Pergub 25 Dan Kebijakan Bobby Yang Ugal-ugalan

1 month ago 16
Editorial

Pergub 25 Dan Kebijakan Bobby Yang Ugal-ugalan

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Tidak semua pemborosan adalah korupsi. Tapi hampir semua korupsi dimulai dari pemborosan yang kompromistis.

Di Sumatera Utara hari ini, kita sedang menyaksikan transformasi dari tata kelola menjadi tata kelicikan—berkedok jargon perubahan, disetir oleh kepentingan, dan dibiarkan tanpa pengawasan ketat.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Padahal, ketika Bobby Nasution dilantik sebagai Gubernur Sumatera Utara pada Februari 2025, publik berharap inilah saatnya Sumatera Utara memiliki pemimpin muda yang berintegritas dan progresif—meski tak sedikit yang mengumpat di belakang dan ruang-ruang perdebatan. Konon, belakangan harapan itu berubah pepesan kosong setelah bertubi-tubi orang dekat di lingkaran satu Bobby terantuk berbagai kasus korupsi.

Ironinya, tak jera dan tak berhenti pula sampai di situ. Teranyar, dan tengah menjadi isu seksi di ruang publik, adalah perihal kebijakan anggaran belanja modal jalan di Dinas PUPR yang melonjak drastis dan tertangkap penuh drama. Lihat saja, dari semula hanya Rp341,7 miliar semasa Pj Gubernur Agus Fatoni, berubah menjadi Rp944,5 miliar lewat Pergub 16 Tahun 2025, hingga puncaknya menyentuh angka Rp1,09 triliun berdasarkan Pergub 25. Sebuah lonjakan yang bukan hanya tidak masuk akal, melainkan juga secara prosedural sangat mencurigakan.

Pertanyaannya bukan tertuju kepada: mengapa anggarannya naik? Namun lebih fundamental: bagaimana mekanisme sebesar ini bisa lolos begitu saja tanpa evaluasi mendalam? Ke mana TAPD? Siapa sesungguhnya “tim asistensi” yang tiba-tiba mengambil alih peran krusial dalam penyusunan APBD tanpa legalitas yang jelas? Dan mengapa DPRD Sumut—yang konstitusionalnya menjadi penjaga pagar—justru memilih diam seperti kucing disiram air?

Fenomena ini menyimpan preseden yang membahayakan. Ketika peran legislatif lumpuh oleh kompromi, eksekutif leluasa membelokkan arah kebijakan tanpa kontrol. Ketika hukum sibuk mencari lampu kilat, bukan menelusuri lorong gelap transaksi anggaran, maka demokrasi lokal kita bukan hanya diselewengkan—melainkan sedang dihancurkan dari dalam.

Dan ini bukan hal baru. Pada 2017, KPK mengungkap skandal RAPBD fiktif di Riau yang dirancang tanpa pembahasan sah demi mengakomodasi proyek titipan elite. Di Papua Barat tahun 2020, lonjakan anggaran pembangunan jalan hingga ratusan miliar rupiah ditemukan tidak melalui proses yang transparan. Polanya serupa: DPRD yang permisif, kepala daerah yang manipulatif, dan publik yang dikaburkan oleh retorika.

Melihat deretan kejanggalan ini, solusi tambal sulam jelas tidak cukup. Dibutuhkan pembersihan menyeluruh. Audit forensik APBD Sumut 2025 harus segera dilakukan. Semua proses pengambilan keputusan anggaran wajib dibuka ke publik melalui dashboard digital yang dapat diawasi oleh siapa saja, kapan saja. Transparansi tidak boleh lagi menjadi pilihan politik, tetapi menjadi syarat etis kekuasaan.

Lebih dari itu, reformasi DPRD Sumut adalah keniscayaan. Kita butuh representasi politik yang lahir dari nurani publik, bukan dari rahim oligarki dan koneksi keluarga. Badan Anggaran DPRD mesti dikawal ketat oleh unsur masyarakat sipil yang independen dan berani menolak kooptasi.

Dan jika benar Bobby Nasution berada dalam lingkar kendali penuh atas penambahan anggaran tanpa dasar hukum yang kuat, maka KPK tidak bisa lagi berlagak seperti “kura-kura dalam perahu”. Apalagi ketika Kepala Dinas PUPR Topan Ginting dan empat pejabat lain telah lebih dulu terjerat OTT. Rantai korupsi tak akan pernah putus jika hanya memotong simpul kecil, sementara simpul besarnya dibiarkan gentayangan menebar kuasa.

Kita fasih menyebut ini negara demokrasi. Tapi demokrasi macam apa yang membiarkan anggaran digeser semau selera, dewan menjadi stempel pengesahan, dan rakyat hanya menerima sisa reruntuhan keputusan?

Bila hari ini kita memilih bungkam, maka jangan terkejut jika di masa depan anak-anak kita hidup dalam provinsi yang kekayaannya habis bukan karena musibah, melainkan karena terlalu banyak tikus yang pandai menyaru menjadi pemimpin—yang kebijakannya seperti pembalap liar; serampang dan ugal-ugalan!

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |