Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar mata uang Asia terpantau banyak yang tengah mengalami tekanan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan awal pekan ini, Senin (8/9/2025).
Melansir dari Refinitiv, per pukul 09.10 WIB, rupiah berhasil menjadi mata uang di kawasan Asia yang paling kuat terhadap dolar AS, sementara itu yen Jepang justru menjadi yang paling tertekan.
Mata uang garuda memimpin penguatan di Asia dengan apresiasi sebesar 0,24% di posisi Rp16.370/US$, penguatan rupiah hari ini sebetulnya akibat akumulasi sejak Jumat pekan lalu dimana pasar keuangan tanah air tutup seiring dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Penguatan rupiah pada hari ini diikuti oleh ringgit Malaysia dan rupee India yang juga mengalami penguatan dengan masing-masing sebesar 0,09% di level MYR 4,216/US$ dan 0,01% di posisi INR 88,163/US$.
Di sisi sebaliknya, mata uang Asia yang paling tertekan terhadap dolar AS adalah yen Jepang dengan pelemahan sebesar 0,43% di level JPY 148,02/US$, pelemahan terjadi seiring dengan kabar mundurnya Perdana Menteri Shigeru Ishiba pada hari ini, Senin (8/9/2025).
Pelemahan turut diikuti oleh peso Filipina yang terdepresiasi sebesar 0,25% di posisi PHP 56,779/US$, serta won Korea sebesar 0,13% di level KRW 1388,1.
Pergerakan mata uang Asia tak luput dari dinamika indeks dolar AS (DXY) yang pada pagi ini terpantau tengah mengalami penguatan tipis setelah mengalami koreksi tajam pada akhir pekan lalu. Penguatan DXY sebagian besar ditopang oleh pelemahan yen Jepang, meski tekanan terhadap greenback masih besar akibat data tenaga kerja AS yang kembali melemah.
Laporan Nonfarm Payrolls (NFP) yang memperlihatkan bahwa pertumbuhan lapangan kerja di AS anjlok pada Agustus lalu, sementara tingkat pengangguran melonjak ke 4,3% menjadikannya level tertinggi dalam hampir empat tahun terakhir. Kondisi ini membuat pasar semakin meningkatkan ekspektasi bahwa The Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga secara agresif dalam pertemuan bulan ini.
Menurut CME FedWatch Tool, probabilitas pemangkasan sebesar 50 basis poin tengah melonjak menjadi 8% dari sebelumnya nol pada pekan lalu. Sementara mayoritas pelaku pasar masih memperkirakan pemangkasan suku bunga 25 basis poin pada bulan ini.
Menurut Ekonom Baryclays dalam catatannya menyebut bahwa risiko perlambatan tenaga kerja semakin nyata, sehingga ruang pelonggaran suku bunga semakin terbuka lebar.
Barclays kini memproyeksikan The Fed akan memangkas suku bunga 25 bps pada September, dan akan menambah pemangkasan lagi 25 bps di Oktober mendatang, serta satu kali lagi di Desember.
Dengan total tahun ini diperkirakan akan ada tiga kali pemangkasan suku bunga untuk merespon pelemahan pasar tenaga kerja AS.
Tekanan terhadap The Fed kian besar setelah Menteri Keuangan AS Scott Bessent pada Jumat lalu menyerukan perlunya evaluasi ulang terhadap independensi bank sentral, termasuk kewenangannya dalam menetapkan suku bunga.
Presiden Donald Trump bahkan disebut tengah mempertimbangkan tiga nama calon pengganti Jerome Powell sebagai Ketua The Fed, setelah sepanjang tahun ini kerap mengkritik Powell karena enggan menurunkan suku bunga sesuai keinginannya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)