Involution: Racun Kompetisi yang Perlahan Membunuh China

2 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia- China mulai Lelah dengan kebijakan "involution" atau "neijuan". Kebijakan ini telah memicu perang harga, produksi berlebihan, hingga persaingan yang melelahkan.

Fenomena involution atau nei-juan sedang jadi kata kunci di Beijing. 

Sederhananya, involution merupakan persaingan tanpa henti yang malah melukai para pemainnya. Alih-alih melahirkan efisiensi, kompetisi justru berubah menjadi perlombaan bunuh diri, harga ditekan habis-habisan, margin hilang, stok menumpuk, dan ujungnya ekonomi masuk ke jurang deflasi. Selama sembilan kuartal berturut-turut, China mencatat deflasi terpanjang sejak 1990-an.

Ceritanya dimulai sejak pemerintah mendorong industrialisasi baru lewat strategi dual circulation pada 2020.

Pemerintah pusat dan daerah sama-sama berlomba mendorong investasi ke sektor-sektor strategis seperti kendaraan listrik, baterai, hingga panel surya. Karena hambatan masuk rendah, siapa pun bisa ikut bermain. Hasilnya, satu formula sukses cepat sekali ditiru, lalu pasar penuh sesak dengan produk serupa. Di sinilah involution lahir.

Contohnya, mereka mempertanyakan adalah apa gunanya bekerja keras masuk sekolah bagus jika hasilnya adalah bekerja dengan jam 996 (pukul 9 pagi-9 malam, 6 hari seminggu) di perusahaan teknologi? Itu pun jika beruntung mendapat pekerjaan, di tengah tingginya pengangguran lulusan baru.

Kata "involution" berasal dari bahasa Latin yang berarti "berputar ke dalam".

Istilah ini dipopulerkan oleh antropolog budaya Amerika, Clifford Geertz, pada 1960-an lewat studinya tentang pertanian Jawa untuk menggambarkan stagnasi ekonomi atau budaya meski kompleksitas atau usaha semakin meningkat.

Belakangan, neijuan menjadi istilah singkat di China untuk menggambarkan kerja keras yang melelahkan, sering kali sia-sia, bahkan merusak diri akibat hiperkompetisi secara lebih luas.

Konsep ini juga dikaitkan dengan pergeseran China dari pertumbuhan berbasis properti menuju kompleks industri yang mencakup sepertiga manufaktur global di mana sumber daya terus ditanamkan tanpa peningkatan imbal hasil. Sebuah "perlombaan menuju dasar".

Tingkat persaingan di China telah mencapai titik di mana hasilnya bukan hanya menurun, tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi.

Beijing kini dihadapkan pada keputusan untuk menindak kelebihan kapasitas, persaingan berlebihan, dan perang harga brutal karena tekanan deflasi semakin menumpuk di ekonomi terbesar kedua dunia ini.

Perilaku konsumen juga berubah dengan cara yang bisa semakin menekan harga. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa deflasi bisa semakin mengakar, menambah beban para pembuat kebijakan China.
Seperti diketahui, Indeks Harga Konsumen (IHK) China turun atau deflasi lima kali dalam tujuh bulan terakhir (year on year/yoy) dan empat kali deflasi dalam tujuh bulan  (month to month/mtm).

Perang melawan deflasi rumit karena berisiko terhadap lapangan kerja dan pertumbuhan. Masalah ini datang di tengah perselisihan dagang dengan AS yang belum selesai yang semakin mempersempit keuntungan pabrik.

Beijing memandang lapangan kerja sebagai kunci stabilitas sosial. Eksportir dan bahkan sektor negara sudah mulai memangkas tenaga kerja dan gaji, sementara tingkat pengangguran kaum muda di kisaran 15%.

Industri Mana yang Paling Terdampak?

Persaingan berlebihan telah memangkas margin keuntungan di banyak sektor, termasuk kendaraan listrik (EV), panel surya, baterai litium, baja, semen, dan layanan pesan-antar makanan.

Di sektor EV, perang harga brutal meledak pada 2023 di pasar otomotif terbesar dunia, melibatkan puluhan merek termasuk BYD dan Tesla. Pada Mei 2025, regulator China memerintahkan sektor tersebut untuk menghentikan pemotongan harga yang tiada henti.

Masalah Persaingan di China: Terlalu Banyak

Pemerintah China tengah mengambil langkah untuk mengekang apa yang disebut sebagai "involution", yakni persaingan berlebihan yang merugikan perusahaan domestik dan memicu spiral deflasi di negara itu.

Persaingan yang Menghancurkan

Ketika sebuah teknologi atau produk baru muncul, puluhan bahkan ratusan produsen China serentak masuk ke sektor tersebut.

Mereka meningkatkan produksi, menekan biaya, dan seiring pasar tumbuh, persaingan makin brutal. Perusahaan saling banting harga, bertahan dengan margin tipis atau bahkan rugi, berharap bisa bertahan paling lama.

Pemerintah daerah ikut memperkeruh keadaan. Demi mengejar target pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, masing-masing mendukung "jagoan lokal" dengan subsidi dan kemudahan birokrasi. Hasilnya industri kebanjiran kapasitas, dan semua pihak terjebak dalam perlombaan bertahan hidup.

Berbeda dengan negara lain yang mendorong kompetisi sengit demi harga murah, China justru berusaha mengerem involution. Negara tersebut mati-matian mencegah perang sengit demi harga murah.

Presiden Xi Jinping bulan ini berjanji menindak "kompetisi harga rendah yang kacau" dan menghapus kapasitas industri usang. Ia bahkan mempertanyakan apakah tiap provinsi memang perlu buru-buru masuk ke sektor seperti kecerdasan buatan dan mobil listrik.

