaan dan kepercayaan sektor riil.

Reformasi struktural dan strategi pemulihan daya beli juga diperlukan karena injeksi dana sebesar apa pun hanya akan berputar di pasar keuangan—bukan mengalir ke kehidupan nyata rakyat.

Intinya gebrakan yang telah diawali oleh kementerian keuangan harus bisa menjadi penggerak bagi seluruh elemen bangsa yang pada akhirnya mampu untuk menunbuhkan sektor industri sampai UMKM, yang pada akhirnya mampu menciptaan lapangan kerja.

Selama daya beli masyarakat belum pulih, sektor riil tetap melemah, dan investasi tidak bergerak, tambahan dana di bank hanya akan menambah likuiditas di neraca, bukan di pasar dan pabrik. (Staf pengajar STIE Graha Kirana, Kepala Depatermen Pendidikan Tinggi Ponpers Hidayatullah Medan)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |