Jakarta, CNBC Indonesia - Jepang dikenal sebagai salah satu negara yang berhasil menekan jumlah korban jiwa saat tsunami. Kunci keberhasilan itu ternyata bukan semata pada kecanggihan teknologi peringatan dini, melainkan literasi masyarakat dalam melakukan evakuasi cepat.
Makoto Takahashi dari Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Nagoya menegaskan, masalah utama bukan pada kurangnya informasi. Tapi, ketidakmauan masyarakat untuk segera bertindak saat peringatan diumumkan.
"Japan Meteorological Agency (JMA) dapat mengeluarkan peringatan hanya tiga menit setelah gempa, tetapi banyak warga yang masih terlambat bereaksi. Pencegahan tsunami bukan melawan gelombang, melainkan kemampuan evakuasi cepat," jelas Makoto dalam kuliah umum bertajuk "Menghubungkan Prediksi, Aksi Lokal, dan Literasi Bencana" yang digelar Pusat Riset Kependudukan (PRK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Universitas Nagoya di Kawasan Sains dan Teknologi Sarwono Prawirohardjo belum lama ini, dikutip laman resmi BRIS, Minggu (7/9/2025).
Ia mencontohkan praktik Desa Nishiki di Jepang Tengah yang sukses membangun literasi bencana melalui tiga pilar utama, yaitu pembangunan jalur dan fasilitas evakuasi, pembentukan budaya sadar bencana lewat peringatan dan simulasi rutin, serta sistem peringatan berbasis komunitas. Strategi ini terbukti efektif menekan risiko korban jiwa.
Selain itu, sejak 2003 pemerintah Nishiki sudah merelokasi penduduk ke wilayah lebih tinggi, khususnya karena jumlah lansia yang meningkat. Pendekatan kolaboratif pun ditempuh dengan melibatkan organisasi nelayan agar warga pesisir lebih siap menghadapi bencana.
Foto: Gelombang besar terlihat mencapai garis pantai Hokkaido di Jepang pada hari Rabu (30 Juli) setelah gempa berkekuatan 8,8 melanda Semenanjung Kamchatka di Timur Jauh Rusia. (Tangkapan Layar Video Reuters/NNN/JAPAN)
Gelombang besar terlihat mencapai garis pantai Hokkaido di Jepang pada hari Rabu (30 Juli) setelah gempa berkekuatan 8,8 melanda Semenanjung Kamchatka di Timur Jauh Rusia. (Tangkapan Layar Video Reuters/NNN/JAPAN)
Sementara itu, Kenji Muroi dari Universitas Nagoya menyoroti pelajaran dari gempa dan tsunami Jepang Timur 2011. Pemerintah Jepang kemudian menaikkan asumsi risiko gempa Nankai Trough ke kategori "kelas maksimum".
Meski probabilitasnya rendah, kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kewaspadaan dan memperkuat strategi pengurangan risiko. Namun Muroi mengingatkan, komunikasi risiko harus disampaikan secara bijak.
"Prediksi ilmiah yang disampaikan tanpa hati-hati bisa memicu kekhawatiran, bahkan merugikan ekonomi seperti turunnya nilai properti. Karena itu, komunikasi pengetahuan harus sederhana, mudah dipahami, dan tidak menimbulkan ketakutan berlebih," ujarnya.
Sementara itu, Plt Kepala PRK BRIN, Ali Yansyah Abdurrahim, mengatakan kegiatan ini menjadi upaya memperkuat literasi kebencanaan di Indonesia sekaligus membuka peluang kerja sama lebih luas dengan Jepang.
"Harapannya, wawasan ini tidak hanya memperkaya pemahaman akademik, tetapi juga membangun kolaborasi internasional yang lebih konkret," kata Ali.
Dari pengalaman Jepang yang terbukti efektif menekan korban jiwa saat tsunami, Indonesia diharapkan bisa mengadopsi praktik literasi bencana, simulasi, hingga sistem evakuasi yang lebih adaptif terhadap kondisi lokal.
(wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gundam & Astro Boy Tampilkan Masa Depan Dunia di Expo 2025 Osaka