Dampak pada Ekonomi Makro

Upaya Beijing mengendalikan involution mendapat momentum baru setelah tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menghambat ekspor ke AS, sementara negara lain juga khawatir kebanjiran barang murah China. Barang tak terjual itu, ditambah ekonomi domestik yang melambat, memperparah persaingan dan mendorong deflasi.

Pemerintah berjanji memperketat regulasi terhadap perusahaan yang menekan harga serta mengendalikan subsidi daerah yang menopang "perusahaan zombie" alias yang seharusnya sudah mati.

Persaingan sengit dan kelebihan kapasitas sudah lama menghantui industri baja dan semen. Kini, sektor baru seperti panel surya dan kendaraan listrik juga terjebak perlombaan ke dasar. Secara kolektif perusahaan China mendominasi pangsa pasar global, tapi secara individual banyak yang kesulitan meraih laba konsisten.

Kasus Kendaraan Listrik

Dalam rapat kabinet pekan lalu, pejabat berjanji mengatur persaingan irasional di sektor EV lewat investigasi biaya dan pemantauan harga.

Langkah ini muncul setelah BYD, produsen EV terbesar di China, memangkas harga hampir dua lusin model mobil listrik dan hibrida pada Mei. Asosiasi Produsen Mobil China (CAAM) mengecam BYD dan memperingatkan bahaya "perang harga".

Di sektor EV, perang harga brutal meledak pada 2023 di pasar otomotif terbesar dunia, melibatkan puluhan merek termasuk BYD dan Tesla. Pada Mei, regulator Tiongkok memerintahkan sektor tersebut untuk menghentikan pemotongan harga yang tak henti-henti.

Menurut data LSEG atas 33 produsen mobil yang terdaftar di China, margin laba bersih median sektor ini turun menjadi hanya 0,83% pada 2024 dari 2,7% pada 2019.

Industri surya China juga menjadi sasaran kampanye anti-involution karena kelebihan kapasitas besar-besaran dan perang harga menyebabkan kerugian dalam rantai nilai manufaktur fotovoltaik mencapai US$40 miliar tahun lalu.

Meski restrukturisasi untuk memangkas kelebihan pasokan telah dimulai, masih butuh waktu lama hingga produksi surya China sesuai dengan permintaan. Analis memperkirakan kapasitas wafer, sel, dan modul China pada 2024 saja cukup untuk memenuhi permintaan global tahunan hingga 2032.

Sektor lain juga masih terjebak dalam perubahan kebijakan.
Di layanan pesan-antar makanan, raksasa teknologi Alibaba, JD.com, dan Meituan menggelontorkan miliaran dolar untuk perang subsidi demi merebut pangsa pasar "ritel instan"-taruhan mahal bahwa layanan pengiriman satu jam yang tumbuh cepat akan menjadi kunci masa depan e-commerce Tiongkok secara keseluruhan.

Analis Nomura memperkirakan pembakaran kas di seluruh industri ini melebihi US$4 miliar hanya dalam kuartal kedua, dengan investasi yang diperkirakan akan menekan laba jangka pendek hingga menengah.

Seorang tenaga penjual Xpeng Motors mengakui tekanan harga tak akan hilang karena konsumsi lemah dan kelebihan kapasitas. Menurutnya, produsen tak punya pilihan selain terus memberi diskon meski subsidi pemerintah sudah berakhir.
"Ini normal baru," katanya. "Begitu harga turun, pasti tak akan naik lagi."

Hebei, Pusat Involution

Provinsi Hebei, terkenal dengan tambang dan industri berat, kini juga jadi simbol persaingan berdarah. Sebuah kawasan industri pakaian menampung lebih dari 100 produsen garmen dengan toko nyaris serupa, menjual T-shirt dan sweatshirt tak jauh beda.

Zona komersial ini dibangun pemerintah daerah sekitar 10 tahun lalu. Kini, banyak toko tutup, restoran di dalam kompleks terbengkalai, dan pabrik baru yang direncanakan pun belum selesai.

Zhang Cuihua, 37 tahun, produsen T-shirt kecil di kompleks itu, membuat sekitar 1 juta kaus per tahun. Tapi sejak 2024, persaingan begitu parah hingga ia merugi.
"Persaingan involusi ini tak tertahankan - orang-orang bekerja sampai mati. Pasar lesu, penjualan stagnan, kapasitas produksi berlebih," ujarnya, dikutip dari The New York Times.

Ia mengaku sudah menurunkan margin lebih dari 60% dalam beberapa tahun. Banyak pesaing menjual rugi sekadar untuk cairkan stok, lalu pelanggan menuntut ia menyesuaikan harga. Jika mengikuti, makin rugi; jika tidak, kehilangan pesanan.

Banyak pabrik sudah tutup, tapi tekanan tetap ada. Tang Yongsheng, produsen T-shirt Guangdong dengan delapan pabrik di Hebei, menambahkan bahwa pemerintah lokal justru mendorong investasi berlanjut dengan akses pinjaman mudah, sehingga perusahaan nekad terus bertahan.
"Tujuan utama hanyalah bertahan hidup," katanya.

Di Suning County, produsen alat pancing juga terjebak perang harga. Semasa pandemi, bisnis melonjak, tapi kini permintaan anjlok. Harga joran yang dulu US$12 kini US$9. Keuntungan turun dari US$4 per unit jadi hanya US$1,5.
"Tak ada pilihan lain. Turunkan harga - hanya itu jalannya" kata pengusaha Sun Yunna kepada The New York Times.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(emb/emb)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |