Jakarta, CNBC Indonesia- Harga minyak dunia menutup pekan ini dengan fluktuasi tajam di tengah ketegangan geopolitik dan kebijakan sanksi Amerika Serikat terhadap dua raksasa minyak Rusia, Rosneft dan Lukoil. Meski sempat melonjak lebih dari 5% pada Kamis (23/10), pasar kembali melemah di akhir pekan akibat keraguan atas komitmen Washington menegakkan sanksi tersebut.
Pada penutupan Jumat (24/10), harga minyak mentah Brent turun tipis 0,1% ke posisi US$65,94 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) merosot 0,5% menjadi US$61,50 per barel. Namun, secara mingguan, kedua acuan tersebut tetap mencatatkan kenaikan sekitar 7%, lonjakan terbesar sejak pertengahan Juni 2025.
Kenaikan tajam ini dipicu oleh keputusan Presiden AS Donald Trump yang menjatuhkan sanksi terhadap Rosneft dan Lukoil, dua produsen minyak terbesar Rusia yang menyumbang lebih dari 5% pasokan global. Langkah tersebut dimaksudkan untuk menekan Presiden Vladimir Putin agar mengakhiri perang di Ukraina. Namun di sisi lain, kebijakan ini memunculkan ketidakpastian baru di pasar energi dunia.
Dampak langsung terlihat di Asia. Menurut laporan Reuters, perusahaan minyak negara Tiongkok menangguhkan pembelian minyak mentah Rusia, sementara kilang di India pembeli utama minyak Rusia lewat jalur laut berencana memangkas impor secara signifikan. Kondisi ini memperketat pasokan global di tengah permintaan yang masih tinggi.
"Aliran minyak ke India menjadi paling berisiko, sementara China relatif lebih aman berkat diversifikasi sumber dan stok yang cukup," ungkap Janiv Shah, Wakil Presiden Rystad Energy. Sementara itu, Menteri Perminyakan Kuwait menyatakan OPEC siap menambah produksi bila terjadi kekurangan pasokan.
Putin menanggapi sanksi ini dengan nada menantang. Ia menyebut langkah AS dan sekutunya sebagai tindakan "tidak bersahabat" yang tidak akan mengguncang ekonomi Rusia secara signifikan. Bahkan, Uni Eropa turut memperketat tekanan dengan paket sanksi ke-19, termasuk larangan impor gas alam cair (LNG) Rusia dan penambahan dua kilang asal Tiongkok dalam daftar hitam.
Di tengah gejolak tersebut, pasar juga menanti pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping pekan depan. Pertemuan ini diharapkan dapat meredakan ketegangan dagang yang telah lama membayangi hubungan kedua ekonomi terbesar dunia.
Menurut analis pasar energi Trivesh D dari Tradejini, reli harga minyak kemungkinan masih berlanjut dalam jangka pendek. "Selama pasokan global tetap terganggu dan pasar belum yakin terhadap komitmen OPEC+, harga Brent berpotensi menembus level resistensi US$69,70 per barel," ujarnya.
Namun demikian, para pelaku pasar diminta berhati-hati terhadap dinamika kebijakan baru dan potensi peningkatan produksi dari OPEC+. Jika pasokan alternatif cepat masuk pasar, reli minyak bisa dengan cepat memudar. "Ini murni permainan geopolitik pasar tengah menari di antara sanksi dan strategi diplomatik," tambah Trivesh.
Secara keseluruhan, pekan ini menunjukkan betapa rapuhnya keseimbangan energi global. Ketika sanksi berubah menjadi senjata politik dan aliran minyak menjadi alat tawar-menawar antarnegara, harga komoditas ini pun mencerminkan denyut ketegangan dunia yang terus memanas.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)

6 hours ago
3
















































