Krueng Geukueh: Membangunkan Raksasa Ekonomi Aceh Dalam Bingkai Syariat Dan Marwah Umat

1 month ago 15

Oleh Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si.

Di pesisir utara Aceh, tepatnya di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, berdiri sebuah pelabuhan yang selama ini lebih banyak menjadi simbol potensi ketimbang kemajuan. Namanya Pelabuhan Krueng Geukueh. Ia bukan sekadar titik logistik, tapi sebuah peluang strategis yang telah lama tertidur. Di tengah geliat globalisasi dan pergeseran jalur perdagangan dunia, pelabuhan ini layak menjadi “raja baru” logistik barat Indonesia, tentu jika dikelola dengan visi, kesungguhan, dan nilai-nilai yang sesuai dengan karakter Aceh: Islami, adil, dan berdaya saing.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Di Ujung Barat, Di Bibir Selat Malaka

Secara geografis, Krueng Geukueh memiliki keistimewaan yang tak bisa disangkal. Letaknya hanya sekitar 150 mil laut dari Penang, Malaysia yaitu lebih dekat dibandingkan Belawan atau Tanjung Priok. Ia berada tepat di jalur pelayaran tersibuk dunia, Selat Malaka, yang dilintasi lebih dari 90.000 kapal per tahun, membawa hampir 25% perdagangan global.

Namun seperti banyak cerita Aceh lainnya, keistimewaan ini masih bersifat potensi, bukan kenyataan. Data Ditjen Perhubungan Laut (2023) menyebutkan bahwa volume bongkar muat di pelabuhan ini baru mencapai 1,2 juta ton per tahun, padahal kapasitasnya bisa mencapai 4-5 juta ton. Artinya, baru 25% kapasitas yang dimanfaatkan.

Raksasa yang Belum Diberi Makan

Masalahnya bukan sekadar niat, tapi soal infrastruktur dan kebijakan. Kedalaman kolam pelabuhan yang hanya 9-11 meter tidak cukup untuk menampung kapal besar modern yang biasa digunakan dalam perdagangan lintas negara. Akibatnya, kapal sering kesulitan bersandar dan harus menunggu air pasang. Ini menambah biaya logistik dan memperlambat rotasi ekonomi.

Fasilitas bongkar muat yang terbatas, minimnya alat berat modern, serta ketergantungan pada sistem manual menyebabkan turnaround time kapal menjadi lambat. Konektivitas darat pun belum optimal akses ke kawasan industri Lhokseumawe dan wilayah hinterland seperti Aceh Tengah dan Timur belum terintegrasi dengan baik. Jalur kereta belum ada, dan jalan darat kerap macet atau rusak.
Kondisi ini membuat eksportir Aceh lebih memilih pelabuhan Belawan, meski jaraknya lebih jauh. Akibatnya, produk unggulan Aceh seperti CPO, kopi Gayo, karet, dan perikanan harus “menumpang” pelabuhan lain untuk menjangkau pasar internasional.

Cahaya Harapan: Ketika Visi Bertemu Tindakan

Gubernur Aceh mencanangkan transformasi Krueng Geukueh sebagai gerbang ekspor utama ke Malaysia. Ini bukan mimpi kosong, melainkan respons strategis terhadap potensi yang telah lama diabaikan. Namun, visi ini membutuhkan langkah nyata, terutama dalam tiga aspek: infrastruktur, kelembagaan, dan nilai spiritualitas pembangunan.

1. Pengerukan Kolam Pelabuhan


Meningkatkan kedalaman menjadi minimal 14-16 meter adalah prasyarat utama. Ini akan membuka akses bagi kapal 20.000-50.000 DWT dan menjadikan Krueng Geukueh sebagai alternatif kompetitif dalam jalur maritim regional. Ini harus menjadi prioritas dalam APBN, APBA, atau skema KPBU.

2. Modernisasi Fasilitas dan Digitalisasi


Pelabuhan dengan sistem konvensional tidak lagi relevan di era industri 4.0. Harus ada investasi besar untuk mendatangkan container crane, mobile harbor crane, dan sistem digital (Port Community System). Digitalisasi akan mempercepat layanan, mengurangi kebocoran, dan memastikan efisiensi.

