Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah mengalami tekanan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada awal perdagangan hari ini, Selasa (8/4/2025).
Dilansir dari Refinitiv, rupiah dibuka pada level Rp16.850/US$ atau ambruk 1,78%. Posisi ini berbanding terbalik dengan penutupan perdagangan 27 Maret 2025 yang menguat 0,12% di posisi Rp16.555/US$.
Angka saat ini juga secara intraday merupakan yang terparah sepanjang sejarah bahkan melewati posisi 1998 yang secara intraday berada pada level Rp16.800/US$.
Rupiah Tak Kuasa Tahan Gempuran Eksternal
Sentimen yang paling dominan dan akhirnya menekan mata uang Garuda yakni karena faktor eksternal khususnya dari AS.
1. Tarif Trump Bikin Khawatir Pasar
Kebijakan tarif perdagangan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang terdampak cukup besar yakni 32%.
Secara umum, AS akan memberlakukan tarif bea impor dengan tarif dasar 10% pada semua impor ke AS dan bea masuk yang lebih tinggi pada puluhan negara lain.
Salah satu yang menjadi perhatian adalah posisi Indonesia yang merupakan penyumbang defisit perdagangan AS yang terkena dianggap telah mengenakan tarif sebesar 64% dan dikenai balasan oleh AS sebesar 32% atau setengahnya.
Ketidakpastian global dan ketidakjelasan dampak perang dagang diperkirakan akan membuat investor asing kabur dari pasar keuangan Indonesia dan membuat mata uang Garuda jatuh saat pasar dibuka kembali pada Selasa, 8 April 2025.
2. Suplai Dolar AS Berpotensi Menurun
Berdasarkan perhitungan Bahana Sekuritas, penetapan tarif dapat mengurangi surplus perdagangan bulanan Indonesia menjadi US$700-900 juta dari sekitar US$3 miliar saat ini.
Akibatnya, hal ini dapat memperluas defisit transaksi berjalan pada 2025 diproyeksikan menjadi 0,9% dari Produk Domestik Bruto/PDB (ada di bias atas kisaran target BI sebesar 0,5-1,3%).
Surplus yang menyempit juga akan berdampak kepada pasokan dolar AS di Tanah Air dan berujung pada tertekannya mata uang Garuda.
3. Potensi Resesi AS Berdampak ke Tanah Air
Ekonomi global berisiko jatuh ke dalam resesi akibat kebijakan tarif impor baru yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Peringatan ini disampaikan oleh JPMorgan dalam laporan teranyar mereka pada Kamis (3/4/2025).
JPMorgan menyampaikan bahwa risiko resesi global akan naik, dari perkiraan awal 40% menjadi 60% sebelum akhir tahun ini.
Sementara itu, S&P Global juga menaikkan kemungkinan "subjektif" resesi di AS menjadi antara 30% hingga 35%, dari 25% pada Maret lalu.
Beberapa lembaga riset lainnya termasuk Barclays, BofA Global Research, Deutsche Bank, RBC Capital Markets, dan UBS Global Wealth Management juga memperingatkan bahwa ekonomi AS menghadapi risiko resesi yang lebih tinggi tahun ini jika tarif baru yang diberlakukan oleh Trump tetap berlaku.
Barclays dan UBS memperingatkan bahwa ekonomi Amerika Serikat berisiko memasuki fase kontraksi, sementara analis lainnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi secara umum hanya akan berada di kisaran 0,1% hingga 1%.
Efek resesi Amerika Serikat terhadap Indonesia dapat dirasakan melalui berbagai saluran ekonomi, meskipun dampaknya bisa lebih terbatas dibanding negara-negara lain yang sangat bergantung pada ekspor ke AS.
Salah satunya yakni potensi investor global yang cenderung menarik dana dari negara berkembang saat terjadi krisis di negara maju. Ini bisa menyebabkan arus modal keluar dari Indonesia dan melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)