Premanisme

5 days ago 4

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Premanisme bukanlah sekadar pelanggaran hukum atau perilaku kriminal semata, melainkan fenomena sosial yang mengungkapkan secara lugas hubungan kompleks antara negara, kekuasaan, dan kekerasan

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Artikel ini menganalisis fenomena premanisme sebagai lebih dari sekadar masalah kriminalitas; ia dilihat sebagai produk dari kekuasaan negara yang bersifat ekstraktif, represif, dan dijalankan secara informal. Dengan mengacu pada teori negara ekstraktif (Acemoglu & Robinson, 2012), teori kekuasaan represif (Foucault, 1977), serta konsep informalitas kekuasaan (Gupta, 1995), artikel ini menggali akar struktural premanisme yang muncul di berbagai negara dan era.

Dalam kerangka teori yang dikemukakan oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam Why Nations Fail (2012), negara yang gagal dapat ditandai dengan adanya institusi politik dan ekonomi yang bersifat ekstraktif, yaitu institusi yang berfungsi untuk memanfaatkan sumber daya negara demi keuntungan segelintir elite, tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Dalam konteks ini, premanisme berperan lebih dari sekedar penyumbang produktif masalah sosial atau kriminalitas, melainkan sebagai bagian integral dari infrastruktur kekuasaan yang mendukung sistem institusi ekstraktif tersebut.

Premanisme berfungsi sebagai kekuatan informal yang menopang elite politik dalam menjalankan kekuasaan secara tidak sah. Mereka tidak hanya bertindak sebagai pelaku kriminal, tetapi juga seringkali menjadi instrumen yang digunakan negara untuk menekan oposisi, mengendalikan wilayah, atau bahkan menjaga stabilitas sosial yang semu. Dalam banyak kasus, negara yang memiliki institusi ekstraktif membutuhkan kekuatan-kekuatan informal ini untuk menjalankan praktik-praktik kekuasaan yang tidak tercatat dalam hukum resmi, seperti pemerasan, kekerasan terhadap kelompok oposisi, atau pengamanan ilegal.

Di sinilah premanisme menjadi bagian penting dari hubungan patron-klien antara elite politik dengan kekuatan informal. Para preman menerima imbalan atau perlindungan dari para elite sebagai bagian dari jaringan kekuasaan yang lebih luas. Mereka memainkan peran yang vital dalam menjaga ketertiban yang tampaknya stabil, tetapi sebenarnya menyembunyikan ketidakadilan struktural yang lebih besar. Dalam banyak situasi, mereka digunakan oleh elite untuk mengendalikan kawasan tertentu, memonitor ancaman terhadap kekuasaan, dan menjalankan tindakan represif terhadap masyarakat yang menantang status quo.

Dalam negara ekstraktif, premanisme bukan hanya mencerminkan kegagalan penegakan hukum atau keterbatasan kapasitas negara untuk menjamin keadilan. Lebih dalam lagi, premanisme menunjukkan bagaimana struktur kekuasaan informal secara efektif melanggengkan ketimpangan dan ketidakadilan, yang di dalamnya kekuasaan politik dan ekonomi yang terkonsentrasi di tangan elite bergantung pada aliansi dengan kekuatan-kekuatan kekerasan yang berada di luar kontrol formal negara. Dengan demikian, premanisme berfungsi sebagai penguat dari sistem yang meminggirkan mayoritas masyarakat dan hanya menguntungkan segelintir pihak dalam lingkaran kekuasaan ekstraktif tersebut.

Dalam Discipline and Punish (1977), Michel Foucault mengemukakan bahwa kekuasaan modern lebih sering terwujud dalam bentuk yang subtel, bukan melalui kekerasan terbuka atau fisik, melainkan melalui mekanisme disipliner yang mengatur perilaku dan tubuh individu, seperti pengawasan, penataan ruang, dan kontrol sosial. Foucault menunjukkan bagaimana sistem penjara, misalnya, berfungsi untuk memanipulasi tubuh dan membentuk individu agar sesuai dengan norma sosial yang diinginkan. Dalam konteks negara-negara modern, kekuasaan tersebut beroperasi di dalam dan melalui institusi-institusi yang mengontrol perilaku individu, seperti hukum, sistem pendidikan, atau bahkan rumah sakit.

Namun, di banyak negara Global Selatan, termasuk Indonesia, mekanisme formal tersebut seringkali terbatas atau tidak efektif. Ketimpangan dalam birokrasi, lemahnya penegakan hukum, serta terbatasnya akses terhadap keadilan seringkali mengarah pada ketidakmampuan negara untuk menjalankan kekuasaan secara efektif melalui saluran formal. Dalam kondisi seperti ini, negara mencari saluran alternatif untuk menjaga kekuasaan dan mengelola ketegangan sosial. Salah satu saluran tersebut adalah penggunaan kekerasan informal yang dilakukan atas nama negara oleh kekuatan di luar sistem hukum resmi, seperti premanisme.

Premanisme dalam konteks ini berfungsi sebagai perpanjangan tangan kekuasaan negara dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang tidak bisa ditangani dengan cara formal. Mereka beroperasi di ruang-ruang yang tidak dijangkau oleh hukum atau di luar kontrol lembaga negara, seperti di pasar gelap, kawasan kumuh, atau daerah-daerah yang minim pengawasan. Premanisme digunakan untuk menekan ketegangan sosial, mengelola kerusuhan, atau menghentikan protes yang mungkin merusak stabilitas negara. Dalam banyak kasus, preman menjadi alat untuk “menyelesaikan” konflik dengan cara kekerasan yang tidak terkontrol oleh hukum, namun tetap dalam kerangka yang mendukung kekuasaan negara.

Premanisme berfungsi seperti sebuah “kekuasaan kedua” yang dioperasikan di luar hukum yang berlaku, tetapi tetap berhubungan sangat erat dengan kepentingan politik yang lebih besar. Negara yang mengalami kelemahan dalam menerapkan hukum formal menggunakan premanisme untuk menjaga ketertiban, yang sebenarnya lebih bersifat represif daripada membangun sistem sosial yang adil. Dengan demikian, penggunaan kekerasan informal melalui premanisme menggambarkan bagaimana negara-negara dengan struktur kekuasaan yang lemah cenderung mengandalkan praktik-praktik yang tidak sah dan tidak terlihat oleh hukum untuk mempertahankan kontrol dan melanggengkan kekuasaan.

Akhil Gupta, dalam artikelnya Blurred Boundaries (1995), menunjukkan bagaimana batas antara negara dan masyarakat menjadi kabur ketika kekuasaan informal dan korupsi meresap ke dalam kehidupan sehari-hari. Negara tidak lagi menjadi entitas tunggal yang stabil, tetapi menjadi konstruksi yang “diimajinasikan” melalui interaksi antara aparat dan masyarakat. Premanisme mencerminkan kaburnya batas tersebut, karena preman bisa bertindak sebagai pelaku kriminal sekaligus perpanjangan tangan negara dalam beberapa konteks. Dalam kondisi ini, negara beroperasi lebih sebagai jaringan kekuasaan yang penuh negosiasi dan kompromi daripada sebagai institusi yang rasional dan impersonal.

Dalam konteks negara-negara yang menggunakan kekerasan ekstralegal, seperti yang dilaporkan oleh Human Rights Watch (2017) mengenai perang melawan narkoba di Filipina, negara secara aktif menggunakan preman untuk melakukan kekerasan di luar proses hukum. Fenomena ini menunjukkan bahwa keamanan publik tidak selalu dijaga melalui supremasi hukum, tetapi bisa menjadi dalih untuk melanggengkan kekerasan informal yang dilembagakan. Premanisme dalam konteks ini bukan hanya menjadi gejala marginal, tetapi bagian dari infrastruktur kekuasaan negara.

Carolyn Nordstrom dalam Shadows of War (2004) menggambarkan bagaimana kekerasan, terutama yang terjadi dalam kondisi perang atau ketidakstabilan, dapat menciptakan ekonomi bayangan yang tumbuh di luar batas-batas institusi negara. Dalam konteks ini, kekerasan tidak hanya diartikan sebagai fenomena fisik, tetapi juga sebagai dinamika sosial dan ekonomi yang mengubah cara masyarakat berinteraksi, bekerja, dan bertahan hidup.

Premanisme berperan penting dalam struktur ekonomi kekerasan tersebut. Preman, yang sering dipandang sebagai elemen ilegal atau marginal dalam masyarakat, ternyata berfungsi lebih jauh daripada sekedar menjadi alat represif negara. Mereka berperan dalam pengaturan aliran barang, uang, dan informasi dalam ruang abu-abu yang berada antara legal dan ilegal. Sebagai aktor dalam ekonomi bayangan, mereka mengelola dan mengatur berbagai aktivitas yang mungkin tidak diatur atau tidak diakui oleh negara, namun tetap berinteraksi dengan sistem ekonomi yang lebih besar.

Fenomena ini menunjukkan bahwa premanisme dapat berfungsi sebagai mekanisme yang memfasilitasi keberlanjutan ekonomi di tengah kondisi krisis atau kekerasan. Mereka beroperasi dalam ruang yang tidak terstruktur, tetapi tetap terhubung dengan kepentingan politik dan ekonomi yang lebih luas. Dalam beberapa kasus, mereka juga menjadi bagian dari jaringan kekuasaan yang lebih besar, yang pada gilirannya memengaruhi bagaimana negara atau masyarakat melihat kekerasan dan bagaimana mereka mengatur serta menanggapi permasalahan tersebut.

Ini juga mengarah pada pemahaman yang lebih kompleks mengenai demokratisasi, yang di dalamnya pengaruh kekerasan dan ekonomi bayangan mempengaruhi secara efektif proses dan kualitas demokrasi di negara-negara yang sedang berkembang atau dalam konflik. Sebagai contoh, di negara-negara yang mengalami perang atau ketidakstabilan sosial, kelompok-kelompok yang terlibat dalam ekonomi bayangan ini dapat memengaruhi pemilihan politik, keputusan pemerintah, atau bahkan agenda reformasi hukum dan kebijakan.

Dengan demikian, konsep ekonomi kekerasan dan premanisme dalam konteks ini menunjukkan bahwa demokratisasi bukan hanya tentang penciptaan institusi politik yang lebih terbuka atau adil, tetapi juga tentang menangani dampak dari ekonomi bayangan dan kekerasan yang tersembunyi dalam struktur sosial dan ekonomi negara.

Premanisme bukanlah sekadar pelanggaran hukum atau perilaku kriminal semata, melainkan fenomena sosial yang mengungkapkan secara lugas hubungan kompleks antara negara, kekuasaan, dan kekerasan. Pemahaman premanisme yang lebih luas ini menunjukkan bahwa pemberantasannya tidak cukup hanya melalui pendekatan hukum, tetapi juga harus melibatkan reformasi institusional untuk memutus ketergantungan elite pada kekuasaan informal. Premanisme, pada akhirnya, adalah cerminan dari kekuasaan negara yang dijalankan secara ekstraktif, represif, dan sering kali informal, yang di dalamnya kekerasan dan ketidakadilan menjadi bagian dari logika kekuasaan itu sendiri.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |