
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Sejatinya, penyelesaian konflik agraria ini bisa dipadatkan menjadi tiga langkah sederhana.
Di Sumatera Timur, tanah bukan hanya hamparan hektaran luas yang bisa diukur dengan meter dan dibatasi dengan patok. Tanah adalah lembaran memori, jejak kaki sejarah, dan napas harga diri sebuah peradaban. Di situlah inti dari seruan Sultan Serdang, Tuanku Achmad Thalaa Syariful Alamsyah, ketika bicara tentang 5.873 hektar lahan eks HGU PTPN I Regional I di Deli Serdang.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Pertemuan antara Bupati Deli Serdang dan manajemen PTPN I dianggapnya sebagai pintu awal yang terbuka. Tapi pintu itu, kata Sultan, harus dilewati dengan hati-hati. Sebab di balik setiap bidang tanah, ada lapisan sejarah yang tak bisa dihapus dengan tanda tangan kontrak atau keputusan sepihak. Ada Acte van Concessie, arsip kolonial yang menjadi saksi awal pemanfaatan tanah, jauh sebelum republik berdiri. Ada pula keringat, adat, dan kisah para leluhur yang mengikatnya.
Sultan Serdang tidak menolak pembangunan. Ia justru mengulurkan tangan untuk berdialog. Ia mengajukan tiga kata kunci yang seharusnya menjadi fondasi penyelesaian: transparansi, inklusivitas, dan keberpihakan kepada masyarakat lokal.
Dalam terjemahan paling praktis, sejatinya, penyelesaian konflik ini bisa dipadatkan menjadi tiga langkah sederhana: duduk bersama dan sepakati data; tentukan bentuk penyelesaian yang adil; lalu kukuhkan kesepakatan secara hukum dan kelola bersama hasilnya.
Langkah pertama, duduk bersama. Kesultanan, pemerintah, masyarakat, dan korporasi membawa semua dokumen ke satu meja: grant sultan, sertifikat BPN, peta tanah. Di meja itu harus lahir peta final: mana tanah kesultanan, mana milik rakyat, dan mana yang bisa dikelola bersama.
Langkah kedua, sepakat bentuk penyelesaian. Tanah yang sah milik kesultanan harus dikembalikan dengan sertifikasi baru. Tanah yang sudah lama dihuni rakyat diberi kompensasi yang layak. Lahan bernilai komersial bisa dikelola lewat kemitraan usaha, dengan skema bagi hasil yang transparan.
Langkah ketiga, legalisasi dan pengelolaan. Kesepakatan harus diikat dengan akta notaris dan SK Gubernur, lalu dijalankan oleh Badan Pengelola Aset Kesultanan agar tidak terjadi klaim ulang.
Kesultanan Serdang tidak menutup pintu kompromi, tapi juga tidak akan membiarkan hak sejarahnya dipinggirkan. Kerapatan Adat sudah memberi sinyal keras: jika aspirasi diabaikan, Sultan sendiri siap memimpin aksi demo besar-besaran. Ini bukan ancaman biasa, tapi penegasan bahwa tanah adat adalah simbol kedaulatan lokal yang tidak bisa dinegosiasikan begitu saja.
Pemerintah daerah dan PTPN punya peluang emas untuk menjadikan kasus ini sebagai model penyelesaian konflik agraria yang beradab. Model di mana sejarah dan hukum berjalan seiring, dan di mana rakyat tidak menjadi korban, melainkan bagian dari solusi.
Sebab, tanah yang diselesaikan dengan adil akan menjadi tanah yang subur. Ia akan menumbuhkan bukan hanya tanaman atau bangunan, tetapi juga kepercayaan—modal paling mahal yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. Dan di Tanah Serdang, atau tanah kesultanan lain di Sumatera Utara, kepercayaan itu harus berdiri setegak sejarahnya yang dibangun di atas darah, air mata, bahkan nyawa para leluhurnya.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.