
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
Oleh Hotlan Siregar
“Dan Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Pelindung, Mahaterpuji” (QS. Asy-Syura: 28)
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Menanti hujan adalah gambaran dari harapan yang tak pernah padam, walau langit tampak begitu lama menahan tangisnya. Dalam hidup seorang Mukmin, menanti hujan tak sekadar soal menunggu tetesan air dari langit, tapi sebuah perumpamaan akan sabar, tawakal, dan keyakinan pada janji Allah yang tak pernah ingkar. Sebagaimana bumi yang retak dan tandus tetap setia menghadap Langit, begitu pula hati manusia yang terkadang gersang karena ujian hidup, tetap harus berserah diri sambil terus berharap akan turunnya rahmat dari Sang Mahapengasih.
Tak jarang manusia diuji dengan kekeringan baik itu kekeringan materi, kasih sayang, ketenangan, bahkan kekeringan iman. Dalam kesunyian itu, manusia mulai menengadah, memohon kepada Allah dengan air mata dan lirih doa. Itulah saat di mana hujan spiritual sedang dinanti. Kadang Allah menunda turunnya hujan bukan karena Ia pelit, tapi karena Ia ingin melihat kesungguhan doa, keteguhan iman, dan kematangan jiwa. Ketika seorang hamba tetap istiqamah dalam kebaikan meski hujan belum turun, itulah tanda bahwa ia sedang dibersihkan dari keterikatan pada dunia dan dikuatkan untuk menerima rahmat yang lebih agung.
Hujan dalam pandangan Islam adalah simbol kasih sayang dan keberkahan. Rasulullah SAW pun mengajarkan doa-doa ketika hujan turun sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang tak ternilai. Namun, bagaimana bila hujan belum juga turun? Di situlah kesabaran diuji, dan iman ditakar. Menanti hujan adalah pelajaran tentang bagaimana seorang hamba harus tetap taat, tak tergesa dalam meminta, dan tidak berburuk sangka pada takdir. Karena seperti musim, setiap fase kehidupan punya waktunya sendiri. Musim hujan akan datang setelah musim kemarau, dan rahmat Allah akan datang setelah kesulitan, selama hati tidak berpaling dari-Nya.
Dalam sejarah para nabi, menanti hujan pernah menjadi bagian dari ujian umat. Kaum Nabi Nuh menolak peringatan, hingga akhirnya hujan menjadi azab. Sebaliknya, Nabi Musa bersama Bani Israil pernah berdoa bersama hingga Allah menurunkan hujan sebagai jawaban atas tobat mereka. Bahkan Rasulullah ﷺ pernah melakukan shalat istisqa’, shalat khusus untuk meminta hujan, sebagai simbol bahwa segala sesuatu harus dimintakan hanya kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa hujan bukan hanya fenomena alam, tapi bagian dari kehendak Ilahi yang sarat makna spiritual dan sosial.
Menanti hujan mengajarkan kepada kita arti dari rasa cukup, betapa berharganya setetes air di tengah kemarau panjang. Ia juga mengingatkan akan tanggung jawab, bahwa nikmat yang diturunkan bukan sekadar untuk disyukuri, tapi juga untuk dijaga. Sebab seringkali setelah hujan turun, manusia lupa bersyukur. Lahan kembali hijau, air melimpah, perut kenyang, tapi lidah enggan memuji Tuhan. Maka, bisa jadi menunggu hujan lebih membawa berkah daripada saat hujan benar-benar turun, sebab dalam penantian itu hati banyak berdzikir dan raga banyak bersujud.
Sebagaimana rezeki, jodoh, atau jalan keluar dari kesulitan, semua itu berada dalam kuasa Allah yang tak bisa didesak oleh waktu. Maka orang beriman akan belajar dari alam, menanti hujan dengan penuh kesabaran, mempersiapkan ladang amalnya agar ketika hujan turun, ia tidak sia-sia. Sama halnya dengan menanti jawaban atas doa-doa kita perlu kesungguhan, kesabaran, dan kepercayaan bahwa Allah akan memberikan yang terbaik, tepat pada waktunya.
Menanti hujan juga mengajarkan arti pentingnya istighfar dan tobat. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan bahwa istighfar dapat menjadi sebab turunnya hujan dan limpahan rezeki: “Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu…” (QS. Nuh: 10–12). Maka bisa jadi kekeringan dalam hidup kita bukan karena Allah murka, melainkan karena kita belum cukup merendahkan diri di hadapan-Nya. Jika kita mau kembali, membersihkan hati, dan memperbaiki amal, maka rahmat Allah akan tercurah sebagaimana hujan yang menyuburkan tanah setelah lama gersang.
Menanti hujan adalah menanti rahmat. Maka jangan pernah berhenti berharap meski langit masih kering. Jangan putus asa dari rahmat Allah, sebab Dia Maha Mengetahui kapan waktu terbaik untuk menurunkan hujan-Nya. Selama kita tetap menengadah, tetap berdoa, dan tetap berbaik sangka, maka yakinlah hujan pasti akan datang, entah dalam bentuk rezeki, pertolongan, atau ketenangan jiwa. Dan saat hujan itu turun, semoga kita termasuk orang-orang yang bersujud dalam syukur, bukan yang lalai dalam kenyamanan.
(Guru Pesantren Darul Mursyid-Tapsel)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.