Jakarta, CNBC Indonesia - Bos-bos hotel di Jakarta melalui Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta bakal berkumpul untuk menyelesaikan berbagai isu di sektor ini, mulai dari Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Jakarta yang baru terkait kawasan bebas rokok, pemotongan anggaran, hingga kelonggaran pajak.
Hal itu akan dibahas pada Musyawarah Daerah (MUSDA) XVI PHRI DKI Jakarta pada medio Desember 2025 sekaligus pemilihan ketua PHRI DKI Jakarta yang baru.
"Kami berharap MUSDA XVI dapat menghasilkan kepemimpinan baru yang visioner dan responsif terhadap tantangan zaman, serta memperkuat posisi Jakarta sebagai pusat industri hospitality kelas dunia," Priyanto Ketua Tim Pengarah / Sekretaris BPD PHRI DKI Jakarta dalam keterangannya, dikutip Kamis (25/10/2025).
Salah satu perhatian serius pelaku usaha saat ini mengarah pada Raperda DKI mengenai kawasan rokok. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono mengatakan, pihaknya memang dilibatkan dalam proses pembahasan, namun keterlibatan tersebut dilakukan saat aturan sudah dalam tahap akhir.
Meski begitu, Sutrisno menegaskan pihaknya tidak berada dalam posisi menentang Raperda tersebut. Ia hanya berharap agar aturan yang baru tidak terlalu memberatkan pelaku usaha, mengingat sektor hotel dan restoran memiliki peran penting dalam menggerakkan perekonomian daerah.
"Iya. Tapi kita tidak dalam posisi untuk menentang Raperda itu. Ya cuman kita berharap jangan terlalu memberatkan dunia usaha. Sebab bagaimanapun juga, semisal hotel dan restoran itu punya peran penting. Satu untuk menggerakkan roda ekonomi secara keseluruhan," kata Sutrisno kepada CNBC Indonesia, Kamis (23/10/2025).
Ia menuturkan, industri hotel memiliki keterkaitan erat dengan sektor lain seperti pertanian dan peternakan karena pasokan bahan makanan sebagian besar berasal dari petani dan pemasok lokal.
"Kenapa? Kenapa demikian? Karena hotel itu kan supply bahan makanan dan lain-lain itu kan dari petani ya. Ada beras, ada sayur, ada buah, ada daging, dan sebagainya. Jadi, kalau nanti terjadi penurunan dari sisi customer, ya, maka sektor-sektor lain pasti akan terdampak," kata Sutrisno.
Dampak dari kebijakan yang terlalu ketat juga bisa dirasakan dari sisi penerimaan pajak.
"Kemudian, kalau terjadi penurunan juga okupansi atau orang yang yang makan di restoran, maka pajak untuk pajak daerah pun akan turun juga gitu. Pajak pusat juga akan turun, kan? Jadi, ada dampak mengurangi penerimaan negara," ujarnya.
Lahan Terbatas
Salah satu kekhawatiran utama pelaku usaha adalah kewajiban penyediaan ruang terbuka untuk merokok di hotel maupun tempat hiburan. Menurut Sutrisno, aturan baru tersebut sulit diterapkan di banyak bangunan eksisting yang memiliki lahan terbatas.
"Ya, itu kalau kita lihat, misalnya, industri hiburan, ya. Industri hiburan itu kan masih belum bisa letterlijk (leterlek/ harfiah) memisahkan diri dari perokok. Ya, orang pergi ke karaoke, ke bar, ke diskotik itu kan mereka umumnya merokok ya. Jadi, kalau kemudian dilarang, pasti pengunjungnya kan akan berkurang drastis," jelasnya.
"Demikian juga, kalau hotel, misalnya, harus menyediakan ruangan terbuka gitu. Sedangkan hotel yang sudah ada sekarang, kan, tidak tidak mudah juga untuk menyediakan ruangan terbuka, kan?" tambahnya.
Sutrisno menilai, pihaknya tidak menolak aturan tersebut, namun berharap agar implementasinya dapat dilakukan secara bertahap dan melibatkan dialog dengan dunia usaha.
"Oleh karena itu, kita tidak dalam posisi menolak itu, tetapi tolong implementasinya bisa dikomunikasikan dan dikolaborasikan dengan baik, dan mau mendengar juga masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia usaha," ujarnya.
Lebih lanjut, Sutrisno menyebut perbedaan utama Raperda baru dengan aturan sebelumnya adalah cakupan wilayah dan jenis bangunan yang terkena kewajiban.
"Semua area di wilayah Jakarta kena semua, bukan cuma hotel tapi perkantoran semua kena, hotel harus ada ruang terbuka untuk merokok, kalau dulu ada ruangan hotel cukup, sekarang ruangan terbuka itu gak mudah," jelasnya.
Dengan keterbatasan lahan di Jakarta, Sutrisno menilai beban tambahan tersebut akan berdampak pada biaya operasional hotel.
"Lahan terbatas, dan tentu tambah biaya lagi yang gak ada di anggaran kita," tutupnya.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bisnis Hotel-Resto Berdarah-Darah, Lebih dari 95% Tingkat Hunian Drop