Jakarta, CNBC Indonesia - Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan tafsir jangka waktu penggunaan Hak Atas Tanah (HAT), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) dalam Undang-Undang Nomor 3/2022 tentang Ibu Kota Nusantara (UU IKN). MK memutuskan, siklus penggunaan Hak Atas Tanah tak lagi 2 siklus.
Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan Nomor 185/PUU-XXII/2024, pada Kamis (13/11/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, yang menyatakan Pasal 16A ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak guna usaha, diberikan hak, paling lama 35 tahun; perpanjangan hak, paling lama 25 tahun; dan pembaruan hak, paling lama 35 tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi.
Merespons keputusan MK tersebut, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menyatakan menyambut baik. Dan menegaskan, Kementerian ATR/BPN bersama Otorita IKN dan kementerian terkait segera melakukan koordinasi untuk harmonisasi regulasi serta penyelarasan aturan teknis, agar seluruh pelaksanaan di lapangan berjalan sesuai ketentuan MK.
"Kami menghormati dan siap melaksanakan sepenuhnya putusan MK. Ini adalah landasan penting untuk memperkuat kepastian hukum, transparansi, dan tata kelola pertanahan yang lebih baik dalam pembangunan IKN," kata Menteri Nusron, dikutip dari keterangannya, Senin (17/11/2025).
"Putusan MK menegaskan pemberian HGU, HGB, dan Hak Pakai di IKN tidak dapat menggunakan skema dua siklus 95 tahun, dan harus kembali mengikuti batasan nasional dengan mekanisme evaluasi yang jelas dan terukur. Ketetapan ini sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 mengenai prinsip penguasaan negara atas sumber daya alam," tambahnya,
Karena itu, lanjut Nusron, keputusan MK justru memperkuat posisi negara sekaligus memberikan kepastian hukum bagi investasi dan pembangunan IKN.
"Putusan tersebut konsisten dengan arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan pembangunan IKN yang adil, transparan, modern, dan tetap berlandaskan konstitusi," ujarnya.
"Putusan MK tidak menghambat investasi. Yang dikoreksi adalah durasi hak, bukan kepastian berusaha. Semua proses yang sudah berjalan dapat dilanjutkan dengan penyesuaian. Ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo untuk menjaga iklim investasi yang sehat," sambungnya.
Dia menambahkan, putusan MK menjadi momentum untuk memperkuat fungsi sosial tanah, terutama perlindungan terhadap masyarakat lokal dan adat.
"Keseimbangan antara pembangunan dan keadilan sosial menjadi prinsip utama yang terus dijaga pemerintah," katanya.
"Presiden Prabowo memberi perhatian besar pada perlindungan masyarakat lokal dalam pembangunan IKN. Dengan putusan ini, negara semakin kuat dalam memastikan kepastian hukum sekaligus keadilan sosial," ujar Nusron.
Dia pun menjamin, sistem evaluasi, monitoring, dan tata kelola pertanahan di IKN akan terus diperkuat guna menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Penjelasan Ketua MK
Sebagai informasi, putusan ini berawal dari pengajuan oleh Pemohon Prinsipal Stepanus Febyan Babaro dan Kuasa Hukumnya Syamsul Jahidin untuk pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara.
Pemohon mendalilkan terdapat dua regulasi berbeda mengenai jangka waktu HGU, HGB dan Hak Pakai yaitu dengan diberlakukan Pasal 16A ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU IKN dan aturan sama terdapat dalam Pasal 9 Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Selain itu, Pemohon mengungkapkan, UU IKN dan Perpres Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN tidak mengatur secara jelas pihak-pihak yang berhak memiliki HGU, HGB, dan Hak Pakai. Disebutkan, hal ini membuka peluang bagi pihak asing untuk menguasai tanah di IKN dalam jangka waktu yang sangat panjang. Pemohon menegaskan, pemberian hak atas tanah dengan durasi yang terlalu lama dapat mengorbankan kepentingan generasi mendatang
Ketua MK Suhartoyo menjelaskan, Pasal 16A ayat (2) UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai
"Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak guna bangunan, diberikan hak, paling lama 30 tahun; perpanjangan hak, paling lama 20 tahun; dan pembaruan hak, paling lama 30 tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi," katanya, dikutip dari situs resmi MK, Senin (17/11/2025).
"Kemudian, Pasal 16A ayat (3) UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "Dalam hal HAT yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) dalam bentuk hak pakai, diberikan hak, paling lama 30 tahun; perpanjangan hak, paling lama 20 tahun; dan pembaruan hak, paling lama 30 tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi," ucapnya.
Memperlemah Posisi Negara
Terkait Pemohon yang menguji Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 dan Penjelasannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengungkapkan, terdapat ketidaksesuaian Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 dan Penjelasannya. Hal ini karena norma Pasal a quo menentukan, HAT-dalam hal ini HGU-diberikan melalui 1 (satu) siklus dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk 1 (satu) siklus kedua. Pemberian HAT melalui satu siklus tersebut menimbulkan kesan seolah-olah HGU langsung diberikan selama 95 (sembilan puluh lima) tahun.
Sementara itu, Penjelasan Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 menyatakan pemberian HAT secara bertahap diatur masing-masing tahapan tersebut dalam Penjelasan Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023.
"Sehingga hal demikian menimbulkan norma yang ambigu yang berpeluang disalahartikan, sekalipun terdapat ketentuan yang menyatakan pemberiannya didasarkan pada kriteria dan tahapan evaluasi. Sebab, persoalannya terletak pada perumusan norma pokok yang menentukan atau menggunakan frasa melalui 1 (satu) siklus dan dapat diberikan kembali untuk 1 (satu) siklus kedua, yang menurut Mahkamah maknanya sama dengan memberikan batasan waktu yang sekaligus, yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21- 22/PUU-V/2007," ucap Enny.
Belum lagi, sambunganya, ditentukan pula dalam norma Pasal 16A ayat (1) UU 21/2023 jumlah waktunya adalah 95 tahun untuk 1 siklus pertama HGU dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk 1 siklus kedua dengan jumlah 95 tahun, yang apabila diakumulasi dari kedua siklus tersebut menjadi 190 tahun.
"Ketentuan ini tidak sejalan atau memperlemah posisi negara dalam menguasai HAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Setelah Mahkamah mencermati Penjelasan Umum UU 21/2023 dinyatakan bahwa salah satu maksud perubahan UU 3/2022 pada pokoknya untuk melakukan pengaturan jangka waktu HAT yang kompetitif," ujar Enny.
Foto: Ekspresi Pemohon Prinsipal Stepanus Febyan Babaro dan Kuasa Hukumnya Syamsul Jahidin usai mendengarkan sidang pengucapan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara, Kamis (13/11) di Ruang Sidang MK. (Dok. Humas/Ifa via mkri)
Ekspresi Pemohon Prinsipal Stepanus Febyan Babaro dan Kuasa Hukumnya Syamsul Jahidin usai mendengarkan sidang pengucapan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara, Kamis (13/11) di Ruang Sidang MK. (Dok. Humas/Ifa via mkri)
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penampakan Terbaru IKN, Tak Terduga Ternyata Begini

2 hours ago
1
















