3. Integrasi Transportasi Multimoda


Krueng Geukueh harus terhubung dengan jalan tol Lhokseumawe-Langsa-Kuala Simpang, serta jalur kereta api Trans-Sumatera. Ini akan mempermudah distribusi barang ke seluruh Aceh dan Sumatera, sekaligus menurunkan biaya logistik hingga 30-40%.

4. Kawasan Logistik Syariah Terpadu


Aceh sebagai daerah dengan kekhususan syariat Islam tidak boleh membiarkan pembangunan tanpa basis nilai. Kawasan logistik terpadu (KLT) di sekitar pelabuhan harus menjadi model halal hub dengan fasilitas cold storage, gudang halal, pusat sertifikasi halal, dan layanan ekspor syariah. Ini akan menarik pelaku usaha Muslim dan menjadikan Krueng Geukueh sebagai pelabuhan syariah pertama di Indonesia.

5. Fokus Ekspor ke Malaysia


Malaysia adalah mitra dagang alami Aceh. Data BPS menunjukkan bahwa Malaysia menyerap sekitar 60% ekspor non-migas Aceh, terutama CPO, kopi, ikan, dan karet. Mengaktifkan jalur pelayaran cepat (fast ferry, RoRo) antara Krueng Geukueh dan Penang/Kuala Perlis akan membuka peluang logistik dan pariwisata halal lintas negara.

6. UMKM dan Produk Halal Lokal


Pelabuhan bukan hanya soal industri besar. Ia juga harus berpihak pada petani, nelayan, dan UMKM. Bayangkan bila kopi Gayo, ikan asin Pidie, kerajinan Aceh Besar, hingga pala dan cengkeh Simeulue bisa langsung diekspor ke Malaysia tanpa perantara. Krueng Geukueh bisa menjadi lokomotif pemberdayaan ekonomi rakyat.

Dampak Ekonomi: Dari Rakyat untuk Rakyat

Jika transformasi ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dan konsisten, maka dampaknya akan luar biasa:
Penurunan biaya logistik hingga 40%, menurut kajian World Bank 2022.
Peningkatan volume ekspor Aceh yang saat ini masih stagnan di bawah 2 juta ton/tahun.
Penciptaan lapangan kerja baru di sektor logistik, transportasi, manufaktur, dan jasa pendukung.
Peningkatan PAD dan pendapatan daerah dari retribusi, pajak, dan aktivitas ekonomi turunannya.
Pemulihan citra Aceh sebagai daerah yang terbuka, maju, dan ramah investasi namun tetap menjunjung syariat Islam.

Pembangunan Berbasis Nilai dan Marwah

Penting diingat, Aceh bukan sekadar entitas geografis. Ia adalah wilayah istimewa dengan landasan hidup syariat Islam. Maka, pembangunan pelabuhan Krueng Geukueh bukan hanya proyek ekonomi, tapi juga proyek moral. Ia harus bersih dari praktik ribawi, suap, dan korupsi. Pelabuhan ini harus jadi teladan tata kelola Islami yang mengedepankan keadilan, keterbukaan, dan maslahat umat.

Krueng Geukueh bisa menjadi “Bandar Syariah” pertama Indonesia yang menggabungkan kekuatan perdagangan global dengan prinsip Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Di sinilah wajah masa depan Aceh dipertaruhkan.

Saatnya Kita Bangun, Bersama

Seperti dikatakan oleh ulama kharismatik Aceh, Tu Shop, “Kemakmuran itu bukan hanya dari langit, ia juga harus dijemput dengan akal, kerja, dan akhlak.” Maka, kini waktunya Aceh menjadikan Krueng Geukueh sebagai wajah baru kebangkitan ekonomi Islam. Bukan hanya pelabuhan, tapi juga lambang bahwa Aceh mampu bangkit tanpa kehilangan jati diri.

Jangan biarkan raksasa ini terus tidur. Waktunya membangunkan Krueng Geukueh untuk kemakmuran yang berkah, berdaulat, dan berpihak pada umat. Aamiin   [email protected]

Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |