Pengantar Redaksi
Sengketa lahan di Dusun IV, Desa Kota Galuh, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, menjadi sorotan serius dalam beberapa tahun terakhir. Tim Waspada.id secara konsisten mengikuti dan menelusuri dinamika kasus ini yang kian hari makin kompleks, terutama setelah muncul berbagai klaim kepemilikan dari sejumlah pihak.
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Salah satu klaim menyebut bahwa lahan tersebut merupakan Tanah Wakaf yang dikelola sebuah yayasan anak yatim di Kota Lubuk Pakam, Deli Serdang. Namun di tengah pusaran konflik agraria ini, muncul nama Nurhayati, seorang perempuan 64 tahun yang mengaku sebagai pemilik sah dan telah memperjuangkan haknya melalui jalur hukum, bahkan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Siapa Nurhayati, dan apa yang mendorongnya untuk terus memperjuangkan klaimnya? Dalam wawancara eksklusif bersama Waspada.id, Nurhayati—yang pernah bermukim cukup lama di Prancis—membuka suara. Ia mengisahkan latar belakang, keyakinan, dan langkah-langkah hukum yang telah ditempuhnya demi mempertahankan tanah yang diyakininya sebagai hak waris “darah biru” Sultan Serdang.
Balada Tanah Dusun IV
Warga Dusun IV memasang spanduk Walamata.
Di Dusun IV, Desa Kota Galuh, Serdang Bedagai, Sumatera Utara, sejarah tampaknya sedang mengulang dirinya dalam wujud konflik agraria yang pelik. Sekitar 120 kepala keluarga etnis Tionghoa yang telah bermukim turun-temurun hampir seabad di atas tanah yang mereka anggap sebagai “tumpah darah”, kini menghadapi kenyataan pahit: rumah, ladang, dan kenangan mereka terancam sirna karena selembar surat tua yang tertulis hampir seabad lalu—Grant Sultan Nomor 102 tahun 1924.
Beberapa warga yang bermukim di situ ada yang mengakui lahan tersebut sebagai Tanah Wakaf milik sebuah Yayasan Anak Yatim. Alasan warga, mereka dahulu setiap tahun menyerahkan sebagian hasil buminya berupa padi dan sayuran. Bahkan ada yang menyerahkan uang sebagai “upeti” atau “uang sewa.” Realita itu juga didengungkan oleh Kepala Desa Kota Galuh, Bima Surya Jaya.
Dalam catatan Waspada.id, merujuk surat Kepala Desa Kota Galuh, sedikitnya ada empat pihak yang pernah mengklaim lahan itu sebagai milik mereka, antara lain Nurhayati, Tuan Sulaiman, Kenaziran Harta Wakaf T. Darwisyah dan Yayasan Ahli Waris T. Darwisyah.
Syarifuddin Siba
Tokoh Melayu, Syarifuddin Siba, dalam bincang-bincang dengan Waspada.id, Kamis (7/8/2025), menyebutkan ia sangat meyakini lahan di Dusun IV Kota Galuh itu sebagai Tanah Wakaf. “Cerita dari nenek-nenek kita dulu, itu sudah tau kalau lahan di Dusun IV itu tanah wakaf. Itu gak bisa (dialihkan) ke pihak lain, jelas itu tanah wakaf,” sebut Syarifuddin Siba.
Di sisi lain, Nurhayati yang mengklaim lahan seluas 64 hektare, di dalamnya justru termasuk lahan 47 hektare yang dipercaya milik Yayasan Panti Asuhan. Nurhayati malah sempat memenangkan perkara sengketa lahan ini di Tingkat Pengadilan Negeri (PN) Sei Rampah pada 2 November 2022, tapi ia kalah di Pengadilan Tinggi (PT). Lalu, Nurhayati menang kasasi di Mahkamah Agung (MA). Namun di tingkat Peninjauan Kembali (PK) di MA, keluar putusan No.1017 PK/Pdt/2024, Nurhayati dinyatakan kalah melawan tiga warga Dusun IV, antara lain Herman Hariantono alias Ali Tongkang, Tjang Jok Tjing alias Acin dan Bunju alias Ayu Gurami.
