Oleh M. Yamin
Sebaliknya, provinsi dengan basis ekonomi pertanian atau perikanan mungkin memiliki pertumbuhan lebih rendah secara angka, tetapi memberikan dampak langsung pada penghidupan banyak keluarga
Fenomena yang kini ramai dibicarakan para ekonom tanah air adalah soal angka pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah dengan percaya diri merilis data bahwa pertumbuhan ekonomi nasional berada di kisaran 5% per tahun. Angka ini terdengar mengesankan, apalagi di tengah keteidakpastian global, perlambatan ekonomi China dan gejolak geopolitik yang mengganggu rantai pasok dunia. Namun, sejumlah pengamat mempertanyakan, apakah angka tersebut benar-benar mencerminkan kesejahteraan rakyat, atau sekedar pencapaian makro yang tak terasa di meja makan masyarakat?
Ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad, menyatakan keterkejutannya, “Makanya kita kaget tumbuh di atas lima persen,” ujarnya. Perkiraan awal, bahkan dari kementerian Keuangan, hanya menyebut angka di bawah 5%. Pertumbuhan ekonomi secara teknis diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB), nilai total barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara. Jika angka pertumbuhan nai, artinya produksi barang dan jasa meningkat. Secara teori, hal itu mestinya diikuti oleh naiknya pendapatan masyarakat dan membaiknya kualitas hidup. Namun, realitas di lapangan sering sekali berkata lain.
Pertumbuhan 5% tidak otomatis membagi kue ekonomi menjadi merata. Sejumlah penilitian menunjukkan bahwa pertumbuhan yang terkonsentrasi di sektor-sektor tertentu, misalnya tambang, perkebunan besar, atau infrastruktur besar-besaran, sering sekali hanya menguntungkan kelompok tertentu yang memiliki modal besar. Sementara itu, sektor UMKM yang menyerap 97% tenaga kerja justeru bergerak lambat karena terbatasnya akses modal, digitalisasi yang belum merata, dan biaya logistik yang tinggi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa Gini ratio Indonesia, yang mengukur kesenjangan, masih berada di angka 0,38. Artinya, jurang antara kelompok kaya dan miskin belum jua mennyempit. Pertumbuhan ekonomi yang sehat mestinya bukan hanya soal “seberapa besar” angka persentasenya, tetapi “siapa saja” yang menikmati pertumbuhan itu.
Provinsi Bertumbuh
Jika kita melihat ke tingkat provinsi, gambaran menjadi lebih kompleks. Misalnya, daerah yang kaya sumber daya alam seperti Kalimantan Timur atau Papua memiliki angka pertumbuhan tinggi karena ledakan investasi pertambangan dan migas. Namun, sektor ini padat modal, bukan padat karya, sehingga tidak banyak menyerap tenaga kerja lokal.
Sebaliknya, provinsi dengan basis ekonomi pertanian atau perikanan mungkin memiliki perutmbuhan lebih rendah secara angka, tetapi memberikan dampak langsung pada penghidupan banyak keluarga. Aceh, misalnya, tumbuh moderat tetapi menghadapi tantangan struktural seperti infrastruktur distribusi yang belum merata, ketergantunga pada dana transfer pusat, dan lemahnya hilirisasi produk lokal.
Fakta ini memperkuat pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional hanyalah agregat dari cerita-cerita yang berbeda di tiap provinsi. Sebuah angka rata-rata bisa menutupi ketimpangan yang nyata. Ibarat nilai ujian siswa dalam satu kelas yang berisi 20 siswa, dimana 3 siswa memperoleh nilai 100, 2 siswa mendapat nilai 80, sedangkan 5 sisanya memperoleh nilai 30. Total nilai dibagi jumlah siswa sehingga diperoleh nilai rata-rata kelas 61. Angka 61 ini dikategorikan di atas rata-rata; siswa dalam kelas ini tidak ada yang tampak memiliki nilai buruk.
Padahal sebenarnya, jika dilihat nilai masing-masing terdapat 5 siswa bernilai 30, dan hanya 3 siswa yang memiliki nilai 100. Artinya kontribusi siswa yang mendapatkan nilai 100 ini yang mendongkrak nilai kelas sehingga memperoleh rata-rata 61. Angka ini tentu bukan menggambarkan realitas nilai siswa-siswi yang sebenarya, dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi belum tentu mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat secara riil.
Makna Di Balik 5%
Untuk masyarakat awam, angka 5% sering terdengar seperti kabar baik. Namun, mari kita terjemahkan maknanya. Pertumbuhan sebesar itu berarti total nilai ekonomi Indonesia bertambah, tetapi tidak menjamin harga bahan pokok menjadi stabil, ongkos hidup menurun, atau daya beli naik. Bahkan, jika pertumbuhan didorong oleh kenaikan harga komoditas ekspor, masyarakat lokal bisa saja tidak merasakan dampaknya karena keuntungan lari ke luar daerah atau luar negeri.
Makna lain, pertumbuhan 5% di negara berkembang seperti Indonesia tidak cukup untuk menyerap seluruh tambahan angkatan kerja baru yang mencapai lebih kurang 2 juta orang per tahun. Dengan kata lain, angka ini belum tentu menekan penganggguran secara signifikan. Para ekonomi memperkirakan, untuk menciptakan efek sosial yang nyata, pertumbuhan harus berada di kisaran 6-7% dengan kualtas pertumbuhan yang inklusif.
Melek Data
Masyarakat tidak boleh hanya menjadi penonton yang menerima begitu saja angka-angka ekonomi. Literasi ekonomi perlu diperkuat agar publik bisa memahami apa arti angka tersebut bagi kehidupan sehari-hari. Apakah harga barang kebutuhan pokok menjadi lebih terjangkau? Apakah layanan publik jadi semakin membaik?
Pertanyaan-pertanyaan itu penting, karena sering kali narasi keberhasilan ekonomi digunakan untuk legitimasi politik tanpa dibarengi dengan perbaikan kesejahteraan yang merata. Ke depan, tantangan bagi pemerintah bukan sekedar menjaga pertumbuhan di angka 5% atau lebih, melainkan memastikan pertumbuhan itu inklusif, melibatkan UMKM, memperkuat sektor pertanian dan indsutri pengolahan, serta mengurangi ketimpangan antarwilayah. Perlu ada kebijakan afirmatif untuk provinsi-provinsi yang tertinggal agar pembangunan tidak terkonsentrasi di Jawa dan kota-kota besar saja.
Selain itu, kebijakan makro harus berjalan seiring dengan perlindungan sosial yang efektif. Program bantuan sosial, subsidi tepat sasaran, dan peningkatan kualitas pendidikan serta kesehatan adalah pondasi agar masyarakat mampu berpartisipasi dalam mesin pertumbuhan ekonomi.
Menggugat Narasi Tunggal
Akhirnya, kita perlu berhati-hati terhadap narasi tunggal yang menganggap pertumbuhan ekonomi tinggi sebagai tanda kesejahteraan yang merata. Angka hanyalah alat ukur; yang terpenting adalah bagaimana angka itu diterjemahkan ke dalam kebijakan yang menyentuh kehidupan nyata rakyat.
Memahami makna di balik angka adalah bentuk kewaspadaan. Sebab, ekonomi bukan hanya miliki para ekonom dan pejabat, tetapi milik semua orang yang setiap hari berjuang memenuhi kebutuhan, membayar biaya sekolah anak, dan menjaga dapur tetap berasap. Jika pertumbuhan ekonomi tidak membuat rakyat lebih sejahtera, maka angka itu hanyalah statistik yang indah di atas kertas, namun perut rakyat tetap lah kosong.
Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Aceh
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.