Oleh Dr Putri Rumondang Siagian, SH., M.H.
Kasus suap yang menyeret para “Yang Mulia” menjadi titik hitam sejarah kehakiman Indonesia. Ia bukan sekadar catatan kriminal, tetapi cermin buram sistem pengawasan internal lemah, dan integritas pribadi belum menjadi fondasi dalam dunia hukum
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Di tengah hiruk pikuk peradaban hukum yang menjanjikan keadilan sebagai mahkota tertinggi negara hukum sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, terdengar riak kabar yang merobek nurani, menyisakan kepingan puing-puing rasa kepercayaan terhadap para “wakil tuhan” di bumi. Di atas singgasana keadilan, palu hakim seharusnya mengetuk dengan gema kebenaran dan mengusir kebatilan, membela yang lemah, dan mengabadikan nurani hukum yang tak boleh goyah oleh godaan duniawi. Namun, kini gema itu parau, tergantikan oleh bisikan transaksional yang menodai jubah keadilan.
Palu hakim, simbol keadilan yang seharusnya mengetuk atas nama kebenaran, kini tercoreng oleh noda suap yang mencederai martabat peradilan. Dugaan suap melibatkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan wakil ketua pengadilan negeri Jakarta pusat yang seyogianya menjadi garda tertinggi penjaga moral peradilan di ibu kota.Tidak tanggung-tanggung, nominalnya menyentuh angka yang membuat nurani terguncang yakni berkisar Rp60 miliar. Suap itu bukan hanya angka, melainkan simbol jatuhnya wibawa dan rasa malu yang menampar wajah hukum kita.
Kasus ini tak berdiri sendiri. Seperti serpihan kaca yang menyebar, ia menyibak tabir kelam praktik mafia peradilan. Sebelumnya tiga hakim dari Pengadilan Negeri Surabaya terseret dalam pusaran kasus serupa. Tiga hakim yang dengan palunya menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa yang kasusnya pada saat itu menarik perhatian publik. “Bau amis” putusan bebas di Bulan Juli 2024 menjadi pemicu. Tak hanya itu, sejumlah oknum di Mahkamah Agung atau MA. Sebut saja eks Sekretaris MA periode 2011-2016 Nurhadi dan bekas Sekretaris MA era 2020-2023 Hasbi Hasan. Terkini, julukan itu ancang-ancang disematkan kepada Zarof Ricar, juga bekas pegawai MA menambah coretan panjang palu yang tergadai. Palu mereka yang mestinya menyuarakan kepastian hukum, justru menjadi alat untuk merancang putusan yang dijahit dari benang emas sogokan.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dikutip pada laman situs antikorupsi.org, sejak tahun 2011 hingga tahun 2023, setidaknya terdapat 26 hakim yang terbukti melakukan korupsi. Jumlah tersebut akan bertambah seiring dengan kejadian beberapa waktu terakhir. Para “wakil tuhan di bumi” tersebut bukan hanya melanggar hukum, tetapi mengkhianati sumpah suci di bawah langit keadilan. Kepercayaan publik, seperti kaca retak, sulit diperbaiki meski dilem kembali dengan janji reformasi. Betapa getir menyaksikan palu keadilan yang seharusnya menjadi bayang-bayang hukum Tuhan, kini tergadai oleh kepentingan sesaat. Ia tidak lagi berdiri sebagai simbol ketegasan moral, melainkan menjadi saksi bisu “transaksional” atas sebuah putusan. Palu keadilan simbol luhur dari kebenaran dan integritas ternyata tak lagi mengetuk atas nama kepastian hukum, melainkan atas nama kepentingan dan keuntungan.
Singgasana keadilan, yang semestinya dihuni oleh mereka yang berhati jernih dan berpikiran jernih, kini tercoreng oleh noda kompromi dan pengkhianatan. Hakim, sebagai penjaga gerbang keadilan, bukan hanya sosok yang memutus perkara, melainkan penjaga moral tertinggi dalam sistem peradilan. Namun ketika jabatan menjadi komoditas dan suara keadilan diperjualbelikan, maka palu keadilan tak lagi sakral ia tergadai, tercerabut dari nilai-nilai dasarnya.
Kejadian yang terjadi beberapa waktu terakhir seakan menyisakan keyakinan kebenaran sejarah terulang akan tulisan oleh Sebastiaan Pompe tentang “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung.” Riset yang ciamik dari Pompe ini menjabarkan secara kritis terhadap Mahkamah Agung Republik Indonesia pasca Orde Baru, yang memperlihatkan bagaimana institusi yudikatif tertinggi itu mengalami kemerosotan dalam hal integritas, independensi, dan akuntabilitas. Berdasarkan hasil riset empiris yang mendalam, Pompe menyimpulkan bahwa Mahkamah Agung tidak runtuh karena ketiadaan aturan, melainkan karena rusaknya moralitas di dalam sistem dan lemahnya kemauan institusional untuk menegakkan etika serta supremasi hukum.
Pompe menyoroti bagaimana praktik nepotisme, kolusi, dan korupsi merasuki tubuh lembaga ini, menjadikannya rawan intervensi politik dan kepentingan pribadi. Mahkamah Agung, alih-alih menjadi benteng terakhir keadilan, justru tampak sebagai bagian dari masalah sistemik dalam tubuh peradilan nasional. Ia mengkritik keras bagaimana struktur birokrasi, pembagian kekuasaan, serta pola rekrutmen dan promosi hakim ikut berkontribusi dalam memperkuat budaya patronase dan memperlemah profesionalisme. Buku ini mengingatkan bahwa reformasi kelembagaan semata tidak cukup tanpa dibarengi dengan transformasi budaya hukum dan etika profesi. Kekuatan Mahkamah Agung tidak terletak pada kedudukannya yang tinggi secara konstitusional, melainkan pada kepercayaan publik yang hanya bisa diperoleh melalui integritas, transparansi, dan keberanian untuk mandiri dari segala bentuk tekanan kekuasaan.
Secara keseluruhan, Pompe mengajak pembaca untuk merenungkan bahwa kejatuhan lembaga peradilan bukanlah hasil dari kekuatan eksternal semata, tetapi dari pengkhianatan internal terhadap nilai-nilai luhur hukum itu sendiri. Dengan demikian, buku ini tidak hanya menjadi kritik, tetapi juga panggilan moral untuk membenahi sistem peradilan melalui pendekatan yang lebih menyentuh dimensi etik dan keadaban publik.
Kasus suap yang menyeret para “Yang Mulia” menjadi titik hitam dalam sejarah kehakiman Indonesia. Ia bukan sekadar catatan kriminal, tetapi cermin buram betapa sistem pengawasan internal masih lemah, dan integritas pribadi belum sepenuhnya menjadi fondasi dalam dunia hukum. Dalam konteks ini, keadilan bukan lagi suara yang lantang disuarakan dari balik meja hijau, melainkan gema yang teredam oleh amplop-amplop tak kasat mata. Ketika moralitas tersingkir dari relasi kekuasaan, maka hukum hanya menjadi panggung sandiwara, tempat putusan dibacakan bukan berdasarkan fakta dan norma, tetapi oleh transaksi dan tekanan.
Tatkala palu hakim simbol suci pengayom keadilan bergetar karena ulah sejumlah oknum, maka yang tercabik bukan hanya hukum tertulis, tapi juga ruh kepercayaan publik yang lama dipupuk oleh harapan. Kasus suap dalam beberapa waktu terakhir menandai bab kelam dalam lembaran peradilan kita. Palu itu tergadai bukan karena tak bernilai, melainkan karena nilainya disamakan dengan tawaran duniawi yang menggiurkan. Keberpihakan terhadap kebenaran dipertukarkan dengan gemuruh kepentingan sesaat.
Institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir pencari keadilan kini justru menjadi bagian dari labirin korupsi. Ini bukan sekadar persoalan moral individu, melainkan sinyal kritis atas sistem pengawasan yang rapuh, budaya hukum yang permisif, dan minimnya keteladanan di tubuh lembaga peradilan. Keadilan, yang semestinya berdiri tegak di singgasananya, kini goyah oleh ulah pengkhianat yang menyelundupkan kesepakatan gelap dalam ruang sidang.
“Palu yang tergadai pada singgasana keadilan” adalah metafora dari tragedi hukum kontemporer kita. Ia menjadi ajakan reflektif: Sejauh mana kita, sebagai bangsa, masih percaya bahwa pengadilan adalah tempat terakhir rakyat menggantungkan harapan akan keadilan?
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum USU
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.