Gak Cuma Luwak, Ini Deretan Kopi dari Kotoran Hewan

3 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena kopi yang dihasilkan dari kotoran hewan sering disebut poop coffee atau "naturally refined coffee" masih menjadi salah satu niche paling unik dan kontroversial di industri kopi global.

Kopi luwak selama ini menjadi ikon, tetapi eretan kopi poop sebenarnya jauh lebih beragam ada dari gajah, burung, hingga kelelawar. Masing-masing menawarkan proses biologis yang berbeda, sehingga menghasilkan karakter rasa, kompleksitas produksi, dan rentang harga yang juga sangat lebar.

Kopi poop pada dasarnya adalah biji kopi yang dimakan hewan, melewati proses pencernaan baik fermentasi lambung, enzim, atau interaksi kimia lain lalu dikeluarkan kembali dalam bentuk yang kemudian dibersihkan, dikeringkan, dan diproses.

Proses biologis inilah yang dipercaya memecah protein penyebab rasa pahit sehingga menciptakan profil yang lebih halus. Studi-studi jurnalistik, termasuk dari NPR dan National Geographic, menekankan bahwa titik pembeda utamanya ada pada enzymatic refinement: tubuh hewan bekerja sebagai "pengolah alami" yang memodifikasi rasa tanpa intervensi manusia.

Kopi Luwak (Civet Coffee)

Kopi luwak adalah varian yang paling terkenal dan paling lama beredar. Civet (luwak) memakan ceri kopi paling matang, lalu enzim pencernaannya memecah protein tertentu sehingga menciptakan rasa lebih "smooth", earthy, dan sedikit cokelat.

Ciri khasnya adalah low bitterness. Namun baik National Geographic maupun GEVI menyoroti isu kesejahteraan hewan karena banyak produsen masih menggunakan luwak dalam kandang, bahkan dengan diet yang tidak seimbang, sehingga menurunkan kualitas dan menimbulkan risiko etis. Harga wild-sourced bisa mencapai US$600 per pound.

Kopi Gajah / Black Ivory Coffee

Black Ivory Coffee dari Thailand kini disebut sebagai kopi poop termahal di dunia. Dalam prosesnya, gajah, sebagai herbivora mengalami fermentasi panjang di sistem pencernaannya, membantu menghilangkan rasa pahit secara signifikan.

NPR menjelaskan bahwa fermentasi pada gajah membawa efek seperti pembuatan bir atau wine, karena pencernaan selulosa menyatukan kembali rasa buah dan pulp kopi ke dalam biji.

Rasa akhirnya diklaim "floral, cokelat, chocolate-malt, sedikit cherry, seperti perpaduan kopi dan teh". Harga: US$1.500 per pound. Produksi 2023 hanya 500 pon, menjadikannya yang paling langka.

Bat Coffee (Kopi Kelelawar)

Kopi kelelawar berasal dari wilayah Amerika Latin, terutama Costa Rica dan Peru. Kelelawar memakan ceri kopi untuk mengisap nektar dan daging buahnya.

Sebagian biji digigit, sebagian tercerna ringan dan dikeluarkan. Rasa disebut lebih fruity, floral, lebih ringan dibanding kopi luwak. Produksinya sangat kecil dan tidak terstandarisasi, membuatnya langka secara alami. GEVI mencatat bahwa kopi ini menarik karena menawarkan profil yang jauh lebih terang dibanding poop coffee lain.

Jacu Bird Coffee (Kopi Burung Jacu)

Burung Jacu berasal dari Brasil. Tidak seperti luwak atau gajah, Jacu memilih hanya buah kopi terbaik dalam pola makan alaminya. Sistem pencernaan burung tidak memiliki fermentasi rumit, tetapi memberikan efek clean bright acidity dengan catatan citrus. Jacu coffee dijual di toko-toko premium seperti Harrod's London, meski persediaannya sering habis. Harga dapat melampaui US$300-US$350 per pound untuk batch tertentu.

Monkey Parchment Coffee (Kopi "Dikunyah Monyet")

Berbeda dari poop coffee lain, jenis ini tidak melewati kotoran, monyet hanya mengunyah buah kopi dan memuntahkan kembali bijinya.

Meski tidak termasuk kategori poop, industri sering memasukkannya dalam kelompok "naturally refined". Proses kunyahan dan enzim mulut memberi rasa lebih manis dan fermentatif. Produksi sangat kecil karena sepenuhnya mengandalkan perilaku monyet liar. NatGeo menempatkannya bersama daftar kopi paling langka.

Lintas hewan, ada pola rasa. Pertama, tingkat kepahitan cenderung rendah karena pemecahan protein. Kopi luwak menawarkan nutty-earthy; Black Ivory menghadirkan profil floral-cokelat dengan tekstur mirip teh; Jacu menghadirkan acidity cerah; sementara bat coffee cenderung fruity dan floral. Dalam uji cita rasa kasual yang dikutip NPR, konsumen menyebut Black Ivory "gentle, fruity, tanpa aftertaste muddy".

Waktu pencernaan berbeda antar hewan. Gajah memerlukan 1-3 hari sebelum biji keluar kembali (NPR). Civet memiliki proses yang lebih cepat, tetapi koleksi biji dari feses liar bisa memakan waktu lebih panjang. Setelah itu biji dicuci, dikeringkan matahari, digiling, dan disortir. Black Ivory memerlukan sekitar 33 pon biji mentah untuk menghasilkan 1 pon kopi karena banyak biji yang hancur atau hilang di alam. Hal ini menjelaskan kelangkaan dan harga premium.

Menurut National Geographic, sektor kopi luwak memiliki masalah besar terkait pemalsuan, produksi dari hewan dalam kandang, hingga potensi risiko kesehatan hewan terkait diet yang tidak seimbang.

Sebaliknya, produsen Black Ivory mengklaim melakukan dokumentasi setiap feeding dan bekerja hanya dengan keluarga pemilik gajah yang dianggap memiliki praktik baik, meski tetap ada kritik karena hewannya tetap berada dalam sistem penangkaran. Konsumen harus memperhatikan label "wild-sourced" sebagai indikator etika.

Walau hype-nya besar, penilaian para ahli beragam. Peneliti dari World Animal Protection menyebut rasa kopi luwak yang benar-benar dari luwak liar memang lebih halus, tetapi tidak selalu sebanding dengan harga super mahalnya.

Dalam banyak kasus, novelty value lebih berpengaruh ketimbang kualitas sensori absolut, terlebih mengingat risiko pemalsuan industri kopi poop cukup tinggi.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |