Jakarta, CNBC Indonesia- Produksi mentimun nasional terus menunjukkan penurunan yang konsisten selama dua tahun terakhir.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang 2024, volume produksi mentimun hanya mencapai 3,99 juta kuintal. Angka ini merupakan yang terendah dalam delapan tahun terakhir.
Penurunan ini bukan kejutan tiba-tiba. Sejak mencetak rekor tertinggi sebesar 4,72 juta kuintal pada 2021, produksi mentimun mulai terkoreksi di tahun-tahun berikutnya. Tahun 2022 tercatat 4,44 juta kuintal, lalu turun lagi menjadi 4,17 juta kuintal pada 2023, dan kini menyentuh angka di bawah 4 juta kuintal.
Selama periode 2017-2021, tren produksi cenderung meningkat. Dalam lima tahun itu, produksi bertambah lebih dari 470 ribu kuintal. Stabilitas iklim, ketersediaan benih, serta praktik budidaya yang adaptif ikut mendukung pertumbuhan tersebut. Namun situasi berubah sejak 2022.
Produktivitas mentimun di berbagai wilayah Indonesia masih tergantung pada praktik budidaya tradisional, dengan pola pemupukan yang belum efisien dan manajemen air yang tidak adaptif terhadap cuaca ekstrem. Ketergantungan pada cara lama membuat tanaman mentimun lebih rentan terhadap perubahan lingkungan.
Iklim menjadi tantangan nyata. Curah hujan yang tidak menentu dan suhu yang makin ekstrem mengganggu fase pertumbuhan tanaman, terutama saat berbunga dan berbuah. Perubahan iklim tropis yang semakin fluktuatif mulai berdampak serius pada stabilitas produksi sayuran buah, termasuk mentimun. Musim tanam yang kacau menyebabkan siklus panen tidak lagi bisa diprediksi secara akurat oleh petani.
Di sisi lain, kualitas benih yang digunakan belum merata. Banyak petani masih mengandalkan benih lokal tanpa sertifikasi, yang tidak selalu tahan terhadap hama dan penyakit.
Hal ini diperparah oleh menurunnya kesuburan tanah akibat penggunaan pupuk anorganik secara terus-menerus. Tanah yang dipupuk tanpa rotasi bahan organik dalam jangka panjang mengalami penurunan produktivitas mikrobiologis, yang berdampak pada hasil panen.
Permasalahan hama juga belum sepenuhnya teratasi. Serangan lalat buah, kutu putih, dan fusarium menjadi faktor tambahan yang menekan hasil panen. Tanpa pengendalian hayati yang tepat dan minimnya edukasi pascapanen di tingkat petani, kehilangan hasil (losses) kerap kali tidak tercatat dalam statistik produksi, namun nyata di lapangan.
Sementara permintaan pasar mentimun relatif stabil, suplai yang goyah membuka potensi inflasi harga komoditas segar. Jika tren penurunan ini terus berlangsung tanpa intervensi struktural, ketergantungan terhadap suplai dari wilayah tertentu akan makin besar, dan kerentanan pasokan ke kota-kota besar bisa meningkat. Dalam jangka panjang, pola ini bisa memukul sektor UMKM makanan, jasa boga, dan pasar tradisional yang sangat bergantung pada pasokan harian.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(emb/emb)