Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah mulai menguat setelah bangkit dari berbagai tekanan akibat dinamika global maupun domestik.
Tekanan rupiah datang dari ancaman tarif baru dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, kegaduhan geopolitik, hingga prospek ekonomi Indonesia yang melemah. Namun, rupiah bangkit setelah ketidakpastian perang dagang mereda dan derasnya dana asing yang masuk ke Indonesia.
Proyeksi Nilai Tukar Rupiah
Ahmad Mikail Zaini, Senior Ekonom Sucor Sekuritas, mengatakan kegaduhan politik di AS bisa membantu rupiah. Salah satunya adalah terkait pemotongan pajak melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) "One Big Beautiful Bill Act".
RUU ini akan memperlebar defisit fiskal AS sebesar 0,9% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) setiap tahun sampai 2034. Kebijakan ini membuat anggaran AS menjadi kurang prudent sehingga kepercayaan investor menipis.
Kondisi ini bukan hanya berdampak pada proyeksi suku bunga dan likuiditas dolar, tetapi juga mempercepat arus keluar modal dari aset berdenominasi dolar.
"Permintaan asing atas US Treasury telah menurun tajam. Kepemilikan asing kini hanya sekitar 29%, dari sebelumnya 43% satu dekade lalu. Ini memperlemah daya tarik dolar secara struktural." Ujar Mikail, kepada CNBC Indonesia.
Kondisi ini diperparah dengan tekanan geopolitik dan semakin luasnya dorongan dedolarisasi, khususnya dari negara-negara BRICS. Alhasil, indeks dolar AS (DXY) tercatat sudah turun 11% secara year to date, dan diperkirakan tetap berada di bawah tekanan.
Di tengah pergeseran structural global, Indonesia dinilai berada dalam posisi yang sangat menguntungkan. Dengan surplus perdagangan yang konsisten, defisit fiskal di bawah 3%, stabilitas makroekonomi, Indonesia menawarkan kombinasi imbal hasil menarik, kredibilitas fiskal, dan prospek pertumbuhan.
"Kami yakin rupiah sedang memasuki siklus penguatan sekunder, didorong oleh realokasi global dari aset AS ke pasar negara berkembang seperti Indonesia," ungkapnya.
Mikail memproyeksikan rupiah menguat ke Rp15.500/US$ pada akhir 2025. Kombinasi melemahnya dolar global, fundamental ekonomi Indonesia yang solid, dan prospek arus masuk modal menjadi landasan utama dari outlook positif tersebut.
Selain itu, Chief Economist UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja menilai, tidak ada argumen ekonomi yang sebetulnya bisa menjelaskan secara spesifik arah sentimen pelaku pasar keuangan terhadap kondisi ketidakpastian global saat ini akibat ulah Trump.
"There is no scientific or economic argument, hanya mungkin saja pasar sudah jenuh dan terbiasa dengan serangan tarif yang masih silih berganti," kata Enrico kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (9/7/2025).
Sementara itu, Chief Economist Bank Central Asia (BCA) David Sumual, memperkirakan arah pergerakan kurs rupiah dalam perdagangan hari ini sampai jangka pendek masih mampu terus menguat ke level Rp16.150-Rp16.350/US$, meski ada kewaspadaan tinggi dari potensi melemahnya perekonomian bila Trump mulai mengimplementasikan tarif dagangnya yang dikenakan ke RI lebih tinggi disbanding negara tetangga di Kawasan ASEAN.
Chief Economist Permata Bank Josua Pardede memiliki prediksi serupa dengan Sumual soal pergerakan kurs rupiah dalam jangka pendek. Pardede memperkrakan, pergerakan rupiah akan mengalami penguatan khususnya pada hari ini di rentang Rp16.150-16.250/US$.
PT Bank Central Asia Tbk (BCA) turut memproyeksikan bahwa nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2025 akan berada di level rata-rata Rp16.350 per dolar AS. Sementara untuk akhir tahun, BCA mematok proyeksi pada rentang Rp16.500 hingga Rp16.600 per dolar AS.
"Average whole year kami masih berada di Rp16.350/US$ di proyeksi kurs, untuk year-end, kami berada di Rp16.500-Rp16.600/US$," menurut BCA kepada CNBC Indonesia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)