
JAKARTA (Waspada): Ekspor sawit Indonesia ke Eropa, terutama ke Uni Eropa, menghadapi tantangan yang signifikan, termasuk kebijakan anti-deforestasi yang baru diberlakukan.
Uni Eropa menjadi salah satu pasar utama minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dari Indonesia. Namun, kebijakan seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR) dan Renewable Energy Directive (RED) II, yang membatasi penggunaan biofuel sawit, telah memengaruhi ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Lamhot Sinaga menjelaskan, berdasarkan informasi yang diterimanya, ekspor CPO saat ini hanya tinggal 7 persen dari sebelumnya hampir menyentuh 80 persen.
Adapun selebihnya, sudah diolah menjadi menjadi turunan sawit itu sendiri.
Selama ini, tambah wakil rakyat dari daerah pemilihan Sumut II ini, publik hanya mengenal produk turunan sawit untuk minyak goreng, deterjen, dan sebagainya. Padahal, turunan sawit dapat menjadi biodiesel untuk memenuhi kebutuhan BBM (bahan bakar minyak).
“Sehingga, (hal itu dapat memenuhi kebutuhan energi) di tengah-tengah defisitnya kebutuhan BBM kita atau energi kita yang selama ini kita impor ya,” jelas Lamhot di sela-sela melakukan pertemuan dengan mitra kerja dan stakeholder terkait sawit, di Medan,Sumut, Kamis (11/4/2025).
Lamhot Sinaga menjelaskan kebutuhan energi, khususnya BBM, per hari ini kurang lebih sekitar 2 juta barel per hari (barel per day/bpd). Sementara, lifting migas nasional hanya mampu penuhi di angka sekitar 600 ribu bpd, sehingga Indonesia harus impor antara 1,4-1,6 juta bpd.
“Nah, karena itu kita ingin mendorong industri sawit untuk memproduksi industri turunan untuk biodiesel untuk menutupi defisitnya BBM kita atau mengurangi angka importasi BBM kita. Kalau kemudian nanti semua industri sawit kita ini bisa memproduksi biodiesel sebagai hasil turunan daripada industri sawit, maka kemudian otomatis importasi kita terhadap BBM yang saat ini membebani APBN tentu akan menurun jauh drastis,” ujarnya.
Diketahui, saat ini Indonesia harus mengeluarkan anggaran untuk subsidi BBM per tahun sekitar 300-400 triliun. Karena itu, jika sawit dapat menjadi produk turunan berupa biodiesel, maka subsidi yang besar tersebut dapat dialihkan untuk kebutuhan lain yang lebih urgen.
Selain untuk kebutuhan biodiesel, produk turunan sawit yang juga tidak kalah penting adalah untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
Menurutnya, di beberapa negara Eropa, produk turunan sawit dapat digunakan sebagai suplemen nutrisi, khususnya memenuhi kebutuhan gizi anak. Sehingga, hal ini dapat pula menjadi suplemen makanan tambahan yang selaras dengan Program Pemerintah, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG).
“MBG tujuannya adalah untuk anak-anak kita sekarang ini supaya mendapat asupan gizi yang cukup, sehingga mereka nanti menjadi sumber daya manusia yang unggul di tahun-tahun yang akan datang, ternyata sawit ini juga kan adalah sumber nutrisi sebagai pengganti suplemen dan ini sudah umum digunakan di negara-negara lain,” tambahnya.
Bahkan, Lamhot menilai, negara di Eropa seperti Belanda telah menggunakan suplemen turunan produk sawit tersebut sebagai pemenuhan nutrisi sehari-hari.
“Hanya itu saja yang dia pakai dan memang sudah terbukti bahwa ketika itu dikonsumsi itu long life-nya lebih tinggi karena udah tercukupi dengan gizinya,” pungkas Lamhot Sinaga. (J05)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.