
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
MEDAN (Waspada.id): Perkembangan yang terjadi belakangan ini terkait reformasi Polri memunculkan wacana restorasi Polri. Wacana restorasi ini perlu untuk dipertimbangkan sebagai suatu upaya untuk membawa sistem keamanan dalam negeri menjadi lebih baik ke depan.
Hal itu dikatakan dosen Fisipol Universitas Medan Area (Uma Dr Dedi Sahputra, MA. “Ada baiknya wacana restorasi Polri yang menjadi wacana publik ini dipertimbangkan dalam menata institusi Polri ke depan,” ujarnya di Medan, Ahad (21/9).
Isu masa depan institusi kepolisian muncul kembali menyusul dengan dibentuknya tim reformasi Polri. Sudah lebih dari dua dekade sejak reformasi yang disebut-sebut untuk Polri dimulai pada tahun 1998, dan beberapa pakar percaya bahwa masalah mendasar dari permasalahan tersebut belum teratasi dengan memuaskan.
“Dalam wacana yang kita simak bahwa pemulihan dimensi moral, budaya, dan legitimasi sosial jauh lebih penting daripada sekadar reformasi prosedural. Tentu hal ini tidak bisa kita abaikan begitu saja. Karena landasan moral dan budaya—terutama—merupakan hal penting yang perlu diperhatikan secara serius,” tuturnya.
Menurutnya, semua langkah untuk mereformasi Polri, termasuk yang pernah dilakukan dengan “pernikahan” ABRI-Polri, pembentukan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), dan bahkan digitalisasi layanan publik, masih harus terus berproses untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Karenanya ada benarnya jika dikatakan bahwa masalah kepolisian jauh melampaui aspek administratif ke budaya dan etika. Ada penurunan nilai yang membuat reformasi tampak redup dibandingkan dengan apa yang dibutuhkan. Restitusi hanyalah tidak cukup. Apa yang dibutuhkan adalah pemulihan. Dan bukan pemulihan tanpa alasan yang cukup, adalah reformasi.”
Jika merujuk ke sejarah, dalam penegakan hukum dalam konteks pascakolonial, maka selama bertahun-tahun, tampaknya reformasi kepolisian sebagian besar berfokus pada elemen struktural dan prosedural. Polri telah memperbarui Prosedur Operasional Standar, menciptakan tingkat pengawasan tambahan, dan bahkan mengadopsi teknologi penegakan hukum modern, seperti denda pelanggaran kecepatan elektronik.
“Perbaikan yang dicapai pada aspek administratif dari kepolisian patut dipuji. Sayangnya, persepsi menunjukkan gejala yang berbeda. Karena itu restorasi adalah suatu hal yang sangat mungkin dilakukan,” sebutnya.
Kontrak Sosial
Diuraikan bahwa dalam konsep restorasi memberi garis bawah pada upaya untuk memulihkan basic value kepolisian untuk melindungi, mengayomi, serta melayani masyarakat. Karena dalam hal ini masyarakat telah memberikan sebagian kebebasannya kepada negara dengan suatu keyakinan bahwa negara akan menjaga keadilan. “Dengan demikian pada saat oknum polisi berlaku represif atau diskriminatif, maka kontrak sosial menjadi retak. Dan restorasi adalah cara memperbaikinya,” katanya.
Lebih dari itu, restorasi bukan untuk tujuan membentuk suatu unit baru saja atau merevisi suatu aturan tertentu. Namun lebih dari itu meliputi persoalan rekonstruksi dalam hal etos moral yang dimulai dari pendidikan di akademi kepolisian, penegakan disiplin yang konsisten, serta transparansi radikal. “Targetnya adalah membantuk polisi menjadi teladan moral di msyrakat. Bukan sekadar aparat yang menjalankan tugas berdasarkan undang-undangan, namun sosok yang dipercaya,” urainya.
Jika dilihat dari perspektif sosiologis, maka restorasi diungsikan untuk menata bangunan dalam hal kedekatan polisi dengan masayrakat. Dengan demikian program community policing yang pernah ada dapat diperluas dengan keterlibatan masyarakat sebagai bagian dari proses menjaga keamanan dan ketertiban.
Dilihat dari perspektif manajemen organisasi, maka reformasi institusi yang direncanakan justru membuat organisasi Polri menjadi semakin gemuk. “Jika ini terjadi maka respons institusi ini bisa menjadi lambat. Sebailknya dengan restorasi akan memberi underline pada perubahan core value dalam budaya organisasi, integritas, profesionalitas, dan pelayanan,” sebutnya.
Sedangkan jika dilihat dari perspektif kriminologi, maka kepatuhan masyarakat terhadap hukum akan dominan ditentukan oleh rasa keadilan procedural. “Ini yang akan lebih berdampak dan tidak hanya ancaman hukuman. Karena apabila polisi adil dan transparan, legitimasi hukum otomatis meningkat. Inilah restorasi yang diinginkan,” katanya.(id04)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.