Saatnya KKM Bangkit, Bukan “Dikubur” Hidup-hidup!

4 days ago 4

Beranda Opini Saatnya KKM Bangkit, Bukan “Dikubur” Hidup-hidup!

Opini

Saatnya KKM Bangkit, Bukan “Dikubur” Hidup-hidup!

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Oleh: Ramadan MS

KKM adalah gerakan moral; melawan praktik perampasan terselubung yang dilegalkan atas nama penyelamatan aset.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Di balik istilah “kredit macet” tersimpan kisah haru ribuan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang tak hanya bertarung dengan ketatnya dunia usaha tapi juga harus menghadapi ketidakadilan yang dibungkus rapi oleh sistem. Salah satu bentuknya adalah lelang aset secara semena-mena, bahkan di bawah harga pasar dengan aroma permainan mafia yang terang benderang.

Komunitas Kredit Macet (KKM) Medan, Sumatera Utara, lahir dari luka itu. Bukan untuk membela debitur nakal, tapi sebagai benteng terakhir para pengusaha yang tersungkur bukan karena niat buruk melainkan gara-gara realita usaha yang tak bersahabat. Omzet turun, pandemi menghantam, pasar lesu—sementara tagihan bank datang tanpa kompromi.

So Tjan Peng, pendiri KKM, tahu benar rasanya ketika rumah produksi dibungkam karena mesin-mesin produksi ikut “dilelang”. Harganya Jauh dari wajar. Di sinilah ia sadar ada sistem yang tak sehat, ada mafia lelang yang bermain di celah-celah keputusasaan itu.

Maka, KKM bukan cuma komunitas. Ia adalah gerakan moral. Sebuah perlawanan kolektif terhadap praktik perampasan terselubung yang dilegalkan atas nama penyelamatan aset.

Mafia lelang bukan mitos. Mereka eksis, bekerja dalam senyap, menanti korban baru dari reruntuhan bisnis yang gagal. Tanpa komunitas seperti KKM, pelaku UKM hanya bisa pasrah melihat jerih payahnya dilelang habis—sementara jalan untuk bangkit telah dipasangi ranjau hukum dan tekanan.

KKM hadir bukan untuk mengeluh, tapi mengedukasi. Bukan untuk menyalahkan, tapi menawarkan solusi. Salah satunya, melalui testimoni langsung dari mereka yang pernah terjatuh dan berhasil bangkit. Pendekatan ini menjadi bentuk solidaritas yang tak bisa dibeli, yaitu pengalaman nyata, bukan sekadar teori hukum atau retorika kosong.

Karena itu, gerakan ini harus lebih dari sekadar reaktif. Sudah saatnya KKM mengambil langkah strategis seperti membentuk “Alumni KM (Kredit Macet)”, sebagai wadah bagi mereka yang berhasil menyelesaikan konflik kredit macet. Mereka bisa menjadi mentor, penggerak moral, bahkan saksi hidup bahwa bangkit itu mungkin.

Konsolidasi hukum, menggandeng LBH, akademisi, dan media independen untuk membongkar praktik lelang tak sehat yang merugikan debitur.

Digitalisasi gerakan harus dilakukan dengan menguatkan media sosial dan kanal komunikasi untuk menjangkau pelaku UKM di seluruh Indonesia. Karena masalah ini bukan hanya milik Medan atau Sumut, tapi juga Bandung, Makassar, hingga Papua.

Advokasi regulasi, mendesak OJK dan BI untuk membuat pengawasan ketat pada proses lelang aset kredit macet agar transparan dan adil.

Sebagian orang mungkin akan meremehkan: “Ah, komunitas kredit macet?” Tapi justru di sinilah kekuatannya. Nama ini menggambarkan keberanian untuk menyebut luka dengan jujur, bukan menutupinya dengan istilah manis seperti “restrukturisasi”.

Saat mafia lelang bekerja dalam senyap, KKM bicara lantang. Dan itu sangat mengganggu mereka.

Maka, jika negara ini masih ingin berpihak pada pengusaha kecil dan menengah—bukan hanya konglomerat dan bankir elite—dengarkan dan seraplah suara-suara dari komunitas seperti KKM ini.

Karena mereka bukan sedang minta dikasihani. Mereka hanya ingin keadilan: agar saat jatuh, mereka tak langsung “dikubur” hidup-hidup oleh sistem yang lebih berpihak kepada konglomerasi bermental kolusi, korupsi, dan nepotisme. ***

Penulis adalah jurnalis senior

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |