
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
MEDAN (Waspada.id): Pernyataan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid yang sempat menghebohkan publik, “semua tanah di Indonesia pada dasarnya milik negara”— memang kemudian diklarifikasi. Nusron meminta maaf dan menjelaskan maksud ucapannya hanya guyon.
Demikian disampaikan Farid Wajdi selaku, Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 pada Rabu (13/8).
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Ia menegaskan, penertiban yang dimaksud hanya menyasar lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang terbengkalai, bukan tanah rakyat seperti sawah, pekarangan, atau tanah warisan yang sudah memiliki sertifikat Hak Milik maupun Hak Pakai.
Klarifikasi itu meredakan sebagian keresahan, tetapi tidak menghapus kesan seorang pejabat publik sekelas menteri bisa lengah atau terpeleset dalam menjaga pilihan kata, -apalagi dalam topik yang sensitif seperti agraria.
Masalahnya, candaan dalam isu tanah bukanlah lelucon yang netral. Tanah bukan hanya komoditas atau objek hukum; ia mengandung sejarah panjang, memori sosial, dan identitas kultural.
Di negeri yang pernah mengalami ketimpangan penguasaan lahan sejak zaman kolonial hingga era reformasi, satu frasa “semua tanah milik negara” mudah memicu ingatan kolektif tentang perampasan hak rakyat, penggusuran paksa, atau kebijakan sepihak yang mengabaikan suara komunitas lokal.
Ketika seorang menteri melontarkan candaan seperti itu, persoalannya bukan sekadar soal selera humor, tetapi soal empati. Seorang pejabat negara seharusnya memahami bahwa publik, terutama kelompok rentan seperti petani dan masyarakat adat, memandang pernyataan pejabat bukan sebagai obrolan santai, melainkan sebagai isyarat kebijakan.
Dalam situasi inilah, literasi kebijakan menjadi krusial. Bukan hanya memahami pasal-pasal hukum seperti yang tercantum dalam UUD 1945, tetapi juga menguasai konteks sosial dan dampak psikologis yang bisa lahir dari setiap kata.
Ketiadaan empati dalam berujar mudah diartikan sebagai sinyal bahwa negara lebih berpihak pada kepentingan elit atau bahkan oligarki. Apalagi dalam diskursus agraria, istilah “tanah milik negara” kerap menjadi pembuka bagi proyek-proyek besar yang berlabel “pembangunan” namun meminggirkan penduduk lokal.
Narasi penertiban lahan sering diiringi dengan legitimasi untuk mengalihkan penguasaan tanah kepada investor besar, dengan dalih produktivitas. Dalam kerangka inilah, guyonan Nusron bisa terbaca sebagai pembenaran terselubung bagi agenda yang lebih menguntungkan kelompok berkuasa.
Beban bagi Prabowo
Seorang menteri di kabinet Prabowo tentu membawa beban representasi. Ucapan yang sembrono tidak hanya mencoreng nama pribadi, tetapi juga bisa menjadi batu sandungan bagi citra pemerintahan.
Bila pola ini berulang, publik akan mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap janji-janji reforma agraria. Kepercayaan yang sudah rapuh akibat lambannya penyelesaian sengketa tanah akan semakin terkikis, dan di situlah beban politik mulai terasa.
Membayangkan seorang pejabat dengan pola komunikasi seperti ini terus dipertahankan memang menimbulkan kekhawatiran.
Bukan semata-mata karena satu guyonan, tetapi karena indikasi kurangnya kedalaman pemahaman terhadap substansi kebijakan.
Pemerintahan yang ingin membangun legitimasi kuat tidak bisa terus-menerus membiarkan celah retorika yang bisa dimanfaatkan lawan politik atau menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Guyonan Nusron mungkin dimaksudkan untuk mencairkan suasana. Namun di dunia politik dan pemerintahan, humor memiliki harga yang mahal. Ia bisa menjadi jembatan, tetapi juga jurang.
Ketika menyentuh isu-isu yang berdampak langsung pada kehidupan rakyat banyak, setiap kata memikul bobot yang jauh lebih berat dari sekadar canda. Meminta maaf memang langkah awal yang baik, tetapi refleksi yang lebih dalam harus menyusul: apakah ucapan itu membangun atau justru membelah kepercayaan?
Pada akhirnya, kasus ini menjadi pengingat literasi kebijakan, kepekaan sosial, dan empati adalah prasyarat mutlak bagi pejabat publik.
Tanpa itu, guyon pun bisa menjadi senjata makan tuan—meninggalkan luka yang lebih dalam daripada tawa yang sempat diundang.
Di tengah gempuran wacana oligarki dan ketimpangan struktural, publik tentu berharap para pemegang otoritas tidak hanya piawai mengatur tanah, tetapi juga pandai menjaga kata!. (id18)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.