Siapa Nurhayati? Perempuan single parent yang datang membawa dokumen warisan Kesultanan Serdang ini sempat bikin heboh setelah mengklaim bahwa tanah seluas puluhan hektare adalah miliknya. Sejak itu, dinamika kasus ini menyeret banyak nama, membuka lapis demi lapis konflik antara legalitas formal dan hak historis, antara dokumen warisan kerajaan dan hidup ratusan jiwa yang telah berakar di tanah itu.
Putusan PK yang mengalahkan Nurhayati.
Tapi kisah Nurhayati bukan hanya gugatan tanah. Ia adalah cerita tentang perjuangan seorang perempuan yang pernah lama tinggal di Prancis, kembali ke tanah air, dan kini menempuh jalan sunyi melawan sistem hukum yang tidak selalu berpihak. Dalam pengakuannya, Nurhayati bahkan menyebut pernah menyerahkan uang Rp500 juta kepada seorang oknum di PN Serdang Bedagai demi “pengamanan” proses eksekusi. Uang itu raib, eksekusi tak berjalan, dan kasusnya pun kian ruwet.
Bagaimana sebenarnya pertalian benang merah dari semua kisah ini? Apa yang membuat seorang perempuan melawan begitu banyak tekanan untuk mengklaim kembali tanah yang sudah lama berpindah tangan? Dan seberapa kuat klaim sejarah bisa berdiri di hadapan hukum yang menuntut bukti formal?
Berikut petikan wawancara eksklusif kami dengan Nurhayati—kisah tentang tanah, identitas, kekuasaan, dan ingatan yang tak kunjung usai dalam bentuk hak penguasaan fisik.
Jurnalis: Bisa diceritakan awal mula bagaimana ibu memiliki tanah yang disengketakan ini?
Nurhayati: Awalnya saya beli dari Tengku Raja Gamal Telunjuk Alam, tahun 1979. Suratnya diserahkan ke saya, tapi karena saya sering pindah-pindah tugas, kakak saya yang tertua, Tengku Nur Hazizah, yang menyimpannya. Waktu itu dia bilang, biar dia saja yang simpan karena takut hilang.
Jurnalis: Kapan surat itu kembali ke tangan ibu?
Nurhayati: Sekitar tahun 2005 saya mulai mencari-cari surat itu lagi. Kakak saya sudah sakit-sakitan. Waktu beliau wafat, suaminya menelepon saya dan bilang surat itu ada di mereka. Tahun 2012 saya ke Pekanbaru, dan tiga hari setelah tiba, ditemukan surat Grant Sultan itu dalam guci di lemari.
Jurnalis: Bagaimana ibu memastikan keabsahan surat tersebut?
Nurhayati: Saya sendiri tidak paham bahasa Arab gundul di surat itu, jadi saya minta bantuan seorang ustadz untuk membacanya. Lalu saya bawa ke USU untuk diterjemahkan resmi. Bahkan pihak Polda menyatakan surat ini tidak punya tandingan, berarti saya pemilik sah.
Jurnalis: Kenapa baru sekarang ibu menggugat tanah itu, padahal suratnya sudah ada sejak lama?
Nurhayati: Karena saya sibuk tugas ke mana-mana. Baru menjelang pensiun saya melewati kawasan itu dan kaget kok sudah ramai rumah penduduk. Makanya saya mulai menelusuri kembali surat dan hak saya.
Jurnalis: Tapi warga di sana sudah tinggal hampir seratus tahun dan mengaku tidak pernah berhubungan dengan ibu?
Nurhayati: Saya paham mereka lama tinggal di situ. Tapi soal hukum, mereka tidak punya alas hak. Saya yang punya surat resmi. Mereka tinggal berdasarkan izin lisan yayasan, bukan legal formal. Bahkan saya menang di PN Sei Rampah, dan juga di Mahkamah Agung. Hanya di PK saya kalah, karena katanya saya tidak tahu ukuran tanah. Padahal tanah itu jelas milik saya.
Jurnalis: Apakah ibu akan melanjutkan perjuangan hukum ini?
Nurhayati: Tentu. Saya sudah siapkan novum baru, termasuk surat asli raja yang sudah saya ajukan. Saya hanya memperjuangkan hak saya yang sah secara hukum, bukan mau merampas milik orang lain. ***
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.