
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 menyampaikan tentang rangkap jabatan pada Kamis (28/7).
Disebutkan, Mahkamah Konstitusi akhirnya mengetukkan palu dengan tegas: Wakil Menteri dilarang merangkap jabatan.
Keputusan ini bukan sekadar prosedur hukum, melainkan jawaban atas keresahan panjang publik yang jenuh melihat jabatan negara diperlakukan seperti kursi dagangan dan sumber rente.
Bagaimana mungkin seorang Wakil Menteri dapat bekerja optimal jika sebagian waktunya justru habis di kursi komisaris BUMN atau disibukkan dengan jabatan lain yang sarat kepentingan pribadi? Sulit bagi rakyat mempercayai integritas pemerintah bila pejabatnya sendiri gagal menolak godaan rangkap posisi.
Putusan ini tidak boleh dipahami sebatas aturan teknis, melainkan tamparan moral. Bertahun-tahun, rangkap jabatan dianggap hal lumrah, bahkan dilegitimasi oleh budaya politik permisif. Wakil Menteri yang seharusnya memperkuat kerja Presiden justru tampil sebagai “pejabat dua kaki”: satu kaki di ruang publik, kaki lain di ranah bisnis. Benturan kepentingan pun tak lagi sekadar ancaman, melainkan kenyataan pahit yang dibiarkan berlangsung.
MK dengan lugas mengingatkan: Wamen harus fokus. Namun, pertanyaan yang lebih mendasar ialah, apakah Presiden dan pemerintah sungguh siap mengakhiri tradisi buruk ini? Atau jangan-jangan larangan itu hanya akan menjadi formalitas yang dengan mudah dikelabui melalui jabatan lain, entah “penasihat”, “staf khusus”, atau label baru yang tetap memelihara pola rente.
Inilah titik di mana kepemimpinan diuji. Presiden tidak cukup hanya menunduk pada putusan MK. Ia harus menunjukkan keteladanan politik: memerintahkan para Wamen yang masih rangkap jabatan untuk segera memilih, atau siap dilepas. Tidak ada ruang tawar-menawar. Jika tidak, masyarakat berhak menilai bahwa pemerintahan sekadar melanjutkan praktik dagang sapi, di mana kursi publik menjadi hadiah, bukan amanah.
Jangan Berlindung di Bunker “masa transisi dua tahun”
Pemerintah pun tak boleh berlindung di balik alasan “masa transisi dua tahun” yang disediakan MK. Tenggat dua tahun adalah kesempatan menata, bukan dalih untuk mempertahankan kebiasaan lama.
Menunda hingga batas akhir hanya membuktikan ketidakseriusan dalam membersihkan birokrasi. Bila Presiden sungguh berpihak pada tata kelola bersih, pelaksanaan keputusan ini harus segera dijalankan. Bukankah setiap hari dengan pejabat rangkap jabatan sama saja memperpanjang peluang penyalahgunaan wewenang?
Harus diakui pula, rangkap jabatan tidak sekadar soal fokus kerja, tetapi juga cermin kerakusan. Mengapa seorang Wamen masih memburu kursi komisaris? Apakah gaji dan fasilitas negara tak mencukupi? Atau ada hasrat menguasai lebih banyak sumber daya? Pertanyaan-pertanyaan ini penting direnungkan publik, sebab dari kerakusan elite lahirlah kebijakan yang tumpul terhadap rakyat kecil.
Karena itu, putusan MK mesti dibaca sebagai momentum untuk menegakkan garis tegas: pejabat publik tidak boleh sekaligus menjadi pemain bisnis. Negara tidak bisa dijalankan dengan logika “double job” ala korporasi. Pemerintahan adalah amanah rakyat, bukan portofolio jabatan yang bisa ditumpuk seenaknya. Bila masih ada Wamen yang bercita-cita mengoleksi posisi, sebaiknya ia mengurus urusan pribadi, bukan urusan negara.
Di sinilah peran publik penting: terus mengawasi, mendesak, dan bahkan mengingatkan keras Presiden beserta menterinya agar tidak bermain-main dengan kepercayaan rakyat. Putusan MK tak boleh berhenti sebagai arsip hukum di rak perpustakaan. Jika benar ingin menutup celah penyalahgunaan kekuasaan, pemerintah harus berani membersihkan praktik rangkap jabatan hingga ke akarnya.
Terlalu lama rakyat menyaksikan jabatan publik diperlakukan sebagai komoditas politik. Putusan MK ini memberi peluang membalik keadaan: dari pemerintahan yang rakus menjadi pemerintahan yang berintegritas. Namun semua itu hanya mungkin jika Presiden memiliki keberanian untuk tidak berkompromi. Bila masih ada keraguan, mari ingatkan dengan tegas: jabatan publik adalah mandat rakyat, bukan bonus saham kekuasaan.(id18)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.