MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, masih menyoroti perkara Makan Bergizi Gratis (MBG).
Menurutnya, Program MBG sejatinya dimaksudkan sebagai kebijakan monumental—mencerminkan keberpihakan negara terhadap anak-anak miskin dan pencegahan stunting.
Ia diklaim sebagai langkah revolusioner di bidang gizi publik. Namun di balik idealisme itu, MBG justru menampakkan cacat mendasar: program ini beroperasi tanpa fondasi hukum yang kokoh dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Inilah titik paling krusial dan berbahaya, sebab kebijakan publik sebesar ini telah dijalankan tanpa pijakan legal yang jelas, tanpa hierarki normatif yang memenuhi asas lex superior derogat legi inferiori.
Sampai saat ini, MBG hanya berlandaskan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Pembentukan Badan Gizi Nasional (BGN), bukan pada Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau minimal Peraturan Presiden yang secara eksplisit mengatur mekanisme MBG.
Artinya, secara hukum, program MBG tidak memiliki dasar normatif yang mengikat untuk mengatur aspek pembiayaan, tata kelola, maupun tanggung jawab hukum para pelaksananya. Perpres itu hanya mengatur kelembagaan BGN, bukan mandat spesifik tentang penyelenggaraan program makan bergizi.
Dengan kata lain, MBG berjalan dalam ruang abu-abu legalitas: ia de facto dilaksanakan, tapi de jure tak memiliki legitimasi hukum yang memadai.
Ketiadaan dasar hukum ini bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan cacat konstitusional.
Dalam sistem hukum Indonesia, setiap kebijakan yang menggunakan dana publik harus memiliki dasar hukum yang sah dan berjenjang. UU Keuangan Negara dan UU Administrasi Pemerintahan menegaskan penggunaan APBN untuk program strategis wajib didukung oleh regulasi formal yang mengatur tujuan, mekanisme, dan pengawasan.
Ketika MBG digulirkan tanpa dasar undang-undang, maka pelaksanaan dan penyaluran dananya berpotensi melanggar asas legalitas, sebuah prinsip fundamental dalam hukum administrasi negara yang menyatakan: tiada kewenangan tanpa dasar hukum.
Di sinilah masalahnya menjadi semakin kompleks. Karena tidak ada dasar hukum yang tegas, tata kelola MBG pun goyah.
Mekanisme pembayaran ke penyedia katering tidak punya landasan regulatif yang seragam. Petunjuk teknis dan standar gizi berbeda-beda antarwilayah.
Prosedur pengawasan pun kabur: siapa yang bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran mutu, keterlambatan, atau bahkan penyalahgunaan dana? Dalam ketiadaan norma hukum, semua aktor menjadi “abu-abu”: tidak jelas siapa pelaku, siapa pengawas, siapa penanggung jawab.
Ketiadaan dasar hukum ini juga menjadi akar dari berbagai kekacauan di tubuh BGN, mulai dari konflik kepentingan antarpejabat, hingga gesekan dengan lembaga lain yang merasa tak dilibatkan dalam perumusan kebijakan.
Tanpa kerangka hukum yang pasti, setiap keputusan BGN rawan digugat karena dianggap ultra vires (bertindak di luar kewenangan). Dalam konteks tata kelola negara, ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang sistemik, bukan karena niat jahat semata, melainkan karena negara membiarkan kebijakan berjalan tanpa peta hukum.
Oleh karena itu, menyebut MBG sebagai program prematur bukanlah hiperbola. Ia adalah bayi kebijakan yang lahir tanpa akta kelahiran hukum. Pemerintah tergesa mencanangkannya untuk kepentingan politik dan pencitraan, tetapi lupa menyiapkan fondasi legal yang menjadi prasyarat akuntabilitas publik.
Dalam perspektif keadilan hukum, ini berbahaya: rakyat memang berhak mendapat gizi, tapi mereka juga berhak atas kepastian hukum dalam pengelolaan dana publik.
Negara hukum (rechtsstaat) menuntut kebijakan seharusnya lahir dari hukum, bukan dari kehendak politik.
MBG boleh bergizi bagi wacana, tapi secara normatif ia malnutrisi. Tanpa dasar hukum yang sah, seluruh operasionalnya berpotensi melanggar prinsip legalitas, akuntabilitas, dan transparansi.
Hukum tidak bisa membenarkan kebaikan yang dijalankan dengan cara yang salah. Karena dalam negara hukum, tujuan baik pun harus berjalan di atas rel hukum yang benar, bukan di atas meja makan politik.(id18)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.