MEDAN (Waspada.id): Tentang Sekolah Garuda yang kini didirikan pemerintah dengan dana 200 Milyar jadi sorotan.
Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 menyampaikan hal itu pada Minggu (12/10).
Dipaparkannya, pemerintah tampaknya belum benar-benar belajar dari sejarah panjang proyek mercusuar pendidikan di negeri ini.
Di tengah masih banyaknya sekolah dasar yang atapnya bocor, laboratorium rusak, dan guru yang harus merogoh kocek sendiri untuk membeli spidol, pemerintah justru bersemangat menggelontorkan dana hingga ratusan miliar rupiah untuk membangun Sekolah Garuda, – sebuah model sekolah unggulan yang disebut-sebut akan menjadi pusat lahirnya “talenta masa depan”.
Alasannya tampak mulia: menghadirkan sekolah berkelas dunia di berbagai daerah untuk mencetak generasi unggul.
Namun di balik retorika futuristik itu, tersembunyi persoalan klasik yang tak pernah selesai: salah urus prioritas. Ketika anggaran pendidikan negara masih terbatas, membangun sekolah baru dengan biaya sekitar Rp200 miliar per unit bukan sekadar ambisi, tetapi potret kaburnya arah kebijakan publik.
Bukankah lebih rasional bila dana sebesar itu digunakan memperkuat sekolah yang sudah ada, -yang kondisinya nyata, menjerit, dan jauh dari kata layak?
Program Sekolah Garuda dan Sekolah Rakyat kini menimbulkan polemik luas. Pemerintah berdalih, sekolah-sekolah baru ini akan menjadi “pusat inovasi” dan laboratorium pendidikan modern.
Tetapi pengalaman menunjukkan, sekolah unggulan semacam itu sering berubah menjadi pulau eksklusif di tengah lautan ketimpangan. Ia menampung segelintir anak beruntung, sementara jutaan siswa lain tetap berjuang di ruang kelas yang pengap, minim fasilitas, dan kekurangan guru.
Kebijakan yang menciptakan dual-track system, -antara sekolah elitis dan sekolah biasa—berpotensi memperdalam jurang sosial yang selama ini sudah lebar.
Di satu sisi, anak-anak di Sekolah Garuda akan menikmati fasilitas laboratorium sains, jaringan digital, dan guru pilihan.
Di sisi lain, mayoritas siswa tetap bergulat dengan bangku reyot dan papan tulis kusam. Ini bukan sekadar persoalan keadilan distribusi sumber daya, tetapi juga persoalan filosofi: untuk siapa pendidikan nasional dibangun?
Pemerintah tampak terjebak dalam obsesi infrastruktur, -seolah kemajuan pendidikan bisa diukur dari megahnya bangunan dan peresmian proyek baru.
Padahal, kualitas pendidikan bergantung pada kapasitas guru, relevansi kurikulum, dan kesinambungan pembelajaran.
Gedung megah tanpa guru berkualitas hanyalah monumen diam yang tak melahirkan kecerdasan apa pun. Jika memang Sekolah Garuda dimaksudkan sebagai model, seharusnya ada mekanisme yang jelas untuk mentransfer praktik baiknya ke sekolah-sekolah lain.
Tetapi sejauh ini, tidak ada desain sistemik yang menjamin transfer itu terjadi. Tanpa integrasi dalam pembinaan guru, perbaikan kurikulum, dan pendampingan berkelanjutan, sekolah unggulan hanya akan menjadi etalase kebijakan, -cantik dilihat, tetapi miskin dampak.
Lagi-lagi, proyek mercusuar yang indah dalam ilusi, tetapi miskin dalam kreasi dan prestasi. Ia menegaskan bagaimana negara sering kali lebih sibuk membangun simbol daripada sistem; lebih senang menata rupa daripada menata mutu!
Sementara itu, ribuan sekolah rakyat menunggu sentuhan perbaikan sederhana: sanitasi layak, jaringan internet, atau buku pelajaran yang mutakhir.
Di situlah justru inti dari pembangunan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan. Peningkatan kualitas tidak selalu memerlukan proyek raksasa; sering kali, yang dibutuhkan hanyalah perhatian yang merata dan konsistensi.
Pendidikan yang sejati bukanlah panggung pameran untuk menunjukkan kemewahan negara, melainkan proses panjang membangun kapasitas manusia dari bawah.
Sebelum menambah deretan “sekolah unggulan” baru, pemerintah sebaiknya menoleh ke belakang: benahi dahulu fondasi sistem yang timpang.
Tanpa itu, Sekolah Garuda hanya akan menjadi simbol paradoks, — megah dari luar, tetapi kosong dari misi kemanusiaan yang seharusnya menjadi jiwa pendidikan Indonesia.(id.18)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.